tirto.id - Tren pelemahan nilai tukar rupiah dinilai akan berdampak terhadap keseimbangan fiskal Indonesia. Pasalnya, ia akan memengaruhi pos-pos alokasi di APBN 2024. Pelemahan ini juga disinyalir bakal berdampak secara langsung terhadap harga energi di Indonesia, mengingat struktur perekonomian Indonesia saat ini cukup tergantung terhadap impor.
Dalam sepekan terakhir, nilai tukar rupiah sudah melewati Rp16.000 dolar per Amerika Serikat (AS). Pada Jumat (28/6/2024), kurs rupiah di perdagangan pasar spot dibuka berada di posisi Rp16.417 per dolar AS—melemah tujuh poin atau minus 0,04 persen dari posisi sebelumnya.
Pelemahan kurs rupiah juga terlihat dari referensi Bank Indonesia (BI) Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor) dalam sepekan ini. Pada Kamis (27/6/2024) kemarin, rupiah berada di posisi Rp16.421 dolar per AS. Posisinya sempat menguat dibandingkan Rabu (26/6/2024) yang melemah hingga Rp16.435 dolar per AS.
Berdasarkan hitung-hitungan ReforMiner Institute, setiap pelemahan rupiah sebesar Rp100 per dolar AS berpotensi meningkatkan pendapatan negara sekitar Rp4 triliun. Akan tetapi, pelemahan tersebut juga punya konsekuensi terhadap meningkatnya belanja negara sekitar Rp10,20 triliun.
Artinya, setiap pelemahan rupiah sebesar Rp100 per dolar AS berpotensi meningkatkan defisit APBN sekitar Rp6,20 triliun.
“Pelemahan nilai tukar rupiah berpotensi memberikan dampak negatif terhadap kondisi fiskal Indonesia terutama untuk APBN 2024,” ujar Direktur Eksekutif ReforMiner Institute, Komaidi Notonegoro, dalam laporan analisis yang diterima Tirto, Jumat (28/6/2024).
Selain pelemahan rupiah, kenaikan harga minyak (ICP) juga memberikan dampak negatif terhadap kondisi fiskal Indonesia. Saat ini, harga minyak mentah sendiri diketahui masih terus mengalami volatilitas dengan tren cenderung naik.
Harga minyak West Texas Intermediate (WTI) AS untuk kontrak Agustus berada di posisi US$80,90 per barel—naik tujuh sen atau 0,09 persen atau 12,9 persen sejak awal tahun ini. Kemudian, harga minyak Brent untuk kontrak Agustus ada di level US$85,25 per barel—menguat 24 sen atau 0,28 persen atau melonjak 10,66 persen sejak awal 2024.
Seturut perhitungan Komaidi, setiap peningkatan harga minyak sebesar US$1 per barel berpotensi meningkatkan pendapatan negara sekitar Rp3,6 triliun. Namun, kenaikan harga tersebut sekaligus memberikan dampak terhadap meningkatnya belanja negara sekitar Rp10,10 triliun.
“Artinya, setiap peningkatan harga minyak sebesar US$1 per barel berpotensi meningkatkan defisit APBN 2024 sekitar Rp6,50 triliun,” ujarnya.
Kepala Ekonom Bank Permata, Josua Pardede, turut mengamini dampak negatif pelemahan rupiah terhadap kondisi fiskal Indonesia. Ia terutama menyebabkan pembengkakan anggaran subsidi tahun ini.
Dalam APBN 2024, pemerintah setidaknya mengalokasikan anggaran untuk subsidi energi sebesar Rp189,1 triliun. Jumlah itu terbagi dalam beberapa pos, yakni subsidi BBM, LPG tabung 3 kilogram, dan listrik bersubsidi.
“Maka anggaran subsidi energi pada tahun 2024 ini diperkirakan akan berkisar Rp200-Rp220 triliun,” ujar Josua kepada Tirto, Jumat (28/6/2024).
Potensi pembengkakan anggaran pun bakal lebih tinggi jika dibandingkan dengan APBN 2023. Realisasi belanja subsidi energi pada tahun lalu tercatat sebesar Rp164,29 triliun yang mencakup subsidi BBM, LPG tabung 3 kg, dan listrik.
Realisasi pembayaran subsidi energi tersebut untuk penyaluran BBM bersubsidi 16.504,53 ribu KL, LPG tabung 3 kg 7,73 juta MT, pelanggan listrik bersubsidi sejumlah 39,96 juta pelanggan, dan volume konsumsi listrik bersubsidi sebesar 64,46 TWh.
Sementara hingga Mei 2024 saja, realisasi belanja subsidi energi tercatat Rp56,9 triliun. Posisi saat ini meningkat dibandingkan dengan posisi Mei 2023 yang tercatat Rp54,24 triliun. Belanja Subsidi tersebut sebagian besar dipengaruhi oleh perkembangan asumsi makro, seperti harga minyak mentah, nilai tukar rupiah, dan volume penyaluran barang bersubsidi.
Josua mengatakan bahwa dengan mempertimbangkan peningkatan volume penyaluran energi yang disubsidi, perkembangan asumsi makro APBN 2024 seperti nilai tukar rupiah yang saat ini memiliki deviasi sekitar Rp891 per dolar AS dari asumsi Rp15.000 per dolar, meskipun asumsi harga ICP masih cenderung inline dengan asumsi US$82 per barrel, maka anggaran subsidi energi pada 2024 ini diperkirakan membengkak.
Konsekuensi Terhadap Harga Energi
Di luar dari konsekuensi fiskal, menurut Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, dampak pelemahan rupiah ke harga energi baik subsidi dan nonsubsidi juga perlu diwaspadai. Pasalnya, begitu rupiah melemah di atas Rp16.400, biaya impor akan naik cukup tinggi.
“Jadi, tinggal tunggu waktu sampai harga BBM nonsubsidi naik, disusul tarif listrik nonsubsidi dan LPG nonsubsidi,” ujar Bhima kepada Tirto, Jumat (28/8/2024).
Masalahnya, kata Bhima, pelemahan rupiah saat ini tidak disertai dengan kenaikan harga komoditas ekspor. Artinya, pendapatan negara berisiko turun dan beban APBN justru semakin naik.
“Ini disebut perfect storm,” imbuhnya.
Jika kondisi pelemahan rupiah berlanjut dan sampai tembus Rp17.000 dalam tiga bulan kedepan, harga Pertalite dan LPG 3 kg pasti perlu penyesuaian. Sebab, pemerintah sudah makin sempit ruang fiskalnya sehingga tidak bisa berbuat banyak.
“Dampak kenaikan harga energi tentu merembet ke inflasi bahan makanan dan menekan daya beli masyarakat,” ujar Bhima.
Direktur Eksekutif Center of Energy and Resources Indonesia (CERI), Yusri Usman, melihat potensi kenaikan harga energi itu memang tidak bisa dihindari. Pasalnya, komponen pembentuk harga LPG dan BBM adalah harga pasar dunia dan nilai tukar rupiah terhadap dolar.
Untuk 2024 saja, nilai subsidi LPG 3 kg sudah mencapai Rp8,7 triliun dan subsidi BBM sebesar Rp113,3 triliun dengan asumsi nilai tukar APBN 2024 masih sekitar Rp15.000. Sementara hari ini, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS sudah sekitar Rp 16.400.
“Kita tidak tahu situasi geopolitik dunia ke depan apakah semakin baik atau buruk. Itu akan menentukan nilai tukar dan harga LGP dan BBM,” ujar Yusri kepada Tirto, Jumat (28/6/2024).
Akhirnya, kata Yusti, semua akan sangat tergantung pada cara pemerintah mengatur ruang fiskalnya dalam RAPBN 2025. Pilihan yang tersedia adalah menaikkan nilai subsidi atau mempertahankan nilai saat ini.
Jika pemerintah memutuskan untuk mempertahankan nilai subsidi seperti saat ini, konsekuensinya harga jual LPG 3 kg dan BBM subsidi akan dinaikan.
“Tinggal apakah daya beli masyarakat menengah ke bawah mampu membelinya atau tidak. Hal itu tentu akan dihitung kembali oleh pemerintah saat ini dalam menetapkan RAPBN 2025,” pungkas Yusti.
Sementara itu, Komaidi mengatakan bahwa pelemahan rupiah memang akan memberikan dampak langsung terhadap meningkatnya biaya pengadaan energi (listrik, BBM, dan gas) di Indonesia. Peningkatan biaya pengadaan energi di Indonesia disebabkan oleh peningkatan harga bahan baku dan/atau akibat selisih kurs rupiah.
“Dampak pelemahan nilai tukar terhadap harga energi, khususnya BBM, terpantau juga dialami oleh hampir semua negara,” ujar Komaidi.
Sebagai gambaran, harga rata-rata BBM untuk jenis bensin RON 95 selama Januari-Juni 2024 di sejumlah negara ASEAN, yakni Singapura, Filipina, Thailand, Laos, dan Vietnam masing-masing adalah Rp33.850/liter, Rp19.302/liter, Rp16.850/liter, Rp23.650/liter, dan Rp15.033/liter.
Jika mempertimbangkan kondisi realisasi APBN sampai kuartal I-2024 serta aspek keberlanjutan ketersediaan BBM di dalam negeri, penyesuaian harga BBM, menurut Komaidi, kemungkinan akan menjadi opsi yang cukup logis. Pasalnya, kebijakan harga yang kurang proporsional dan terbatasnya anggaran subsidi berpotensi menimbulkan risiko ekonomi dan sosial yang besar akibat terganggunya keberlanjutan pasokan BBM di dalam negeri.
“Meskipun kemungkinan akan menjadi opsi kebijakan yang cukup logis, pemerintah perlu mengantisipasi potensi risiko yang dapat ditimbulkan dari kebijakan penyesuaian harga BBM,” jelas dia.
Komaidi juga menuturkan bahwa PDB Indonesia, baik berdasarkan pendekatan sektoral maupun kelompok pengeluaran, memiliki keterkaitan yang kuat dengan harga energi. Berdasarkan kelompok pengeluaran, sekitar 55 persen PDB Indonesia merupakan kontribusi dari sektor konsumsi yang relatif sensitif terhadap tingkat inflasi.
“Saat ini, pemerintah menghadapi tantangan yang relatif sulit untuk dapat memformulasikan kebijakan fiskal dan kebijakan harga energi yang optimal untuk mengantisipasi dampak negatif yang berpotensi ditimbulkan dari pelemahan nilai tukar rupiah,” pungkasnya.
Sampai saat ini, pemerintah memang belum membahas potensi kenaikan harga energi. Direktur Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan, Isa Rachmatarwata, mengaku belum ada pembahasan antara pihaknya dan Kementerian ESDM terkait potensi kenaikan harga BBM subsidi pada Juli 2024.
“Secara keseluruhan, kita melihat subsidi masih bisa kita pantau dalam range yang sudah disiapkan dalam APBN kita. Selain itu, kita juga mengetahui bahwa untuk subsidi ini, APBN sudah disepakati oleh DPR dan pemerintah untuk bisa bersifat fleksibel menyesuaikan kebutuhan subsidinya ini,” kata Isa dalam konferensi pers APBN KiTa.
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Fadrik Aziz Firdausi