tirto.id - Ramadhan baru memasuki pekan kedua namun laku kekerasan yang dilakukan anak dan remaja terus terjadi dalam balut perang sarung. Fenomena itu kian marak menjadi tawuran antarkelompok hingga akhirnya memakan korban jiwa.
Seorang anak berinisial LRF, (14), meninggal akibat perang sarung di Desa Kecapi, Kalianda, Kabupaten Lampung Selatan, Lampung, Selasa (18/3/2024) malam. Insiden itu melibatkan Desa Kecapi dan Desa Pematang.
Polres Lampung Selatan, menuturkan, korban meninggal karena trauma benda tumpul di kepala, ditambah ada memar di punggung, dan luka di lutut.
Peristiwa memilukan serupa juga terjadi di Kabupaten Bekasi, Jawa Barat. Perang sarung terjadi melibatkan dua kelompok remaja di jalan arteri tol Cibitung, Cikarang Barat.
Dalam tawuran berkedok perang sarung ini, seorang remaja berinisial AA (17), tewas karena dihantam kunci T di bagian kepala. Polsek Cikarang Barat, menuturkan, kedua kelompok sudah berkomunikasi lewat WhatsApp untuk perang sarung, sebelum sepakat saling bentrok, Jumat (15/3/2024) lalu.
Pengeroyokan salah sasaran baru-baru ini juga terjadi akibat perang sarung. Kejadian malang yang menimpa bocah perempuan berusia 12 tahun di Ciputat, Tangerang Selatan, Rabu (13/3/2024) lalu.
Dia menjadi korban pengeroyokan sejumlah remaja saat tengah bermain ‘slepet’ sarung bersama teman sebayanya. Akibat peristiwa itu, korban mengalami luka-luka dan trauma.
Bukan cuma di Ciputat, penganiayaan juga dialami A (16) di Ciawi, Bogor. Pada Jumat (15/3/2024), usai membeli rokok di minimarket, A tiba-tiba dikeroyok oleh 8 remaja di pinggir jalan. Diduga para pelaku pengeroyokan sedang melakukan perang sarung dan salah mengira A sebagai lawan mereka.
Darurat Kekerasan Anak
Komisioner Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Diyah Puspitarini, menuturkan, perang sarung yang berujung tawuran dan kekerasan menjadi bagian kejahatan jalanan. Diyah menilai, fenomena tersebut sudah menjadi istilah bagi perang antarkelompok anak yang menggunakan batu hingga senjata tajam.
“Kejahatan jalanan tidak hanya menyasar anak-anak sebagai korban, tetapi juga anak sebagai pelaku kejahatan jalanan itu sendiri,” kata Diyah kepada Tirto, Jumat (22/3/2024).
Menurut data KPAI dari Januari hingga Maret tahun lalu, terdapat 86 kasus anak korban kekerasan fisik dan/atau psikis. Diyah meminta pemerintah pusat dan daerah merespons adanya darurat kekerasan jalanan terhadap anak.
“Dengan membentuk Regulasi Teknis yang langsung menyasar pada tindakan pencegahan dan penanganan kasus,” ujar Diyah.
Diyah menuturkan anak sebagai korban dan pelaku membutuhkan rehabilitasi secara tuntas. Baik dilakukan dalam aspek fisik, sosial maupun mental. Lebih lanjut, mereka dukungan semua pihak agar kasus serupa bisa dicegah dan tidak terulang lagi.
Sementara itu, peneliti psikologi sosial dari Universitas Indonesia (UI), Wawan Kurniawan, menilai fenomena tawuran berkedok perang sarung dapat dilihat sebagai bentuk ekspresi identitas kelompok dan pencarian sensasi di kalangan remaja. Dari perspektif psikologi sosial, perilaku semacam itu melalui teori konformitas kelompok dan teori identitas sosial.
“Remaja mungkin terlibat dalam tawuran sebagai cara untuk menegaskan identitas kelompok mereka dan mencari pengakuan dari anggota kelompok lainnya,” kata Wawan kepada Tirto.
Selain itu, pemicu adrenalin terkait dengan perilaku berisiko seperti tawuran juga dapat menjadi daya tarik tersendiri untuk remaja. Dia menuturkan, tidak jarang kelompok remaja yang sedang bentrok bisa berlaku nekat dan brutal. Kenekatan ini dapat dipahami melalui konsep desensitisasi dan pengaruh norma kelompok.
“Remaja yang terlibat dalam tawuran berulang kali mungkin menjadi desensitisasi terhadap kekerasan, sehingga mereka menjadi lebih berani dan kurang peka terhadap risiko,” ujar Wawan.
Selain itu, norma kelompok memainkan peran penting. Misal, jika membawa senjata tajam akan dihargai dalam kelompok remaja tertentu. Hasilnya, mereka merasa terdorong berperilaku tersebut agar diterima dan dihormati oleh rekan-rekan sejawat.
“Pendekatan yang bisa dilakukan adalah membangun norma kelompok yang positif dan meningkatkan kesadaran akan konsekuensi perilaku tawuran. Hal ini bisa dilakukan melalui program edukasi yang melibatkan remaja dalam pembuatan keputusan dan penyelesaian masalah yang berkaitan dengan konflik,” tutur Wawan.
Lebih lanjut, perlu ada wadah alternatif yang konstruktif agar mereka dapat meluapkan ekspresi diri dan pencarian sensasi dalam bentuk yang tepat. Seperti melalui olahraga, seni, atau kegiatan komunitas.
“Penting juga untuk membangun dialog antara remaja dan anggota masyarakat lainnya, termasuk orang tua dan tokoh masyarakat, untuk meningkatkan pemahaman dan rasa saling menghormati,” tambah Wawan.
Sementara itu, Dosen Hukum Pidana Universitas Trisakti, Azmi Syahputra, meminta kepolisian lebih meningkatkan patroli di sejumlah titik rawan keamanan. Tindakan patroli dinilai penting dilakukan sebagai upaya antisipasi konkret mencegah tawuran dan kejahatan jalanan.
“Terutama dalam mencegah perang sarung dan termasuk aksi kekerasan jalanan pada malam hari selama Ramadhan,” tutur Azmi.
Polisi dapat menerapkan sanksi tegas bagi kejahatan jalanan yang dilakukan dengan sengaja. Jika diperlukan bisa dikenakan pasal berlapis berupa pembunuhan berencana, penyerangan perkelahian, penganiayaan atau pengeroyokan.
“Ancaman maksimal mencapai 12 tahun bagi pelaku termasuk bagi siapapun yang dengan sengaja merencanakan menyerang, provokasi yang memicu terjadinya perang sarung dan tawuran,” kata Azmi.
Azmi meminta orang tua dan masyarakat melakukan pengawasan hingga kontrol terhadap kegiatan anak-anak pada masa libur Ramadhan. Kegiatan yang dilakukan kelompok usia ini saat larut malam tanpa pengawasan, dapat memantik hal-hal yang berujung pada tindakan tak terkontrol seperti tawuran.
“Jangan sampai anak remaja tersebut menjadi korban kejahatan atau bahkan pelaku kejahatan. Karenanya polisi harus menindak tanpa kompromi segala bentuk kriminal,” ujar Azmi.
Pergeseran Makna
Deputi Bidang Perlindungan Khusus Anak Kementerian PPPA, Nahar, menuturkan, perang sarung telah mengalami pergeseran makna menjadi aktivitas kekerasan di kalangan anak dan remaja. Mulanya, tradisi perang sarung merupakan permainan para remaja mengisi kegiatan di bulan Ramadhan, dan dilakukan usai aktivitas sahur atau salat subuh. Tradisi permainan ini disebut Nahar akrab ditemui di beberapa daerah.
“Belakangan permainan ini berubah jadi tawuran atau perkelahian antarkelompok. Dimana tujuannya bukan lagi hanya untuk bermain, mengisi waktu luang dan bersenang senang, akan tetapi tujuannya untuk melukai atau melumpuhkan lawan,” kata Nahar kepada Tirto, Jumat (22/3/2024).
Nahar menjelaskan, kontrol diri anak dan remaja masih lemah, menyebabkan mereka sulit merespons tekanan teman sebaya dan pengaruh media. Ditambah, perkembangan arus teknologi menjadi salah satu faktor signifikan dalam perkembangan anak-anak yang sebelumnya tidak pernah dialami oleh generasi sebelumnya.
“Ditambah dengan banyaknya beban psikologis yang berasal dari tuntutan-tuntutan lingkungan dapat mengakibatkan anak kesulitan untuk dapat empati orang lain,” ujar Nahar.
Tekanan ini, akan semakin berat dirasakan oleh anak saat pengawasan orang tua dan masyarakat lemah. Kejadian ini juga sulit dicegah dengan terbatasnya kegiatan-kegiatan positif atau kreatif yang dapat diakses anak remaja di daerah untuk menyalurkan energi berlebih yang dimiliki kelompok usia ini.
Pencegahan tawuran berkedok perang sarung dan aksi kejahatan jalanan remaja dapat dilakukan oleh aparat penegak hukum. Misalnya, dengan memutus mata rantai tawuran melalui proses pembinaan anak setelah mereka tertangkap ketika melakukan tawuran.
Nahar menjelaskan, untuk membuat perubahan perilaku pada remaja diperlukan proses berkelanjutan. Jangan sampai anak dan remaja merasa keren dan semakin jumawa saat ditindak oleh penegak hukum sehingga berujung menjadi pencapaian yang akan dipamerkan ke teman sebaya.
“Komunikasi pada remaja tidak cukup dilakukan jika hanya sekali atau dua kali. Remaja perlu percaya dengan sosok dewasa yang memberikan nasihat kepada mereka sehingga akan didengarkan. Kepercayaan tersebut bukan menjadi sosok yang menakutkan bagi mereka namun sosok yang mengayomi mereka,” ungkap Nahar.
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Intan Umbari Prihatin