tirto.id - Kementerian Keuangan memproyeksikan belanja perpajakan pada 2025 mencapai Rp421,85 miliar, lebih tinggi dibandingkan proyeksi tahun 2023 dan 2024 yang masing-masing sebesar Rp352,83 miliar dan Rp374,53 miliar.
Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan, Febrio Nathan Kacaribu, mengungkapkan proyeksi belanja perpajakan tahun depan memang harus dipasang tinggi, sesuai arahan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Menurutnya, hal ini dilakukan agar pemerintah dapat memperkirakan seberapa besar peningkatan pendapatan dan aktivitas masyarakat di tahun depan.
“Dan namanya estimasi, harus disesuaikan dengan aktual berapa, tapi itu memberikan sense bahwa keberpihakan fiskal,” jelasnya saat ditemui wartawan usai Rapat Kerja Dewan Perwakilan Rakyat dengan Pemerintah, di Jakarta, Rabu (5/6/2024).
Tidak hanya itu, proyeksi belanja perpajakan pun disusun berdasarkan kebijakan yang sudah ada serta aktivitas masyarakat. Dengan demikian, pemerintah tidak akan mengubah proyeksi belanja perpajakan setiap tahun.
Di sisi lain, belanja perpajakan nantinya juga akan disalurkan salah satunya untuk insentif pajak, pun akan dinikmati oleh banyak pihak, utamanya rumah tangga, sektor Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM), hingga sektor produksi.
Selanjutnya, Kementerian Keuangan bakal melakukan evaluasi secara berkala soal kepada siapa saja benefit belanja perpajakan diterima dan kesesuaiannya.
“Apakah memberikan dorongan, terutama ketika ada tax holiday dan tax allowance mencapai tujuan yang kita harapan?” imbuh Febrio.
Evaluasi ini penting untuk dilakukan, karena pemerintah ingin agar insentif pajak yang diberikan baik kepada masyarakat maupun dunia usaha, dapat mengungkit perekonomian nasional.
Sebagai contoh, saat ini pemerintah sedang ingin meningkatkan pertumbuhan di sektor-sektor anyar, seperti hilirisasi.
Berdasar tujuan itu, pemerintah pun memberikan insentif kepada industri berupa pemberian tax holiday. Jika sektor tersebut benar dapat mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia, pemerintah akan melanjutkan pemberian insentif.
“Kita ingin lihat lebih investasi-investasi baru itu akan kita lanjutkan, insentif seperti itu akan kita dorong, supaya kita pastikan kalau kita berikan insentif akan memberi nilai tambah yang kita inginkan,” jelasnya.
Sementara itu, dengan naiknya perekonomian, akan naik pula aktivitas masyarakat. Seiring dengan itu, nilai belanja perpajakan pun akan ikut terkerek.
“Misalnya ekonomi bertumbuh, aktivitas masyarakat untuk bahan makanan pangan bertambah, aktivitas masyarakat untuk mengonsumsi pendidikan bertambah, aktivitas masyarakat untuk mengonsumsi juga bertambah. Dengan makin banyaknya masyarakat menikmati aktivitas tersebut, insentifnya juga bertambah secara nominal,” kata Febrio.
Sementara itu, belanja perpajakan yang diproyeksikan sebesar Rp421,82 miliar, terdiri dari pajak pertambahan nilai (PPN) dan pajak pertambahan nilai dari barang mewah (PPnBM) senilai Rp262,30 miliar; pajak penghasilan Rp140,10 miliar; serta bea masuk dan cukai Rp18,90 miliar.
Kemudian ada pula pajak bumi dan bangunan (PBB) di sektor 5L (Perkebunan, Perhutanan, Pertambangan Minyak dan Gas Bumi, Pertambangan Mineral dan Batubara, serta Sektor Lainnya) Rp20 juta, dan bea materai Rp500 juta.
Penulis: Qonita Azzahra
Editor: Irfan Teguh Pribadi