tirto.id - “Sekarang masih mengajar di sekolah induk. Walau dengan perasaan was-was karena banyak guru yang datang sebagai guru PPPK yang lulus tahun ini, apalagi dengan isu bahwa 2023 tidak ada lagi honorer di instansi pemerintah.”
Hal tersebut diungkapkan Hasan (nama disamarkan atas permintaan narasumber) saat dihubungi reporter Tirto, Kamis (24/11/2022). Pria berusia 35 tahun itu mengaku agak khawatir dengan posisinya saat ini sebagai guru honorer di salah satu SMK di daerah Bima, Nusa Tenggara Barat.
Ia bercerita, guru-guru lulusan PPPK (Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja) mulai masuk ke sekolahnya. Padahal, ada sekitar 40 lebih dari total 90-an guru masih berstatus honorer, termasuk dirinya. Ia juga masih was-was meski lulus passing grade pada tes 2021.
Hasan mengatakan, betapa sulitnya menjadi PPPK guru. Ia mengaku sudah mengikuti tes PPPK tahap 2 pada 2021 demi menjadi PPPK guru. Namun, Hasan gagal lolos untuk menjadi PPPK karena ada guru yang mendapat afirmasi umur sehingga berada di peringkat kedua.
Ia pun mencoba kembali pada seleksi PPPK 2022. Sayangnya, pria yang kini mengajar materi Mapel Produk Kreatif dan Kewirausahaan itu tidak bisa ikut seleksi akibat sistem seleksi yang berbeda dengan 2021.
“Saya tidak bisa melanjutkan pendaftaran dengan alasan di akun pendaftaran tidak tersedia formasi di instansi dan harus turun prioritas menjadi P3 atau Honorer. Tapi itu juga tidak bisa dilanjutkan. Jadi saya harus bersabar melihat rekan-rekan guru yang lain mendaftar, termasuk guru-guru yang belum lolos passing grade,” kata dia.
Ia yang sudah sepuluh tahun ini mengajar mengatakan, “Jadi kami yang sudah lolos passing grade ini rasanya sia-sia sudah mencapai ambang batas itu, tetapi nasibnya tidak jelas nanti bagaimana.”
Hasan bercerita, merasakan ada perbedaan status antara dirinya sebagai guru honorer dan guru PPPK. Para guru honorer dibayar berdasarkan jam kerja mereka di sekolah. Saat ini, kata Hasan, ia dibayar rerata sebesar Rp300 ribu per bulan.
“Kalau istilah di NTB itu JJM (Jumlah Jam Mengajar), jadi pembayarannya per jumlah jam mengajar. Saya enggak ngerti perkaliannya, cuma sekitar segitu lah bayarannya per bulan kalau 8 jam,” kata Hasan.
Di sisi lain, kata dia, para guru berstatus PPPK lebih mendapat jaminan hidup. Mereka dibayar layaknya PNS di daerah.
Demi memenuhi kebutuhan hidup, Hasan mengaku akhirnya mencari pekerjaan mengajar di tempat lain. Di sekolah berbasis yayasan, ia mengaku mendapat bayaran lebih layak sebagai guru.
“Kalau secara keseluruhan melihat guru teman-teman yang lain, itu mereka yang tidak ngajar di sekolah swasta, itu kebanyakan mencari penghasilan lewat bertani, bahkan sampai ngojek,” kata dia.
Hasan mengaku merasa dirugikan dengan kedatangan PPPK baru pada 2021 dan sistem rekrutmen 2022 yang diubah pemerintah. Ia sebut, kedatangan PPPK baru membuat jam kerjanya mengalami perubahan. Sementara sistem rekrutmen saat ini membuat mereka tidak bisa memilih sekolah.
“Kita yang sudah lolos passing grade ini tidak bisa mengambil formasi di sekolah yang lain. Jadi ada ketidakkonsisten dari pemerintah itu. Dulu kami dirugikan dengan adanya guru dari luar, sementara sekarang kami tidak bisa mengambil formasi di sekolah lain,” kata Hasan.
Ia bilang sudah melakukan sejumlah langkah dalam menyelesaikan masalahnya. Salah satunya terus menyampaikan masalahnya ini ke Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) untuk diteruskan ke pejabat terkait. P2G berupaya menyampaikan ke DPR agar mereka mendorong Kemendikbud menyikapinya.
Karena itu, Hasan berharap, pemerintah membuktikan janjinya untuk mengangkat guru honorer menjadi ASN PPPK 1 juta guru di Indonesia. “[Saat ini] masih di bawah 600 ribu. Itu pertama untuk pemerintah pusat,” kata dia.
“Kedua, diharapkan pemerintah pusat ini benar-benar mendorong Pemda untuk mengajukan formasi ASN PPPK guru itu maksimal, lebih banyak. Tidak sedikit-sedikit,” kata Hasan.
Ia juga berharap agar Pemda memperhatikan kesejahteraan guru honorer. Ia menilai, setidaknya pemerintah daerah mau memberikan kesejahteraan yang layak agar mereka bisa bekerja. Ia juga menagih janji pemerintah daerah yang ingin memberikan bayaran UMR.
Cerita serupa dialami Fahdi (nama disamarkan). Pria berusia 25 tahun dan mengajar mata pelajaran sejarah sejak 2020 itu mengaku banyak kisah pilu sebagai guru honorer, terlepas ia tetap bersyukur bisa bekerja.
“Sebenernya kalau honorer untuk ngeluh-mengeluh, mah banyak. Kalau diceritain sebenarnya mah sedih juga,” kata Fahdi kepada reporter Tirto, Kamis (24/11/2022).
Fahdi mengaku, gajinya sebagai guru honorer di salah satu sekolah di Bekasi, Jawa Barat justru di bawah UMR. Ia pun memilih berhemat daripada mencari tambahan lain seperti mengajar di tempat lain. Ia khawatir kesehatan akan terganggu dan memicu pengeluaran lebih besar akibat bekerja berlebihan.
Meski mengalami tekanan, Fahdi memberi sejumlah catatan. Ia mengakui bahwa sistem PPPK yang dibawa pemerintah sudah mencerminkan sistem yang cukup adil. Ia menilai aksi pemerintah bisa dikategorikan memenuhi keinginan dan masukan honorer.
“Untuk PPPK tahun ini diutamakan untuk guru honor negeri yang notabene dari segi penghasilan di bawah UMR (untuk Jawa Barat), karena kalau guru swasta dalam pandangan saya sudah cukup memenuhi kebutuhan hidup dari sisi penghasilan dibanding honorer negeri,” kata Fahdi.
Meski menyambut positif, Fahdi mengaku tidak bisa menjadi PPPK karena ia masuk honorer kategori 4 yang notabene baru mengabdi dari 2020. Ia juga melihat ada persyaratan tertentu seperti harus menunggu 2 tahun dahulu baru didaftarkan untuk Dapodik, sementara di Dapodik Fahdi hanya terdaftar di 2021 dan 2022.
Ia mengaku tidak mengerti mengenai alasan tersebut. “Entah, syarat itu berlaku untuk semua provinsi atau semua sekolah dalam 1 provinsi atau tidak, saya kurang paham untuk masalah syarat Dapodik yang 2 tahun ini,” kata Fahdi.
Ia hanya berharap ada sejumlah perubahan dilakukan pemerintah dalam rekrutmen PPPK. Misal, agar syarat guru honorer dipermudah. Ia minta agar ada perbaikan dalam perlakuan khusus jurusan ilmu murni non-pendidikan yang saat ini diperkenankan ikut PPG Prajab dan diperbolehkan menjadi guru setelah lulus.
Ia mengingatkan bahwa banyak jurusan pendidikan yang belum ikut PPG, padahal sertifikasi tersebut akan memberikan nilai otomatis saat tes CPNS. Ia juga berharap agar ada pengangkatan guru honorer menjadi CASN atau PPPK sebagai bentuk apresiasi pengabdian seperti yang dilakukan di masa lalu.
Nasib Puluhan Ribu Guru Honorer Terkatung-katung
Apa yang dialami Hasan dan Fahdi juga dialami para guru honorer lain. Bahkan mereka sudah mengeluhkan masalah nasib guru honorer ini ke Istana Negara lewat Kantor Staf Kepresidenan (KSP) pada Rabu (9/11/2022). Mereka menagih status karena mengalami ketidakpastian usai lolos tahap passing grade prioritas 1 seleksi PPPK pada 2021.
“Guru yang sudah lolos passing grade PPPK masih belum mendapatkan kepastian dan belum diserap karena alasan APBD yang kurang. Di daerah saya misalnya, di Lampung Selatan, ada sekitar 980 guru yang lulus passing grade, tapi yang diserap (mendapat SK) hanya 70 guru, kurang dari 10%. Alasannya karena tidak ada anggaran,” kata salah satu guru honorer asal Lampung, Fulkan Gaviri dalam pertemuan, Rabu (9/11/2022).
Berdasarkan data yang diberikan kepada KSP, perwakilan guru mencatat sekitar 54.000 guru yang nasibnya masih terkatung-katung tanpa SK pengangkatan dan penempatan. Angka ini mencapai seperempat dari total 193.954 guru honorer se-Indonesia yang dinyatakan lolos passing grade prioritas 1 PPPK 2021.
Guru honorer lain asal Pasuruan, Jawa Timur, Annisa Harjanti juga mengeluhkan, posisinya yang kini tidak bekerja usai lolos seleksi. Ia beralasan, sebagian besar guru honorer yang lolos adalah guru honorer dari sekolah swasta. Mereka langsung diberhentikan dari sekolah setelah lolos passing grade PPPK karena dianggap akan ditempatkan di sekolah negeri.
“Saya salah satu yang sekarang sudah kehilangan pekerjaan karena sekolah swasta tempat saya mengajar menganggap saya akan segera ditempatkan di sekolah negeri. Sehingga mereka segera mencari guru pengganti yang baru. Padahal hingga saat ini saya belum mendapatkan kepastian penempatan dan SK pengangkatan PPPK,” keluh Annisa.
Masalah yang Tidak Kunjung Selesai
Kepala Bidang Advokasi P2G, Iman Z. Haeri menuturkan, permasalahan guru honorer maupun PPPK yang lolos, tetapi belum ada penempatan memang masih banyak.
“Itu keadaannya adalah carut marut, jadi statement Pak Nadiem [Makarim] dulu bilang 1 juta guru akan kami angkat itu ghosting sekali. Misalkan ketika janjinya 1 juta 2021 yang direkrut cuma 293 ribuan, padahal kebutuhannya 1 juta koma sekian,” kata Iman kepada Tirto, Kamis (24/11/2022).
Imam menambahkan, “Jadi gimana pendidikan kita mau maju kalau kebutuhannya tidak terpenuhi. Pokoknya kesejahteraan guru honorer sampai hari ini nggak ada berita baik walaupun sudah berkali-kali kita melewati hari guru. Jadi hari guru itu, ya biasa kita dapat angin surga, ghosting lagi dan begitu lagi.”
Iman merinci, kebutuhan guru total 1.002.616 orang, tapi yang diterima hanya 293.860 orang. Dari 293 ribu orang tersebut, ada 193.954 orang yang belum mendapat penempatan sejak lulus tes.
Ia menilai, angka tersebut tidak sedikit karena sejumlah guru honorer yang sudah lulus itu tidak lagi bekerja, mereka diminta keluar dari sekolah swasta demi ikut PPPK. Hal itu juga berimbas pada kinerja sekolah swasta.
“Mereka (pihak sekolah swasta) menyatakan guru-guru mereka diculik oleh PPPK karena lebih menggiurkan, karena gaji swasta menengah ke bawah kurang bagus. Setelah mereka ikut PPPK, karena mereka juga punya komitmen seperti itu, ya mereka dipecat dari tempat kerja yang lama, yayasan sekolah swasta, diangkat jadi PPPK sudah lulus passing grade, dan sudah dipecat di sekolah swastanya dan di situ pun mereka di PPPK belum ada formasinya,” tutur Iman.
“Jadi dipaksa nganggur oleh negara karena ketidakjelasan posisi ini. Kalau saya sebut, saya hitung, lumayan banyak 193 ribu. Ini bukan angka sedikit. Ini kita belum bilang kualitas,” kata Iman.
Iman pun bercerita para guru yang nganggur ini akhirnya mencari pekerjaan lain seperti menjadi tukang ojek online demi memenuhi kebutuhan hidup.
Iman juga menceritakan sejumlah dampak dari carut-marutnya PPPK ini. Di Serang, kata Iman, sempat ada kericuhan antara guru honorer dengan pemerintah setempat. Ia menuturkan, pemerintah setempat mengatakan bahwa mereka akan menempatkan para guru honorer, tapi guru itu harus tidak bersuara selama 8 bulan pada 2022.
Ia juga bercerita bahwa ada kejadian di mana sekolah membutuhkan guru sejarah, padahal sekolah tersebut memiliki guru honorer pelajaran sejarah. Ketika ikut seleksi, guru sejarah tersebut malah bergeser menjadi guru geografi di sekolah lain.
Oleh karena itu, Iman berharap pemerintah mau mengangkat seluruh guru honorer sebagai guru PPPK. Paling tidak, para guru yang lolos PPPK agar segera mendapatkan penempatan.
Ia berharap Jokowi mau menindaklanjuti harapan mereka karena pejabat setingkat menteri dan dirjen tidak mampu menyelesaikan masalah mereka. “Jangan sampai kayak begini gitu, diombang-ambing," kata Iman.
Respons Pemerintah soal Masalah Guru Honorer
Tenaga Ahli Madya Kedeputian V KSP, Yusuf Gumilang menegaskan bahwa pemerintah berkomitmen untuk menyelesaikan nasib ratusan ribu guru honorer yang dapat passing grade, tetapi tidak mendapat formasi.
“Kami sudah jelaskan pada rekan-rekan bahwa pemerintah berkomitmen untuk memberikan kebijakan afirmasi dalam seleksi ASN PPPK untuk tahun 2022,” kata Yusuf kepada reporter Tirto, Kamis malam (24/11/2022).
Yusuf mengatakan, pemerintah menerbitkan PermenPAN & RB Nomor 20 Tahun 2022 yang menjadi dasar afirmasi dengan memprioritaskan guru lolos passing grade sebagai prioritas pertama dalam rekrutmen PPPK 2022. Pemerintah juga membuka formasi fokus pada PPPK di 2022 demi menyelesaikan masalah honorer.
Ia mengatakan, formasi ASN yang dibuka mencapai 439 ribu dengan perincian 319 ribu untuk guru, 92 ribu untuk tenaga kesehatan, dan sisanya untuk tenaga teknis.
Ia menambahkan, formasi 319 ribu berdasarkan usulan formasi dari pemerintah daerah, selaku pemegang otoritas pendidikan dasar dan menengah sesuai UU Pemda. Formasi yang disusun juga mengkalkulasikan kebutuhan transfer daerah untuk gaji PPPK dengan pertimbangan Kementerian Keuangan.
“Jadi, kalau kebijakan di pusat hampir pasti mendorong agar permasalahan guru ini diselesaikan segera karena kebutuhannya riil. Tapi enggak bisa hanya pusat, pemda juga lebih berperan karena mereka yang usulkan formasi untuk guru ini, sesuai dengan kebutuhan kapasitas fiskal masing-masing, khususnya untuk tunjangan daerahnya,” kata Yusuf.
Yusuf menegaskan, “Poin saya adalah, pemerintah serius untuk menyelesaikan masalah guru honorer ini, karena pendidikan dan kesehatan adalah layanan dasar sehingga terus akan diprioritaskan dalam rekrutmen ASN ke depan.”
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Abdul Aziz