Menuju konten utama

Kasus Ibu Mencabuli Anak Kandung, Mereka Pelaku Sekaligus Korban

Dua ibu muda yang mencabuli anak kandungnya adalah pelaku sekaligus korban. Mereka diliputi kerentanan dan berhak mendapat perlindungan serta pemulihan.

Kasus Ibu Mencabuli Anak Kandung, Mereka Pelaku Sekaligus Korban
Ilustrasi Kekerasan Seksual. FOTO/iStockphoto

tirto.id - Warganet media sosial Facebook digemparkan dengan video asusila yang dilakukan oleh seorang ibu berinisial AK (26) dan anak laki-lakinya. Kasus itu terkuak setelah ditemukan oleh Subdit Siber Ditreskrimum Polda Metro Jaya dalam patroli siber.

AK membuat video asusila di kontrakannya di Cileungsi, Bogor. Di tempat itu pula Tim Jatanras Ditreskrimum Polda Metro Jaya menangkapnya.

Usai ditangkap, AK mengaku membuat video asusila bersama anaknya karena didorong motif ekonomi yang menjerat. Dia tergiur dengan tawaran uang jutaan rupiah dari sebuah akun Facebook bernama Icha Shakila.

Video tersebut direkam tahun 2023 saat ia masih tinggal bersama suaminya. Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya, Komisaris Besar Ade Ary Syam Indradi, menyebut saat ini AK telah berpisah dengan suaminya.

"Disuruh oleh akun Facebook IS (Icha Shakila), sama dengan yang ditangani Subdit Siber Reskrimsus PMJ," kata Ade saat dikonfirmasi, Jumat (7/6/2024).

Untuk tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak, video asusilanya yang dikirim ke akun Facebook Icha Shakila tak mendapat bayaran. AK telah berupaya untuk mendapatkan haknya seperti yang dijanjikan. Namun, bukan uang yang didapat, justru pemerasan demi pemerasan yang dia terima. Akun Icha Shakila memintanya membuat video asusila dengan genre lainnya yaitu beradegan intim dengan pria lansia.

Tak hanya AK yang terbujuk iming-iming jutaan rupiah dari akun Icha Shakila, R (22) juga harus terjebak di lubang yang sama karena membuat video asusila dengan anak laki-lakinya yang berusia lima tahun.

Ade menuturkan, peristiwa dalam video berawal pada 28 Juli 2023 sekitar pukul 18.00 WIB ketika R dihubungi oleh seseorang di media sosial Facebook. Akun bernama Icha Shakila menawarkan pekerjaan kepada R.

“Kemudian pemilik akun Facebook Icha Shakila (DPO) membujuk tersangka untuk mengirimkan foto tanpa busana dengan iming-iming akan dikirimkan sejumlah uang,” ucap Ade dalam keterangan tertulis, Senin (3/6/2024).

R dan AK disangkakan Pasal 45 ayat (1) jo Pasal 27 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 2024 tentang perubahan kedua UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dan atau Pasal 29 jo Pasal 4 ayat (1) UU Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi dan atau Pasal 88 jo Pasal 76 UU Nomor 35 tahun 2014 tentang perubahan UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

Saat ini, Polda Metro Jaya telah menemukan sosok di balik akun Icha Shakila. Direktur Reserse Kriminal Khusus Polda Metro Jaya, Kombes Ade Safri Simanjuntak, mengatakan Icha Shakila adalah sindikat yang tidak hanya dilakukan oleh satu orang. Ade menyebut salah seorang tersangka berinisial M dan tiga orang lain yang memiliki keterkaitan.

PROTES PUTUSAN BEBAS KASUS PENCABULAN ANAK

Massa Save Our Sisters menyampaikan orasi sambil membentangkan poster saat aksi damai kasus pencabulan anak di Kejaksaan Tinggi Jambi, Jumat (14/2/2020). ANTARA FOTO/Wahdi Septiawan/foc.

Polisi Harus Gunakan Perspektif KBGO

Penyidikan kasus dua ibu pemeran pornografi harus diusut menggunakan sudut pandang Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO) atau Kekerasan Seksual Berbasis Elektronik (KSBE) apabila merunut pada Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS).

Kepala Divisi dan Kesetaraan Inklusi Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet), Ni Wayan Widayanti Arioka, mengungkapkan bahwa kedua perempuan itu selain menjadi tersangka di waktu bersamaan, juga merupakan korban.

"Kasus ini juga berbasis gender, sehingga juga termasuk KBGO (Kekerasan Berbasis Gender Online). Bisa disebut berbasis gender karena yang paling terlihat adalah semua korbannya adalah perempuan. Jadi bisa diduga pelaku utamanya memang menarget perempuan," kata Wida saat dihubungi Tirto, Jumat (28/6/2024).

Wida mendesak agar kepolisian tidak hanya menjerat kedua perempuan itu dengan UU ITE, UU Pornografi, dan UU Perlindungan Anak, tapi juga menggunakan UU TPKS yang disahkan pada 2022 lalu.

"Terkait langkah-langkah perlindungan korban dan pemulihan trauma, sesungguhnya sudah tertuang pada UU TPKS yang diterbitkan pada tahun 2022," kata Wida.

Dia mengakui bahwa UU TPKS masih menyimpan kelemahan yaitu ketiadaan aturan turunan untuk diterapkah oleh aparat penegak hukum. Mak itu, dia memahami jika kepolisian enggan menggunakan UU TPKS dan memilih UU ITE serta aturan lainnya, yang menurut Wida membuat perempuan menjadi lebih rawan.

"Belum ada aturan turunan ini membuat APH (aparat penegk hukum) di beberapa daerah masih enggan menggunakannya untuk kasus KSBE (Kekerasan Seksual Berbasil Elektronik) dan memilih menggunakan UU ITE," kata Wida.

Tirto mencoba mengonfirmasi hal tersebut kepada Polda Metro Jaya melalui Humas dan Ditreskrimum, namun keduanya belum memberikan jawaban hingga tulisan ini ditayangkan.

Komisioner Komnas Perempuan, Siti Aminah Tardi, mengingatkan agar AK dan R dijerat dengan UU TPKS dan aparat penegak hukum fokus pada pencarian pemilik akun Facebook Icha Shakila.

Menurutnya, polisi harus berperspektif membela kedua perempuan itu yang terpaksa membuat video asusila atas dasar penipuan dan keterdesakan kebutuhan ekonomi.

"Dalam kasus ini menjadi penting untuk memeriksa pemilik akun FB yang memperdaya, mengancam perempuan, dan menyuruh perempuan untuk melakukan kekerasan seksual terhadap anak. Karena bisa jadi akun ini memperdayai ketidaktahuan perempuan bahwa dirinya digunakan untuk kepentingan pedofilia," kata Aminah.

EVAKUASI ANAK KORBAN KEKERASAN SEKSUAL DI JAMBI

Kerabat membantu evakuasi anak korban kekerasan seksual dari rumah orang tua mereka menggunakan mobil menuju Balai Rehabilitasi Sosial Anak yang Memerlukan Perlindungan Khusus Alyatama, Jambi, Selasa (7/2/2023). ANTARA FOTO/Wahdi Septiawan/aww.

Mereka Pelaku Sekaligus Korban

Selain proses penyidikan yang menggunakan UU TPKS yang berspektif gender, kepolisian juga harus membuka ruang advokasi dan perlindungan karena merupakan bagian dari korban non consesual intimate images atau penyebaran konten intim tanpa ijin sebagaimana yang masuk dalam kategori KBGO.

Menurut Wida, AK dan R yang video intimnya tersebar juga berhak mendapat perlindungan, konseling, dan pemulihan. Wida menyebut UU ITE dan Pornografi tidak mengatur hal itu, hanya hukuman yang tercatat dalam dua aturan perundang-undangan.

"Sayangnya, di UU ITE sendiri tidak mengakomodasi kebutuhan korban untuk konseling dan pemulihan trauma," katanya.

Menurut Wida, selama ini polisi masih abai memandang korban KBGO yang videonya tersebar menggunakan sudut pandang UU TPKS. Dia mencontohkan dengan kasus video porno Vina Garut yang tersebar di dunia maya. Vina yang menurutnya korban, karena video intimnya disebar tanpa izin, juga harus menanggung hukuman karena dijerat dengan UU ITE dan Pornografi.

"Kalau masih ingat kasus Vina Garut, jika ditelusur lebih lanjut, sekalipun ia sudah diputuskan menjadi salah satu pelaku dan dikenakan hukuman, namun sesungguhnya ia juga merupakan korban KBGO," kata Wida.

Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), Sri Nurherwati, menuturkan bahwa pihaknya memberi atensi khusus atas kasus pornografi yang menjerat AK dan R, termasuk upaya memberi perlindungan apabila dia ditetapkan sebagai korban atau menjadi saksi kunci atas kasus pornografi melalui media sosial.

"Kami sudah mulai membuka komunikasi dengan Polda Metro Jaya, sambil menunggu proses berjalan," kata Sri.

Dia meminta penyidik kepolisian untuk menjerat kedua perempuan itu dengan pasal UU TPKS. Walaupun aturan turunannya hingga saat ini belum dibuat pemerintah, Sri berpendapat aturan TPKS yang ada saat ini cukup untuk memberikan hak kepada AK dan R yang juga menjadi korban secara bersamaan.

"Hak mereka harus dipenuhi, setidaknya akan mengungkap tindak pidana secara keseluruhan dan setidaknya mendapatkan hal-hal yang meringankan karena kondisi khusus tertentu," katanya.

Sri mengkritik sikap Polda Metro Jaya yang tidak menggunakan UU TPKS dan mengelompokkan kedua perempuan itu sebagai korban KBGO. Apabila AK dan R dijerat dengan UU TPKS, ada sejumlah hak pendampingan yang bisa diberikan dari pemerintah daerah setempat.

"Perlu dicatat bahwa tindak pidana pornografi ini kan selama ini hanya memproses kelompok-kelompok rentan ya. Kalau kita lihat dari kajiannya Komnas Perempuan tahun 2022, hampir industri pornografi itu belum terungkap. Sehingga dengan keterangan saksi dan korban ini diharapkan menjadi petunjuk dalam pengungkapan industri pornografi secara luas," kata Sri.

Meski demikian, Sri tak memungkiri bila AK dan R berpotensi mendapat hukuman yang memberatkan dengan Pasal 88 juncto Pasal 761 UU No 35/2014 tentang Perlindungan Anak imbas melibatkan kedua anak mereka dalam video asusila tersebut.

"Itu memang agak berat ya, karena korbannya anak," kata dia.

Baca juga artikel terkait KEKERASAN BERBASIS GENDER ONLINE atau tulisan lainnya dari Irfan Amin

tirto.id - Hukum
Reporter: Irfan Amin
Penulis: Irfan Amin
Editor: Irfan Teguh Pribadi