tirto.id - Komisi Pemilihan Umum (KPU) Bali mengajak partai politik merancang kesepakatan agar Pilkada 2024 tidak dihiasi oleh baliho-baliho yang merusak lingkungan dan pemandangan di jalan.
Langkah ini menjadi ikhtiar KPU Bali mengurangi sampah-sampah Alat Peraga Kampanye (APK). Karena pada akhirnya, baliho dan beberapa spanduk para politisi hanya menjadi sampah visual dan sumber polusi mencemaskan.
“Saya ingin membuat kesepakatan, kalau menunggu jadi aturan kapan lagi pasti terlalu jauh, sementara sampah terlalu banyak, kita bikin kesepakatan mana yang dilanggar nanti ada aturan yang akan dikenakan,” kata Ketua KPU Bali, I Dewa Agung Lidartawan, dikutip dari Antara, Senin (15/7/2024).
Meski bukan aturan resmi yang diatur dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU), KPU Bali menilai sebuah kesepakatan memiliki kekuatan hukum karena telah ditandatangani seluruh pihak. Sementara bunyi kesepakatan terkait pelarangan baliho masih dapat diatur saat proses perancangan antara penyelenggara dengan peserta Pilkada Bali 2024 nanti.
“Itu yang kita sepakati nanti, bisa jadi sanksinya diumumkan siapa saja yang melanggar, tidak peduli lingkungan, tidak mengindahkan aturan, umumkan di media sehingga rugi dia memasang,” kata mantan Ketua KPU Bangli itu.
Dengan kesepakatan bersama ini, maka tidak ada lagi alasan apabila masih terdapat peserta pilkada di Bali yang melawan dengan mengatakan baliho dipasang oleh pendukungnya. Artinya, calon tersebut tidak dapat mengatur Provinsi Bali atau kabupaten/kota di Bali, karena mengatur konstituennya sendiri saja gagal.
Untuk itu, dia menyarankan para kandidat calon kepala daerah di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota dapat beralih metode kampanye.
Pasalnya dominasi pemilih Pilkada 2024 saat ini adalah generasi Z. Pemanfaatan teknologi digital dengan promosi di media sosial atau setidaknya kampanye dengan bahan daur ulang, bisa menjadi metode alternatif jauh lebih menarik.
Bisa Jadi Inovasi
Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Kahfi Adlan Hafiz, menilai apa yang diusulkan oleh KPU Bali bisa menjadi inovasi yang kemudian bisa dipikirkan secara bersama oleh politisi kita.
Terlebih kehadiran baliho-baliho yang muncul saat pemilu maupun pilkada tidak banyak berdampak kepada efek elektoral terhadap para politisi atau kandidat itu sendiri.
“Memang masih wacana, tapi saya kira tetap ini perlu dipertimbangkan apalagi ada pemikiran untuk mengurangi sampah visual,” ujar Kahfi kepada Tirto, Senin (15/7/2024).
Kahfi melihat pemasangan baliho dan APK lainnya, selama ini hanya memenuhi jalanan, namun tidak memiliki dampak apapun. Apalagi dalam balihonya sendiri tidak jelas mengenai informasi soal pencalonan dari kandidat politik tersebut. Paling hanya nama dan foto saja, kata Kahfi, tanpa menawarkan gagasan.
“Jadi usulan ini harus dipikirkan terutama saya kira bukan hanya institusional secara politik, bagi kandidat para kandidat atau politisi penting memikirkan ulang metode kampanye yang efektif dan mendidik,” ujarnya.
Dia menekankan salah satu fungsi kampanye adalah pendidikan politik yang kemudian bertanggungjawab. Artinya, kampanye harus dilaksanakan sebagai tanggung jawab bentuk pendidikan politik.
Ketika misalnya kandidat politik melakukan kampanye dan tidak mendidik serta tak memberikan informasi jelas bagi para pemilih, maka tujuan kampanye tidak menjadi efektif.
“Jadi itu opsi kampanye yang bisa dipikirkan tanpa baliho,” jelas dia.
Tahapan Menuju Pemilu Hijau
Juru Kampanye Isu Polusi dan Perkotaan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Nasional, Abdul Ghofar, mengatakan ide KPU Bali merencanakan kampanye tanpa baliho menjadi salah satu pemicu untuk menyuarakan green election atau pemilihan umum hijau.
Pemilu hijau ini juga menjadi konsen organisasi lingkungan yang sudah didorong sejak lama di KPU pusat.
“Jadi menurutku ini satu tahapan maju. Selama ini kan baru komitmen ya, KPU Bali dorong ini menjadi sesuatu yang konkret,” jelas Ghofar saat dihubungi Tirto, Selasa (15/7/2024).
Karena tanpa disadari, kata Ghofar, perhelatan pemilu dan pilkada serentak dapat mencemari lingkungan. Banyak alat peraga kampanye menggunakan bahan promosi seperti spanduk, baliho, dan alat peraga yang terbuat dari plastik.
Plastik ini sering kali tidak dapat didaur ulang dan berakhir sebagai sampah yang mencemari lingkungan.
APK yang memenuhi ruang publik saat ini bahkan sebagian besar memakai bahan plastik yang berbahaya bagi lingkungan. Menurut laman timeforchange.org, jejak karbon plastik bisa dihitung secara sederhana.
Untuk produksi 1 kilogram plastik/polyethylene (PET/ LDPE) dibutuhkan 2 kg minyak bumi dan bahan baku lain. Membakar 1 kg minyak bumi menghasilkan 3 kg karbon dioksida (CO2). Itu berarti, dengan membuat 1 kg bahan baku APK, seperti spanduk, baliho, atau umbul-umbul plastik, dihasilkan emisi 6 kg CO2.
“Dan memang salah satu indikatornya adalah APK. APK ini menjadi banyak masalah. Di kesempatan lain APK ini jutaan lembar, ribuan ton, jadi masalah mikro plastik, susah didaur ulang, dan dibakar,” kata dia.
Ghofar mengatakan, organisasi lingkungan sudah pernah audiensi dengan KPU RI untuk mengusulkan pemilu hijau dan mendapatkan respon yang baik. Meski begitu, tetap saja Walhi mengapresiasi langkah KPU Bali yang lebih maju ketimbang KPU RI.
“Ketua KPU Bali ini progresif. Kalau di KPU RI kan masih normatif, masih usulan bagus dan sebagainya. Tapi Ketua KPU Bali ini secara terang-terangan sudah sampaikan bahwa ada upaya untuk bangun kesepakatan dengan parpol politik pengusung maupun bakal calon kepala daerah. Jadi menurutku ini satu tahapan maju,” jelas dia.
Namun, kata Ghofar, untuk beralih ke pemilu hijau secara ketentuannya memang harus mengubah level undang-undangnya. Karena pemasangan baliho ini diatur dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 15 Tahun 2023. Baliho termasuk dalam APK Pemilu 2024. Biasanya, baliho memuat foto serta pesan-pesan politik.
“Jadi memang di aturan kita itu lebih ke tata cara kampanye. Kayak kapan boleh dipasang, di titik mana APK bisa dipasang, terus bagaimana mekanisme hari tenang harus ditertibkan, keterlibatan satpol PP dan lain sebagiannya,” jelas dia.
Aturan kampanye yang ada, menurutnya belum sepenuhnya mengakomodir gagasan pemilu hijau. Makanya, kata Ghofar, inisiatif KPU Bali bisa menjadi konkret melalui peraturan KPU di level pusat dan diinstruksikan ke daerah.
Politisi Khawatir Kurang Dikenal Warga
Sebagai mitra KPU, Anggota Komisi II DPR RI, Guspardi Gaus, mengaku mendukung adanya inovasi dan gagasan dilakukan oleh KPU Bali. Namun, ia khawatir masyarakat jadi kurang mengenal sosok yang akan dipilihnya pada pemilu maupun pilkada. Menurutnya tetap perlu dicarikan jalan keluar ketika tanpa ada baliho, KPU tetap bisa memfasilitasi masyarakat agar kenal dan mengetahui orang yang akan menjadi kepala daerah tersebut.
"Jadi boleh saja ada kesepakatan dalam rangka kebersamaan mewujudkan kearifan lokal dengan sebagainya, namun dicarikan solusi supaya jangan sampai mengambil kucing dalam karung," kata Guspardi saat dihubungi Tirto, Senin (15/7/2024).
Menurut Guspardi, APK atau baliho sendiri merupakan alat sosialisasi para kandidat kepada masyarakat. Dia khawatir tanpa ada sosialisasi dan pengenalan calon pimpinannya, interaksi antar pemilih dengan si calon tidak ada daya pikat karena tidak saling kenal.
"Carilah solusi untuk si pemilih kenal orang akan menjadi pemimpinnya apa bentuknya. Bukan saya tidak setuju. Silakan saja. Tapi perlu disikapi jangan sampai si calon pemimpin dengan rakyat tidak bisa kenali siapa pemimpin dipilihnya," jelasnya.
Sementara itu, Abdul Ghofar memahami, aturan kampanye tanpa baliho ini akan mendapatkan kritik dari parpol dan kandidat, karena ini bisa menjadi kerugian atau berdampak sendiri bagi mereka. Apalagi selama ini, cara-cara konvensional sudah menjadi sesuatu mendarah daging di setiap momen pesta demokrasi.
“Saya pikir butuh waktu. Makanya pernyataan KPU Bali sangat bijak sudah saatnya transisi. Kurangi dulu misalnya APK baliho untuk backdrop di panggung. Tapi yang ditempel di pohon dikurangi. Itu proses transisi partai politik kandidat dan masyarakat juga akan sepakat,” kata Ghofar.
Dia mengatakan, salah satu bisa dilakukan para kandidat dalam masa transisi ini adalah melakukan digitalisasi kampanye. Bisa melalui pemasangan iklan di televisi, radio, media massa, online, kemudian sosial media yang belakangan juga sudah jadi tren.
Peneliti Kepemiluan dan Demokrasi, Titi Anggraini, menambahkan metode kampanye saat ini ada banyak cara, bukan hanya berupa pemasangan alat peraga. Maka ini menjadi momentum baik jika KPU mendorong peserta pilkada melakukan metode kampanye lebih ramah lingkungan dan tidak menimbulkan banyak sampah atau pun polusi visual.
“Karena ini inisiatif kolaboratif tidak mesti diatur dalam PKPU. Paling penting adalah membangun kesepahaman dengan peserta pemilu,” ujar Titi saat dihubungi Tirto, Senin (15/7/2024)
Titi mengatakan, UU Pilkada dan PKPU sebenarnya juga sudah mengatur soal ketentuan pemasangan alat peraga pilkada yang harus dipatuhi pasangan calon. Hanya saja, selama ini penegakan hukumnya masih lemah. Pengawas cenderung melakukan pembuatan dan kandidat lepas tangan dengan mengatakan bahwa itu adalah inisiatif simpatisan atau masyarakat di luar kendali paslon.
Oleh karena itu, kata dia, pengawasan dan ketegasan Bawaslu juga sangat diperlukan. Termasuk konsistensi pemerintah daerah melalui Satpol PP untuk melakukan pembersihan secara tegas terhadap pemasangan alat peraga yang menyalahi aturan.
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Bayu Septianto