tirto.id - Sangat wajar jika banyak masyarakat Indonesia akhir-akhir ini menderita migrain atau tengkuknya tegang. Kebijakan dan otak-atik aturan yang dilakukan pemerintahan Presiden Joko Widodo sepanjang 2024 tak ada habisnya membuat geleng-geleng kepala. Nilai-nilai demokrasi seakan dilangkahi dan mandat reformasi cuma tinggal cerita akhir-akhir ini.
Lihat bagaimana pernyataan Panglima TNI, Jenderal Agus Subiyanto, Kamis (6/6/2024) di DPR, yang menepis anggapan publik bahwa revisi UU TNI bakal mengembalikan konsep dwifungsi ABRI. Tanpa malu-malu Agus menegaskan bahwa dwifungsi sudah tak lagi eksis. Kini, yang hadir adalah multifungsi peran prajurit TNI.
Jika kita berhitung, pernyataan Panglima TNI justru menimbulkan kecemasan. Agus seakan mengakui bahwa revisi UU TNI yang tengah bergulir saat ini, memang dilakukan sebagai karpet merah prajurit TNI masuk ke peran-peran sipil.
"Sekarang, bukan dwifungsi ABRI lagi, multifungsi ABRI semuanya kita. Ada bencana, kita di situ, ya, kan. Jadi, jangan berpikir seperti itu,” kata Agus.
Ia mencontohkan, ada prajurit TNI di Papua yang mengabdi dalam sejumlah bidang. Ada yang mengajar, ada yang bertugas dalam pelayanan kesehatan, dalihnya semua dilakukan untuk melayani masyarakat.
“Terus kalian mau nyebut dwifungsi ABRI atau multifungsi? Kita jangan berpikir seperti itu ya. Kita untuk kebaikan negara ini,” ucap Agus.
Apapun istilahnya–entah itu dwifungsi atau multifungsi–hal ini merupakan sinyal kemunduran reformasi TNI. Militer melenggang bebas dari barak mereka dan hadir di tengah-tengah sipil sebagaimana Orde Baru pimpinan otoritarianisme rezim Soeharto. Sayangnya, pemerintahan Jokowi malah memberikan karpet merah pada agenda ini dengan terus membiarkan revisi UU TNI bergulir di Senayan.
Peneliti Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia (PSHK), Muhammad Nur Ramadhan, menilai pemikiran panglima TNI sudah keliru, sebab tugas utama TNI adalah menegakkan kedaulatan negara dan mempertahankan keutuhan wilayah NKRI. Jika ada tugas lebih di luar urusan pertahanan, itu semua cuma tugas tambahan.
“Sehingga kehadiran TNI di simpul dan urusan sipil menjadi keliru, selain itu pembatasan peran TNI dalam urusan sipil merupakan amanat reformasi yang harus diingat dan dilaksanakan,” kata Ramadhan kepada Tirto, Jumat (7/6/2024).
Revisi UU TNI yang memberikan porsi prajurit militer dalam urusan sipil menjadi tidak masuk akal dan bertentangan dengan nilai serta semangat reformasi.
Setidaknya ada beberapa pasal bermasalah dalam draft RUU TNI seperti soal prajurit aktif dapat menduduki jabatan pada kementerian/lembaga lain, hingga perpanjangan usia pensiun sampai 60 tahun.
Revisi UU TNI bukan satu-satunya beleid strategis yang bakal diotak-atik pemerintah dan DPR tahun ini. Ada juga proses revisi UU Polri yang juga dikecam masyarakat sipil sebab salah satunya menimbulkan ekses kewenangan polisi dalam melakukan penyadapan.
Lalu revisi UU Kementerian yang disebut berpotensi mengakomodasi bagi-bagi kue kekuasaan pemerintahan mendatang, sebab ada wacana penambahan jumlah menteri.
Selain banyak revisi aturan undang-undang strategis, akhir masa jabatan Jokowi juga diwarnai dengan keluarnya sederet kebijakan bermasalah yang diprotes publik. Misalnya, kebijakan KRIS pengganti sistem kelas BPJS yang dinilai justru memantik segregasi sosial.
Selain itu, kebijakan UKT selangit di perguruan tinggi negeri, serta yang teranyar, iuran tabungan perumahan rakyat (Tapera) yang memangkas upah pegawai.
Belakangan, kedua kebijakan tersebut ditunda sebab memantik protes yang masif. Respons semacam itu justru semakin menebalkan ketidaksiapan pemerintah dalam menelurkan kebijakan.
“Masa saat ini disebut sebagai ‘lame duck session’ di mana sebenarnya pemerintahan yang masih menjabat secara etik sudah tidak boleh lagi membuat kebijakan yang berdampak signifikan terhadap sistem bernegara,” ujar Ramadhan.
Namun sepertinya etika merupakan konsep usang yang tak perlu repot-repot dipusingkan pemerintahan Jokowi. Lihat saja bagaimana Jokowi membiarkan anaknya, Gibran Rakabuming Raka, maju dan terpilih sebagai wakil presiden periode 2024-2029 mendampingi Prabowo Subianto.
Sudah jelas Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MK) menegaskan bahwa putusan Nomor 90/2023 yang menjadi karpet merah Gibran maju sebagai cawapres lalu merupakan putusan yang cacat prosedural.
“Kondisi hari ini seperti meraih kesempatan dalam kesempitan, di saat semua orang sudah terpecah konsentrasinya pemerintah memanfaatkan praktik ugal-ugalan,” kata Ramadhan.
Menilik rekam jejak, bukan kali ini saja Presiden Jokowi menutup masa jabatannya dengan melahirkan kebijakan-kebijakan yang merugikan publik.
Seperti terjadi pada akhir periode pertama pemerintahan Jokowi, muncul revisi UU KPK yang melemahkan komisi antirasuah dan UU Minerba yang dinilai justru melanggengkan kerusakan lingkungan.
Kembali ke kondisi hari ini, Ramadhan memandang maraknya kebijakan yang berpotensi merugikan rakyat menunjukkan bahwa selama ini pengambilan kebijakan pemerintah tidak disertai dengan data dan kondisi riil. Kebijakan dibentuk pemerintah berdasarkan nafsu kekuasaan dan kepentingan belaka.
“Periode kedua Jokowi merupakan periode paling kelam pada aspek hukum dan demokrasi, hal ini juga yang akan terus dikenang dari Jokowi dan meninggalkan warisan buruk,” tegas Ramadhan.
Ancaman Demokrasi
Direktur Imparsial, Gufron Mabruri, berpendapat munculnya agenda revisi sejumlah undang-undang di akhir masa jabatan Jokowi tidak muncul dalam ruang kosong.
Sikap dan langkah ugal-ugalan pemerintah atau DPR dinilainya bukan sekadar kejar tayang, justru yang dikhawatirkan ini agenda yang sarat akan politik transaksi kekuasaan. Terutama, kata dia, demi menyiapkan perangkat hukum dalam menopang pemerintahan ke depan.
“Sebab jika mencermati substansi perubahannya, banyak bermasalah dan cenderung memperkuat eksistensi negara melalui penebalan kekuasaan dan kewenangan sejumlah intsitusi,” ujar Gufron kepada Tirto, Jumat (7/6/2024).
Apa yang dilakukan Jokowi di ujung kekuasaannya merupakan ancaman nyata terhadap nilai-nilai demokrasi. Indonesia berubah menjadi negara kekuasaan dan hukum justru menjadi alat untuk melegitimasi kuasa tersebut. Perbaikan demokrasi, kata Gufron, tidak bisa digantungkan kepada para elite.
“Perlu didorong penguatan peran masyarakat sipil lintas sektor, organisasi, dan daerah. Sehingga tumbuh berbagai bentuk partisipasi dalam mengontrol perilaku elite politik,” kata dia.
Koordinator KontraS, Dimas Bagus Arya, memandang keadaan saat ini seharusnya menjadi titik kulminasi kemarahan rakyat. Sebab, banyaknya kebijakan dan revisi UU yang dilakukan hari ini dilakukan tanpa partisipasi publik bermakna dan berpotensi mengancam kebebasan sipil ke depan.
“Ini juga bisa dijadikan salah satu tolok ukur untuk kemudian dapat merespons secara keras pemangku kebijakan dan juga pembuat kebijakan. Supaya mengevaluasi kembali cara-cara membentuk kebijakan atau peraturan pendang-undangan,” kata Dimas kepada Tirto, Jumat (7/6/2024).
Dimas mengapresiasi sejumlah aksi protes masyarakat sippil yang sudah dilakukan, baik di ranah digital melalui diskusi yang menghasilkan tuntutan dan rekomendasi. Bahkan, juga sudah ada beberapa elemen masyarakat sipil yang turun ke jalan berunjuk rasa merespons kebijakan pemerintah yang ugal-ugalan saat ini.
“Jadi memang peran masyarakat sipil ini sangat sentral dalam sebuah negara demokrasi,” kata Dimas.
Menurutnya, fenomena hari ini yakni masifnya disfungsi elite dan manipulasi melakukan percepatan menggolkan kebijakan serta peraturan yang bermasalah memang sah direspons masyarakat dengan kemarahan dan kekecewaan.
“Juga bisa disalurkan atau dikanalisasi melalui partisipasi masyarakat dalam ruang-ruang sipil, dalam ruang media sosial atau ruang digital, dan secara langsung untuk memberikan masukan dan untuk meminta sejumlah penundaan,” jelas Dimas.
Di sisi lain, yang bakal menjadi warisan buruk pemerintah saat ini adalah kentalnya politik dinasti dalam agenda politik paktis.
Selain putusan MK Nomor 90/203 yang meloloskan putra sulung presiden menjadi wakil presiden terpilih periode mendatang, kini muncul juga putusan Mahkamah Agung (MA) Nomor 24 P/HUM/2024. Gugatan yang diajukan Partai Garuda dan dikabulkan MA itu disebut-sebut akan menguntungkan Kaesang Pangarep, putra Jokowi lainnya untuk maju di Pilkada Jakarta 2024.
Pengajar hukum pemilu dari Universitas Indonesia, Titi Anggraini, menjelaskan praktik dinasti politik biasanya tidak diiringi kaderisasi dan pematangan politik secara demokratis sehingga rentan penyimpangan dan kesewenang-wenangan. Orientasi kekuasaan menjadi begitu kuat yang berakibat pada mudahnya paparan tindakan yang koruptif.
“Beberapa kasus korupsi politik di tingkat daerah ternyata terbukti lebih mudah terjadi jika melibatkan kepemimpinan dinasti politik. Sebut saja beberapa kasus yang terjadi di Banten, Sumatra Selatan, Sulawesi Selatan, dan sejulam daerah di Jawa Barat,” kata Titi kepada Tirto, Jumat (7/6/2024).
Dinasti politik, kata Titi, lebih mengarah kepada nuansa yang destruktif dibanding sesuatu yang punya nilai moralitas dan etis yang baik. Praktik lancung ini merupakan antitesisa dari nilai demokratis karena mengabaikan sistem merit dalam proses politik
“Kepemimpinan politik yang dihasilkan tidak berkualitas dan jauh dari kualifikasi yang dibutuhkan dari seorang politisi. Politisi model begini yang rentan melakukan pelanggaran HAM dan mengakibatkan kerugian kepada konstituen,” ujar Titi.
Respons Istana
Deputi IV KSP, Wandy Tuturoong, menilai sah-sah saja muncul banyak kritik di masa akhir kepemimpinan presiden Jokowi. Menurutnya dalam negara demokrasi, beda perspektif boleh-boleh saja dilakukan.
Soal protes yang mengalir belakangan–misalnya soal kebijkan Tapera—Wandy menegaskan tujuan pemerintah Jokowi baik, karena ingin mengatasi kesenjangan kepemilikan rumah dengan pembiayaan terjangkau bagi pekerja.
“Namun pemerintah tentu harus mendengarkan pandangan berbagai pemangku kepentingan. Termasuk jika harus merevisi UU yang merupakan kewenangan parlemen,” kata dia kepada Tirto, Jumat (7/6/2024).
Dihubungi terpisah, Deputi V KSP, Rumadi Ahmad, mengamini pendapat Wandy. Menurutnya kritik akhir-akhir ini merupakan fenomena wajar dalam berdemokrasi. Dia justru menyatakan pemerintah menjaga ruang kritik itu agar tetap hadir di tengah masyarakat.
“Kritik ya wajar, Mas, sebagai bagian dari demokrasi. Ruang kritik dan partisipasi publik itu yang harus kita jaga,” tutur Rumadi.
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Irfan Teguh Pribadi