Menuju konten utama

Menyoal Revisi Mendadak UU Wantimpres, Jokowi Penasihat Prabowo?

Perubahan status dan urgensi keberadaan Wantimpres tidak berdampak apa pun pada proses kelanjutan pembangunan ke depan.

Menyoal Revisi Mendadak UU Wantimpres, Jokowi Penasihat Prabowo?
Presiden Joko Widodo (kanan) berjalan bersama Menteri Pertahanan sekaligus Presiden Terpilih Prabowo Subianto (kiri) saat menghadiri acara HUT Ke-78 Bhayangkara di Lapangan Monas, Jakarta, Senin (1/7/2024). HUT tersebut mengambil tema Polri Presisi Mendukung Percepatan Transformasi Ekonomi Yang Inklusif Dan Berkelanjutan Menuju Indonesia Emas. ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja/YU

tirto.id - Badan Legislasi (Baleg) DPR RI tiba-tiba menyusun revisi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2006 tentang Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres). Padahal revisi beleid ini tidak masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) prioritas. Dalam rapat pengambilan keputusan tersebut, ada sembilan fraksi partai politik yang menyetujui untuk membawa RUU Wantimpres ke paripurna untuk disahkan sebagai RUU inisiatif DPR.

"Ini, kan, baru pengesahan jadi usul inisiatif dalam rangka penyusunan," kata Ketua Baleg DPR RI, Supratman Andi Agtas, di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (9/7/2024).

Setelah dibawa ke paripurna, RUU inisiatif DPR ini bakal dikirim ke pemerintah. Kemudian akan menunggu pemerintah menerbitkan Surat Presiden (Surpres) bersama Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) untuk ditindaklanjuti kembali oleh DPR RI.

Salah satu poin yang akan disesuaikan dalam penyusunan RUU tersebut adalah perubahan nomenklatur yang awalnya Wantimpres, menjadi Dewan Pertimbangan Agung (DPA). Perubahan lainnya juga terjadi pada keanggotaan.

Dalam undang-undang lama, anggota Wantimpres berjumlah delapan. Sementara dalam RUU ini, jumlah anggota akan diserahkan kepada presiden sesuai dengan kebutuhannya. Baleg DPR RI juga akan mengubah syarat-syarat untuk menjadi anggota DPA. Sementara Ketua DPA nantinya akan ditentukan presiden.

"Karena itu presiden akan menetapkan anggotanya berapa pun itu sesuai kebutuhan presiden, termasuk ketuanya juga nanti akan ditetapkan oleh presiden," ujar Supratman.

Saat disinggung mengenai apakah DPA akan sejajar dengan presiden karena statusnya sebagai lembaga negara, ia tidak menjawab detail. DPA, kata dia, hanya akan menjadi lembaga negara yang diatur berdasarkan fungsinya.

“Nah sama dengan Dewan Pertimbangan Presiden itu yang ada di dewan pertimbangan yang ada di Pasal 16 Undang-Undang Dasar itu menyebut fungsi,” ujarnya.

Dalam UU 19/2006 memang kedudukan Wantimpres tidak dimaknai sebagai sebuah dewan pertimbangan yang sejajar dengan presiden atau lembaga negara lain seperti DPA pada masa sebelum perubahan UUD 1945.

Walau kedudukannya tidak sejajar, perubahan DPA ini bisa dibaca sebagai upaya bagi-bagi jabatan yang tidak sehat dalam kabinet Prabowo Subianto mendatang.

Pembentukan DPA dikhawatirkan hanya untuk memberikan jabatan baru bagi para mantan penguasa. Karena Wantimpres saat ini saja, diisi oleh elite politik yang fungsinya tidak signifikan.

“Saya berpendapat itu bagian dari wadah yang diperluas. Mungkin untuk para tokoh lain,” ujar Ketua DPP Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Mardani Ali Sera, kepada Tirto, Rabu (10/7/2024).

Jauh sebelum adanya RUU, kehadiran DPA disebut-sebut sebagai upaya untuk mengakomodir rencana presidential club yang digagas kubu Prabowo Subianto. Narasi ini juga diamplifikasi oleh Ketua MPR cum politikus Golkar, Bambang Soesatyo.

Menurut Bamsoet, sapaan akrabnya, DPA bisa dipakai sebagai alat formalisasi hubungan para presiden. Di mana isinya, adalah mantan-mantan presiden maupun wakil presiden.

Presiden Joko Widodo sendiri bahkan tidak mau menanggapi serius adanya wacana pembentukan Dewan Pertimbangan Agung oleh presiden terpilih Prabowo Subianto. Jokowi mengatakan dirinya masih menjadi presiden saat ini dan belum ada bayangan untuk bergabung ke dalam DPA.

"Ini saya itu masih jadi presiden loh, masih presiden sekarang ini," singkat Jokowi saat melakukan kunjungan kerja di RSUD Konawe, Sulawesi Tenggara, Selasa (14/5/2024).

Kunjungan pimpinan MPR ke Wantimpres

Ketua MPR Bambang Soesatyo (tengah) didampingi Ketua Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) Wiranto (kiri) dan Wakil Ketua MPR Amir Uskara (kanan) memberikan keterangan usai pertemuan di Kantor Wantimpres, Jakarta, Jumat (5/7/2024). ANTARA FOTO/Bayu Pratama S./rwa.

Revisi UU Wantimpres untuk Jokowi?

Mardani belum melihat tujuan revisi UU Wantimpres yang menghadirkan lagi DPA untuk membuka jalan bagi mantan presiden, termasuk Jokowi. Tapi yang pasti, kata Mardani, DPA jangan sampai dijadikan alat transaksi.

“Tidak yakin itu untuk Pak Jokowi. Mungkin untuk para tokoh lain,” imbuhnya.

Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR F-PKB, Luluk Nur Hamidah, berpendapat DPA bisa diisi oleh para negarawan selain mantan presiden. Namun, jika nantinya Prabowo memasukkan mantan presiden ke jajaran DPA, dirinya tidak masalah.

"Saya kira cara kita menghargai pemimpin bangsa atau pemimpin negara itu kan banyak cara. Nah saya kira mereka sudah transformasi menjadi negarawan. Jadi ada beliau former president, Pak SBY, Ibu Megawati atau Pak Jokowi, misalnya, ya mungkin ada juga perwakilan dari keluarga Gus Dur dan lain-lain," ucap Luluk di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (10/7/2024).

"Intinya termasuk tokoh-tokoh yang lain karena tidak mesti harus juga presiden yang itu bisa ada di DPA," sambung dia.

Dalam keterangan terpisah, analis politik dari Indonesia Political Opinion, Dedi Kurnia Syah, mengatakan secara umum perubahan status dan urgensi keberadaan Wantimpres tidak berdampak apa pun pada proses kelanjutan pembangunan ke depan.

Pasalnya, Wantimpres atau yang akan berubah menjadi DPA hanya sebatas badan komisioner kepresidenan, tidak memiliki kekuatan hukum atas keputusan pertimbangannya, sehingga kendali keputusan tetap pada presiden.

“Jika dikembalikan sebagaimana masa lalu dengan Dewan Pertimbangan Agung, ini tidak akan ubah substansi keberadaan, meskipun dengan menamai pertimbangan agung,” jelas dia kepada Tirto, Rabu (10/7/2024).

Kunjungan Presiden Jokowi di Bone Bolango

Presiden Joko Widodo melambaikan tangan disela-sela meninjau lokasi pembangunan Bendungan Bulango Ulu di Desa Tuloa, Kabupaten Bone Bolango, Gorontalo, Senin (22/4/2024). ANTARA FOTO/Adiwinata Solihin/rwa.

Dedi mengatakan, sekalipun ada Jokowi di DPA tetap tidak bisa menjamin ia mempengaruhi pembangunan ke depan. Karena keputusan tetap ada di presiden. Kecuali, jika DPA diberi wewenang intervensi presiden dan memiliki kekuatan hukum, maka ini lain soal.

“Tapi jika itu yang terjadi, maka Jokowi dicurigai berupaya menguasai negara ini secara pribadi, dan sikap serta upaya semacam itu harus dihentikan,” ujarnya.

Sementara itu, Juru Bicara PDI Perjuangan, Chico Hakim, mengaku tidak mau terlalu pusing untuk berpikir atau mengira-ngira bahwa ini adalah bagian untuk memuluskan siapa pun untuk duduk dalam posisi tersebut, termasuk Jokowi. Pasalnya PDIP sendiri, kata Chico, lebih fokus pada hal-hal yang sifatnya substantif.

“Jadi intinya kami tidak terlalu pusing untuk berpikir atau mengira-ngira bahwa ini adalah bagian untuk memuluskan siapa pun,” ujar Chico kepada Tirto, Rabu (10/7/2024).

Chico mengatakan, hal-hal terkait dengan bagi-bagi jabatan tidak terlalu menjadi prioritas di dalam pemikiran PDIP saat ini. PDIP ke depan fokusnya memikirkan bagaimana rakyat bisa hidup sejahtera dan bisa mendapatkan pendidikan yang layak, biaya serendah-rendahnya bahkan bisa dibebaskan biayanya. Serta hal-hal yang lebih menyangkut terkait dengan ketahanan sosial bagi seluruh rakyat di Indonesia.

“Tentu kita lebih fokus pada hal-hal yang sifatnya substantif. Tentu bagaimana pembangunan ini bisa berjalan dengan lancar, dengan segala utang yang begitu banyak dan jatuh temponya salah satunya pada tahun depan, yaitu sekitar Rp800 triliun. Ini juga harus banyak dipertimbangkan atau dipikirkan dan dicarikan solusinya untuk ke depannya,” ujarnya.

PDIP melihat RUU tersebut tidak lebih hanya perubahan dari sebuah nama saja. Bisa jadi, kata Chico, presiden terpilih Prabowo Subianto lebih nyaman dengan sebutan DPA ketimbang Wantimpres.

“Mungkin Pak Prabowo yang juga berkiprah di masa orde baru lebih nyaman dengan sebutan apa yang memang menjadi nomenklatur di masa orde baru bagi sekelompok tokoh senior,” tukas dia.

Sementara itu, pakar politik dari Universitas Pelita Harapan (UPH), Emrus Sihombing, berharap DPA ke depan diisi oleh pemikir yang sudah memiliki reputasi dan integritas tinggi. Jangan kemudian, untuk memberikan jabatan baru bagi para mantan penguasa atau politisi.

“Kalau mereka ada di sana, justru mereka bisa jadi tidak objektif atau itu menjadi forum lobi-lobi. Sebaiknya diisi para akademisi yang sudah reputasinya tidak diragukan dan sudah selesai dengan dirinya,” kata dia saat dihubungi Tirto, Rabu (10/7/2024).

Baca juga artikel terkait WANTIMPRES atau tulisan lainnya dari Dwi Aditya Putra

tirto.id - Politik
Reporter: Dwi Aditya Putra
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Fahreza Rizky