tirto.id - Silang pendapat antara Kementerian Perdagangan (Kemendag) dan Kementerian Perindustrian (Kemenperin) mengenai kebijakan importasi belum juga usai. Kedua kementerian tersebut bukannya menyelesaikan masalah terjadi di lapangan, malah saling menyalahkan satu sama lain dan membentengi diri dengan ‘kebenarannya’ masing-masing.
Plt Direktur Jenderal Industri Kimia, Farmasi dan Tekstil Kementerian Perindustrian (IKFT Kemenperin), Reni Yanita, menuding Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 8 Tahun 2024 yang merupakan Perubahan Ketiga atas Permendag Nomor 36 Tahun 2023 tentang Kebijakan dan Pengaturan Impor, menjadi biang keladi banjirnya impor Tekstil dan Produk Tekstil (TPT).
“Jadi, terbitnya Permendag 8 Tahun 2024 pada tanggal 17 Mei yang lalu, yang merelaksasi impor TPT, menyebabkan impor TPT kembali naik pada Mei, menjadi 194,87 ribu ton, dari semula 136,36 ribu ton pada April 2024. Ini juga menjadi catatan bersama untuk kita,” ujar Reni dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi VII Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI, di Jakarta, Selasa (9/7/2024).
Padahal sebelum adanya Permendag 8/2024, kinerja industri tekstil sempat membaik atau mengalami penurunan impor lewat pemberlakukan aturan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 36 Tahun 2023 tentang Kebijakan dan Pengaturan Impor. Dengan kebijakan pengendalian impor ini, volume TPT pada Januari-Februari 2024 masing-masing tercatat sebesar 206,30 ribu ton dan 166,76 ribu ton.
Realisasi impor itu lantas turun menjadi hanya sebesar 143,49 ribu ton pada Maret 2024 dan 136,36 ribu ton pada April 2024. Sebaliknya, setelah Permendag Nomor 8 Tahun 2024 berlaku, malah membuat nilai impor produk TPT kembali meningkat.
Sentera Menteri Perdagangan, Zulkifli Hasan, menegaskan pihaknya tidak akan mengubah Permendag Nomor 8 Tahun 2024 sekalipun diminta Kemenperin untuk direvisi dan memasukkan usulan Pertimbangan Teknis (Pertek) sebagai syarat khusus untuk barang-barang TPT.
"Ada usulan dari Menteri Perindustrian, Pertek masuk lagi, Permendag diubah lagi. Saya bilang saya keberatan, kalau bisa buat peraturan sendiri, jangan Permendag terus, saya yang jelek," ujar dia dalam Rapat Kerja dengan Komisi VI DPR RI di Jakarta, Senin (8/7/2024).
Zulkifli mengklaim bahwa Presiden Joko Widodo telah menyetujui tidak direvisi kembalinya Permendag Nomor 8 Tahun 2024. Peraturan Pertek dari Kementerian Perindustrian, kata dia, belum tentu bisa menyelesaikan masalah.
"Belum tentu Pertek itu menyelesaikan masalah. Oleh karena itu saya menolak keras. Pak Presiden setuju nggak jadi bikin Permendag lagi. Kalau tekstil mengatakan 'kita bangkrut gara-gara Permendag 8' ya enggak benar," ungkap dia.
Pria yang akrab disapa Zulhas itu, bahkan merasa bingung kerap kali disalahkan atas permasalahan banjir barang TPT di Indonesia, yang mana berujung pada lumpuhnya industri TPT di dalam negeri. Bahkan tak sedikit serikat pekerja dan asosiasi pengusaha yang mengkambing hitamkan Permendag 8/2024.
Periset Center of Reform on Economic (CORE), Eliza Mardian, mengatakan Kemenperin dan Kemendag memang sering kali punya pandangan yang berbeda dalam sejumlah kebijakan ekonomi. Hal ini pada akhirnya menyebabkan konflik dan disharmoni dalam kebijakan.
“Ini yang menyebabkan konflik dan disharmoni dalam kebijakan,” ujar Eliza kepada Tirto, Rabu (10/7/2024).
Disharmonisasi antara satu kementerian dengan kementerian lainnya bukan pertama kali terjadi. Polemik serupa pernah terjadi pada awal 2018 terkait dengan data kebutuhan dan produksi beras yang berbeda antara kementerian. Saat itu, Kemendag menyatakan impor beras dibutuhkan untuk menjaga stabilitas ketersediaan dan harga beras, sementara Kementerian Pertanian (Kementan) selalu berdalih ketersediaan beras cukup.
Silang pendapat di antara dua kementerian ini disebabkan pendekatan masing-masing kementerian atau lembaga berbeda. Kemendag misalnya, menggunakan stabilisasi komoditas di pasar, arahnya ke supply demand, beras mesti lebih dari cukup untuk cegah kenaikan. Kementan sebaliknya, lebih menggunakan pendekatan luas area lahan pertanian, dengan bilangan rumusan hasil panen rata-rata.
Perbedaan itu diperparah dengan kenyataan bahwa data Badan Pusat Statistik (BPS) soal kebutuhan pangan, khususnya beras sejak 1997 memang tidak akurat. Akibatnya, setiap pengambilan keputusan soal kebutuhan beras, perdebatannya selalu berkutik soal data kebutuhan dan produksi yang berbeda-beda antar-institusi pemerintah.
Ada Perbedaan Kepentingan
Kembali ke masalah kebijakan impor, Eliza melihat Kemenperin memiliki kepentingan untuk mendorong produksi dalam negeri dengan melarang masuknya produk impor yang produknya sejenis di produksi dalam negeri. Maka, Kemenperin mensyaratkan adanya Pertek agar mengurangi ancaman produk banjir yang juga di produksi di dalam negeri. Sementara Kemendag justru tidak ingin adanya hambatan dan penumpukan di pelabuhan untuk menjaga kelancaran perdagangan.
“Kemenperin menilai bahwa penghapusan Pertek ini menyebabkan kemerosotan kinerja industri, sementara Kemendag menilai dengan adanya penghapusan ini membantu mengatasi penumpukan kontainer barang impor di pelabuhan,” jelasnya.
Eliza mengatakan, dalam kebijakan importasi ini memang ada perbedaan kepentingan antara Kemenperin dan Kemendag, sehingga sering tidak harmonis. Untuk melakukan harmonisasi, dia justru mengusulkan agar sebaiknya Kemenperin dan Kemendag menjadi satu kementerian agar memiliki kepentingan yang sama, yakni menggenjot produksi nasional.
“Sehingga kita bisa memenuhi domestik dan menjadi eksportir yang berdaya saing,” ujar dia.
Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Nusantara (KSPN), Ristadi, menambahkan polemik kebijakan importasi ini merupakan pertaruhan soal kepentingan antara pengusaha importir dengan produsen dalam negeri. Sederhananya, kalau aturan impor diperlonggar tentu keberpihakan pemerintah itu jatuh kepada pengusaha importir.
“Mereka [importir] yang diuntungkan. Pun sebaliknya kalau diperketat yang diuntungkan adalah pengusaha produsen dalam negeri,” ujarnya kepada Tirto, Rabu (10/7/2024).
Tinggal kemudian dilihat, kata Ristadi, antara Kemenperin dan Kemendag itu mereka berada di posisi mana. Siapa yang membela pengusaha importir dan siapa yang membela produsen dalam negeri. “Sebenarnya pertarungannya di situ,” ujarnya.
Dia mengatakan, secara kelembagaan sebenarnya tidak ada disharmonisasi antara keduanya. Persoalannya mereka mendapatkan tekanan dari importir dan produsen dalam negeri, sehingga menjadi kebingungan sendiri.
“Jadi bukan soal miss kordinasi atau saling menyalahkan antara Kemendag dan Kemenperin itu kan permukaannya saja. Tapi di dalamnya saya meyakini soal pertarungan pengusaha importir dengan pengusaha produsen dalam kita dalam negeri,” pungkasnya.
Fokus ke Akar Masalah
Di luar ada kepentingan berbeda, Ketua Umum Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI), Redma Gita Wirawasta, justru meminta pemerintah untuk fokus menyelesaikan permasalahan utama yang menjadi penyebab PHK dan penutupan pabrik. Karena semakin lama berdebat soal aturan, kondisi industri tekstil RI semakin memburuk, karena permasalahan utamanya kan impor ilegal yang saat ini masih terus berlangsung.
“Ini kita banyak diributkan terkait aturan ini itu sampai para menteri ribut dan terlihat berselisih saling menyalahkan, padahal masalah utamanya ada di Bea Cukai karena impor ilegal yang menjadi biang kerok,” ujarnya kepada Tirto, Rabu (10/7/2024).
Untuk kesekian kalinya, Redma meminta pemerintah membereskan kerja buruk Bea Cukai yang membiarkan modus impor borongan, pelarian HS hingga under invoicing terjadi didepan mata dengan bebas, sehingga barang impor murah membanjiri pasar domestik.
“Tapi jangan dilupakan juga bahwa sumbernya yaitu pintu masuk barang impor ilegal di bea cukai harus dibereskan. Jadi Bu Sri Mulyani jangan diam saja,” tegas dia.
Ketua Ikatan Pengusaha Konveksi Berkarya (IPKB), Nandi Herdiaman, menyatakan bahwa pemberantasan barang impor ilegal yang beredar di pasar adalah bagian dari apa yang dituntut oleh kalangan pengusaha IKM. Namun, pihaknya tetap mengingatkan bahwa permasalahan utamanya adalah masuknya barang impor ilegal di pelabuhan yang menjadi tanggung jawab Bea Cukai.
“Jadi tolong Bu Sri Mulyani jangan diam saja seolah merestui praktik impor ilegal yang dilakukan oleh banyak oknum Bea Cukai” ujar Nandi.
Direktur Komunikasi dan Bimbingan Pengguna Jasa Bea Cukai, Nirwala Dwi Heryanto, mengatakan pada prinsipnya pihaknya hanya mengimplementasikan dan mengamankan kebijakan importasi di lapangan termasuk soal terjadinya penumpukan kontainer barang impor di pelabuhan. Ini sesuai amanat Permendag 8/2024 sebagaimana mestinya.
“Karena DJBC prinsipnya mengimplementasikan dan mengamankan kebijakan tersebut,” ujarnya kepada Tirto, Rabu (10/7/2024).
Perlu diketahui, untuk lolos pemeriksaan, sebelumnya pengusaha diharuskan memiliki Pertimbangan Teknis (Pertek) sebagai syarat untuk memperoleh Persetujuan Impor (PI). Hal ini sesuai dengan aturan soal Pertek yang tercantum dalam Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 36 Tahun 2023.
Namun, kini aturan tersebut telah direlaksasi, melalui penerbitan Permendag Nomor 8 Tahun 2024 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 36 Tahun 2023 tentang Kebijakan dan Pengaturan Impor.
“Dijalani saja. Nggak ada hal aneh itu. Nanti kalau ada yang nggak sesuai, pasti dilarang Kementerian Perindustrian. Nanti kalau ada yang nggak sesuai, pasti dilarang Kementerian Perdagangan. Kalau nggak sesuai, pasti dilarang Surveyor. Banyak pihak yang mengawasi,” tutup Direktur Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan, Askolani.
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Anggun P Situmorang