Menuju konten utama

Merunut Dugaan TNI Aniaya Warga Papua hingga Desakan Investigasi

Komnas HAM berharap pemerintah dan aparat melakukan proses penegakan hukum yang transparan dan adil terhadap kasus ini.

Merunut Dugaan TNI Aniaya Warga Papua hingga Desakan Investigasi
Ilustrasi Penganiayaan. foto/IStockphoto. foto/IStockphoto

tirto.id - Video berdurasi kurang dari satu menit beredar dan membuat geger media sosial pekan lalu. Di dalamnya, terdapat adegan sejumlah pria yang diduga prajurit TNI tengah menganiaya seorang warga Papua. Mereka memukul, menendang, dan melukai dengan senjata tajam diiringi makian kepada korban. Adegan sadis itu dilakukan berkali-kali kepada korban yang diposisikan berada di dalam drum berisi air.

Koalisi Kemanusiaan untuk Papua menuntut pemerintah Indonesia melakukan investigasi atas kasus penyiksaan yang dialami orang asli Papua (OAP) yang diduga dilakukan sejumlah prajurit TNI ini. Salah satu anggota koalisi, Andi Muhammad Rezaldy, dari KontraS menyatakan, video penyiksaan itu sangat mengkhawatirkan, karena aparat militer bukan hanya telah melakukan tindakan diluar hukum, tapi melanggar larangan hukum internasional, konstitusi, dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.

“Sebagai aparat keamanan, sudah seharusnya para anggota TNI itu menghormati hukum yang berlaku. Peristiwa ini pun semakin menambah daftar aksi kekerasan aparat terhadap warga sipil di Tanah Papua,” kata Andi dalam keterangannya, Minggu (25/3/2024).

Andi menjelaskan, penyiksaan adalah pelanggaran atas hak fundamental yang jelas dilindungi oleh hukum HAM internasional yang telah diterima dan berlaku sebagai hukum nasional. Dalam hukum HAM internasional, Pasal 7 Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR) menegaskan bahwa tidak seorang pun dapat dikenakan penyiksaan atau perlakuan atau penghukuman yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat manusia dalam keadaan apa pun.

Indonesia juga telah meratifikasi United Nations Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment (UN CAT) melalui UU Nomor 5 tahun 1998.

“Maka kegagalan proses akuntabilitas hukum dan keadilan atas pelaku penganiayaan dapat dikategorikan sebagai pelanggaran hak asasi manusia,” ujar Andi.

TNI dan TPNPB-OPM Saling Klaim

Mabes TNI langsung merespons video dugaan penyiksaan yang dilakukan anggota mereka kepada warga Papua. Kepala Pusat Penerangan (Kapuspen) TNI, Mayjen Nugraha Gumilar, membenarkan bahwa pelaku penganiayaan warga di Papua merupakan anggota TNI.

Namun, Gumilar menyatakan, korban kekerasan dalam video itu merupakan warga yang diduga anggota TPNPB-Organisasi Papua Merdeka (OPM). Lebih lanjut, Gumilar mengungkap penyiksaan itu dilakukan di Pos Gome, Kabupaten Puncak, Provinsi Papua Tengah.

“Diduga oknum prajurit TNI melakukan tindakan kekerasan terhadap tawanan, seorang anggota KKB atas nama Definus Kogoya,” kata Gumilar.

Gumilar menegaskan TNI akan menangani dugaan penyiksaan ini secara serius. Pihaknya juga tengah mendalami pelaku penyiksaan dalam video tersebut.

“Masih dalam penyelidikan,” ujar dia.

Di sisi lain, Juru bicara Komnas TPNPB, Sebby Sambom, membantah ada anggota mereka yang bernama Definus Kogoya. Sebby mengklaim dalam video beredar itu, TNI menyiksa warga sipil Papua. Hal ini disampaikan Sebby merespons perkataan Kapuspen TNI.

“Tidak benar [pernyataan Kapuspen TNI]. Itu warga civil, dan keluarga di Ilaga kabupaten Puncak Papua pasti akan memberikan kesaksian” kata Sebby dihubungi reporter Tirto, Minggu (24/3/2024).

Sebelumnya, Pangdam XVII/Cenderawasih, Mayjen TNI Izak Pangemanan, menyatakan selama Satgas Yonif bertugas di Ilaga, Kabupaten Puncak, Papua Tengah, hubungan yang terjalin dengan masyarakat sipil sangat baik. Izak mengklaim, tidak ada keluhan terkait perilaku kekerasan terhadap warga.

“Tidak pernah ada keluhan terkait perilaku keras terhadap masyarakat, dan video itu masih kami konfirmasi,” ujar dia, Jumat (22/3/2024).

Desakan Investigasi

Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, mengatakan kejadian di video yang beredar itu adalah penyiksaan kejam yang merusak naluri keadilan. Bahkan, kata dia, menginjak-injak perikemanusiaan yang adil dan beradab.

“Tidak seorang pun di dunia ini, termasuk di Papua, boleh diperlakukan tidak manusiawi dan merendahkan martabat, apalagi sampai menimbulkan hilangnya nyawa,” ujar Usman dalam keterangannya, Minggu (24/3/2024).

Usman menilai, kejadian ini membuat pernyataan-pernyataan petinggi TNI dan pejabat pemerintah soal pendekatan kemanusiaan maupun kesejahteraan di Papua menjadi tidak ada artinya sama sekali. Sebab, hal tersebut nyatanya diabaikan oleh aparat di lapangan.

“Tindakan itu bisa terulang karena selama ini tidak ada penghukuman atas anggota yang terbukti melakukan kejahatan penculikan, penyiksaan, hingga penghilangan nyawa,” sebu Usman.

Dia menyayangkan respons Pangdam Cenderawasih terkesan menutupi kasus yang diduga dilakukan anggota mereka. Reaksi semacam itu disebut Usman justru bisa membuat bawahan merasa dilindungi atasan saat terlibat kejahatan.

“Ini penyiksaan serius dan mengandung rasisme yang kuat. Selain semua pelaku non-Papua, coba dengar kata-kata makian pelaku sambil terus menyiksa. Kejam dan rasis” tegas Usman.

Menurut sumber-sumber Amnesty, kata Usman, tindakan penyiksaan yang beredar dalam video itu diduga dilakukan oleh anggota TNI dari Kodam III/Siliwangi, Yonif 300 Raider Brajawijaya terhadap tiga pemuda asli Papua pada 3 Februari 2024. Pasukan ini diketahui dikirim ke wilayah Puncak, Papua, untuk patroli perbatasan dan dikabarkan telah kembali ke Markas mereka di Cianjur, Jawa Barat.

Lebih lanjut, menurut Amnesty, korban penyiksaan sempat dibawa ke rumah sakit. Namun salah satu di antaranya, korban yang berada dalam video, disebut telah meninggal dunia.

“Kami mendesak dibentuknya tim gabungan pencari fakta untuk mengusut kejadian ini secara transparan, imparsial, dan menyeluruh. Harus ada refleksi tajam atas penempatan pasukan keamanan di Tanah Papua yang selama ini telah menimbulkan jatuhnya korban, baik orang asli papua, non-Papua, termasuk aparat keamanan sendiri,” ujar Usman.

Sementara itu, Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Papua, Emanuel Gobay, menyatakan berdasarkan fakta pada Maret 2024 di Wilayah Papua, terungkap dua kasus dugaan penyiksaan yang terjadi di tempat dan waktu yang berbeda.

Selain itu, penyiksaan ini melibatkan pelaku yang berbeda sehingga tugas pokok dari berbagai agenda pertahanan keamanan yang menjadi kewenangan pemerintah pusat di seluruh wilayah Papua patut dipertanyakan.

“Dalam kasus pertama di Kabupaten Yahukimo ditemukan fakta pelanggaran ketentuan ‘Penangkapan terhadap Anak wajib dilakukan secara manusiawi dengan memperhatikan kebutuhan sesuai dengan umurnya’ sebagaimana diatur pada Pasal 30 ayat (2), ayat (3) dan ayat (4), Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak,” kata Gobay.

Kasus pertama ini merupakan peristiwa penangkapan MH (15) dan BGE (15), dua pelajar yang ditangkap anggota TNI di Kali Brasa Kabupaten Yahukimo, Provinsi Papua Pegunungan, pada 22 Februari 2022. Dalam foto-foto penangkapan yang beredar, dua remaja itu berada dalam posisi menelungkup, dengan tangan mereka diikat ke belakang. Di sekitar mereka terdapat tiga tentara berseragam, salah satunya menjulurkan lidah ke arah pemotret.

Adapun kasus kedua merupakan dugaan penyiksaan yang terungkap karena video adegan sadis itu beredar luas. Gobay membenarkan, kasus ini terjadi di Kabupaten Puncak yang menunjukkan fakta adanya penyiksaan kepada seseorang dalam sebuah drum. Tindakan kekerasan dalam video dilakukan oleh pria yang salah satunya menggunakan baju berlambang Satgas Yonif Raider 300 Brawijaya.

Menurut dia, penyiksaan yang terjadi melanggar ketentuan dalam Pasal 33 Ayat 1 UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM). Karena itu, ia berharap Komisi Nasional HAM (Komnas HAM) bisa turut melakukan penyelidikan atas penyiksaan tersebut.

Di satu sisi, Gobay menyebutkan, LBH Papua meminta Presiden Joko Widodo untuk segera memproses hukum anggota TNI yang terlibat penyiksaan itu.

“[Meminta] Panglima TNI segera proses hukum oknum TNI pelaku dugaan tindak pidana pengeroyokan,” sebut Gobay.

Galakkan Jalur Dialog

Ketua Komnas HAM, Atnike Nova Sigiro, menyesalkan terjadinya peristiwa dugaan penyiksaan ini sebab menambah rentetan korban kekerasan akibat konflik di Papua yang diduga dilakukan oleh aparat. Komnas HAM berharap agar pemerintah dan aparat penegak hukum melakukan proses penegakan hukum yang transparan dan adil terhadap kasus tersebut.

“Komnas HAM terus mendorong agar pemerintah memperbaiki strategi pendekatan keamanan di Papua agar dapat meredam intensitas kekerasan dan untuk menghindari jatuhnya korban. Namun, Komnas HAM juga menegaskan kembali bahwa penggunaan kekerasan dalam gerakan politik tidak dapat dibenarkan,” kata Atnike di Jakarta, Minggu (24/3/2024).

Di sisi lain, Komnas HAM meminta semua pihak agar menahan diri untuk mencegah eskalasi konflik di Papua. Terkait kasus ini, kata Atnike, pihaknya akan melakukan pemantauan untuk mendapatkan informasi yang lebih lengkap atas peristiwa tersebut sebagaimana kewenangan yang dimiliki Komnas HAM.

Peneliti utama pada Pusat Riset Kewilayahan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Cahyo Pamungkas, menyatakan konflik kekerasan langgeng di Papua karena terdapat ekosistem yang mendukung hal tersebut sehingga bagaikan sebuah industri kekerasan. Masing-masing pihak, kata dia, melegitimasi tindakannya dengan narasi ideologis.

“Seperti NKRI harga mati dan Papua merdeka yang seharusnya dapat diselesaikan melalui dialog antara pihak-pihak yang berkonflik,” kata Cahyo kepada reporter Tirto, Senin (25/3/2024).

Cahyo menilai, pemerintah tidak membuka ruang dialog terhadap kelompok-kelompok Papua merdeka sehingga konflik kekerasan menjadi alternatif untuk menyalurkan perjuangan mereka. Ditambah, adanya ekosistem konflik seperti akumulasi distrust rakyat Papua terhadap berbagai kebijakan pemerintah dan pembangunan yang selama ini merugikan orang asli Papua.

Dia berharap, dialog dalam penanganan konflik Papua dapat dilakukan oleh pemerintahan yang baru. Dialog perlu dilakukan dengan kelompok-kelompok pro-kemerdekaan Papua seperti TPNPB/OPM dan ULMWP untuk menyudahi konflik kekerasan yang terus berlangsung.

Namun, sebelum dialog, diminta ada jeda kemanusiaan atau humanitarian pause di lokasi-lokasi konflik bersenjata termasuk negosiasi pembebasan pilot Susi Air yang masih disandera. Hal ini bisa diikuti dengan cessation of hostilities antara kedua belah pihak sebelum memulai dialog.

“Banyak kasus penyiksaan dan kekerasan terhadap warga sipil di lokasi konflik bersenjata tidak pernah diungkapkan siapa mereka yang menjadi korban dan siapa pihak yang melakukannya,” ujar Cahyo.

Teranyar, Kodam XVII/Cenderawasih membenarkan keaslian video penyiksaan anggota TNI kepada warga Papua. Hal ini disampaikan Kepala Penerangan Kodam (Kapendam) XVII/Cenderawasih, Letkol Candra Kurniawan.

“Demikian pula dari hasil identifikasi video tersebut, terbukti bahwa para prajurit TNI melakukan aksi kekerasan,” kata Candra dalam rilis, Senin (25/3/2024).

Candra mengatakan bahwa Tim Investigasi langsung menuju tempat kejadian (TKP), sekaligus mengumpulkan data-data dan bukti-bukti hukum. Sampai saat ini, Tim Investigasi dan pihak Pomdam III/Siliwangi terus melakukan pemeriksaan terhadap Prajurit Yonif 300/Bjw dan diperoleh bukti-bukti awal bahwa terdapat 8 orang prajurit diduga melakukan penganiayaan.

Saat ini, kata dia, dilakukan penahanan oleh Pomdam III/Siliwangi untuk diproses hukum. Pihaknya tidak mentolerir apa pun bentuk pelanggaran hukum, maka anggota yang melanggar hukum harus diproses hukum.

“Demikian pula langkah-langkah menciptakan Papua Tanah Damai terus dilakukan oleh Kodam XVII/Cen,” tegas Kapendam.

Baca juga artikel terkait PAPUA atau tulisan lainnya dari Mochammad Fajar Nur

tirto.id - Hukum
Reporter: Mochammad Fajar Nur
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Abdul Aziz