tirto.id - “Pelacur itu tetap tegar dan congkak sampai akhir”, tulis jurnalis Jacques Hébert pada suatu siang menyaksikan Madam Marie Antoinette digiring menuju pisau guillotine yang dipancangkan di alun-alun Place de la Révolution.
Sebelumnya, pada pukul 4 pagi, 16 Oktober 1793, Pengadilan Revolusioner memvonis mati Madam Antoinette dengan dakwaan mengkhianati negara. Hukuman pancung akan dijatuhkan hari itu juga.
Eksekusi tersebut menandai era baru Perancis, dari monarki absolut ke monarki konstitusional kemudian ke republik. Para bangsawan kehilangan status istimewanya. Gereja dilarang menarik pajak dan kewenangannya dibatasi untuk mengurus ritual umat.
Ada banyak mitos misoginis tentang Marie Antoinette yang bahkan sudah terdengar konyol semasa hidupnya. Dia digosipkan sering melakukan orgy bersama bangsawan-bangsawan di Istana Versailles lantaran sang suami Louis XVI—yang kerap diolok-olok berpenis raksasa dalam karikatur—impoten. Pers-pers radikal senantiasa menggambarkannya sebagai seorang perempuan dengan “rahim yang terus bergejolak”. Ketika diadili dua hari sebelum kematiannya, para hakim bahkan termakan hoax yang menyatakan Madam Antoinette mencabuli putra kandungnya sendiri.
Baca juga:Revolusi yang Berawal dari Media Sosial
Di luar gosip-gosip jalanan itu, ia memang pernah sekali menjalin hubungan dengan ningrat Swedia bernama Adipati Axel de Fersen dan selama berabad-abad para sejarawan berdebat apakah keduanya betulan esek-esek—yang baru terindikasi kuat pada 2016 melalui uji forensik atas berlembar-lembar korespondensi Antoinette-Fersen.
Tapi dari kabar-kabar liar yang turut mengantarkannya ke liang kubur, hanya dua yang bisa dibuktikan: dia tukang judi dan gemar dansa-dansi, serta berkomplot dengan Kerajaan Austria untuk menghancurkan Revolusi dengan cara membocorkan rahasia militer Perancis ke kubu seberang.
Para pejabat Versailles bukannya tak tahu kasak-kusuk akar rumput. Sensor Istana telah bekerja maksimal. Namun segala upaya itu sia-sia di hadapan rakyat yang kelaparan, menumpuknya hutang Perancis sampai 1 miliar livre gara-gara membantu Revolusi Amerika, kenaikan pajak untuk menutupi kas negara yang dinyatakan kosong pada Agustus 1788, dan akhirnya pemborosan sang ratu yang hobi bikin pesta.
Faktor terakhir inilah yang bikin dia menyandang julukan “Madame Deficit” yang membuat reputasinya hancur berkeping-keping di kala dapur rakyat Perancis gagal ngebul. Apalagi setelah tersebar kabar bahwa ia mengomentari rakyat yang kelaparan dan tak mampu beli roti dengan ucapan “biarkan mereka makan kue”.
Kendati kelak diketahui bahwa pernyataan itu aslinya dilontarkan filsuf Perancis Jean-Jacques Rousseau alih-alih Marie Antoinette, daya rusaknya tetap luar biasa. Seandainya para pemotor Jakarta protes akibat dilarang masuk Jalan Sudirman tapi direspon seorang pejabat dengan jawaban "Ya sudah, suruh mereka naik mobil," kira-kira bagaimana reaksi mereka? Nah, kira-kira kemarahan sebesar itulah yang mesti ditanggung Madame Deficit.
Kelak, sosok Marie Antoinette selalu dimunculkan untuk memperolok para ibu negara yang korup, bermewah-mewah, congkak, lagi despotik, mulai dari Imelda Marcos (Filipina), Elena Ceaucescu (Rumania), hingga Leila Trabelsi, istri diktator Tunisia Zine al-Abidin Ben Ali.
Gagal Jadi Ratu Karena Buta Politik
Ingatan kolektif Marie Antoinette sebagai penghisap darah rakyat bertahan selama berabad-abad dan didukung oleh para sejarawan Republikan di Perancis. Namun jauh sebelum revolusi, para ningrat Versailles juga punya andil besar: mereka sejak awal gemar mempergunjingkan kehidupan ranjang sang madam, hingga akhirnya omongan ala ibu-ibu pejabat itu merembes juga ke bawah.
Tapi ranjang Istana memang pernah lama tak berderit. Hingga tujuh tahun pertama pernikahannya, Marie Antoinette tidak pernah berhubungan seks dengan suaminya, Louis-Auguste, cucu Raja Perancis Louis XV.
Louis-Auguste sendiri lebih suka berburu dan baca buku. Dia pun punya hobi agak ganjil: mengoleksi kunci silinder, grendel pintu, gembok, lalu mengutak-atiknya. Merujuk biografi karangan Antonia Fraser, Marie Antoinette: The Journey (2001), ketika Louis XV mangkat gara-gara sakit cacar dan Louis-Auguste (waktu itu masih 20 tahun) disumpah jadi Louis XVI, doa yang dipanjatkan sang cucu (bersama bini, tentunya) adalah: “Tuhan, bantulah dan lindungilah kami. Kami terlalu muda untuk memerintah”.
Singkatnya, Louis XVI tidak pernah betah duduk di singgasana, dan itu memengaruhi pandangannya tentang seks dan pernikahan yang menurutnya tak lebih dari sekadar tugas politik. Saking dinginnya di ranjang, abang dari Madam Antoinette, Joseph II sempat-sempatnya berkunjung ke Versailles untuk menasehati iparnya itu. Seperti dicatat Fraser, Joseph yang geleng-geleng kepala menulis pada adiknya, Leopold II: “Mungkin Si Raja Perancis perlu dipecut, barulah dia bisa ejakulasi sampai kejang-kejang seperti keledai.”
Lebih sial lagi nasib Antoinette, yang sengaja dinikahkan dengan Louis-Auguste di usia 14 tahun agar Perancis dan Austria—dua monarki yang ratusan tahun berseteru—bisa bersekutu. Ibunda Antoinette, Maria Theresa, adalah seorang matriark Dinasti Habsburg yang kekuasaannya terbentang dari Austria, Hungaria, Transylvania, daratan Bohemia, Kroasia, Milan, Galicia, hingga Belanda Selatan. Sepuluh putra-putrinya dididik agar seumur hidup mengabdi pada Imperium Austria sehingga tahta Dinasti Habsburg tetap langgeng di mana pun mereka jadi penguasa.
Baca juga:Politik Dinasti, Duri Menuju Daulat Demokrasi
Satu-satunya anak Maria Theresa yang gagal melakoni ambisi titipan orangtua adalah Marie Antoinette. Seperti suaminya, dia tidak pernah merasa cocok jadi ratu dan buta politik. Berbeda pula dari ibunya yang kutu buku, ia sulit membaca dan menulis—sebuah kecakapan yang baru ia pelajari di penjara kelak—tak meminati sejarah, geografi, bahasa latin dan retorika, tapi fasih main harpsicord dan punya bakat artistik yang besar.
Tahun-tahun pertama kehidupan rumah tangga bersama Louis-Auguste adalah neraka buat sang Antoinette. Gilanya lagi, Maria Theresa terus menekannya agar cepat-cepat punya anak. Kegelisahan sang bunda mewakili pandangan umum para ningrat penguasa Versailles (dan Wina) saat itu: jika sang raja dan ratu tak punya anak, habislah aliansi Perancis-Austria. Bahkan sebelum itu, karena sudah berbulan-bulan akad tapi tak sekalipun bercumbu, Louis-Auguste dan Marie Antoinette pernah diancam: kalau malam pertama terus ditunda, pernikahan mereka bisa dibatalkan.
Saking murungnya, Antoinette muda menulis, “Aku akan sangat senang bisa melahirkan seorang anak—meskipun anak itu langsung jadi mayat.” Toh, akhirnya, setelah Louis-Auguste menyerap ilmu dari sang ipar, beranaklah sang istri. Tidak hanya satu, bahkan empat.
Tapi gara-gara terlanjur gerah dengan ambisi titipan orangtua itulah Antoinette jadi keranjingan judi, menghabiskan waktu buat party-party, dan bersolek menghias sanggulnya yang nyaris setinggi 1 meter itu.
Judi sebetulnya bukan hal asing bagi para ningrat Versailles, tapi Antoinette melakukannya—dan sering lupa diri—di saat-saat yang tidak sensitif, yakni ketika kas istana kosong dan kerusuhan-kerusuhan kecil mulai meledak di beberapa daerah. Gobloknya lagi, menjelang Revolusi, pasutri nomor satu Perancis itu ketahuan beli kastil baru masing-masing seharga 10 juta livre (buat laki) dan 6 juta livre (buat bini).
Pada 5 Oktober 1789, ketika Antoinette sedang bersantai di Petit Trianon, kebun kecil di kompleks Versailles di mana semua pelayannya bepura-pura jadi petani, terdengar kabar serombongan besar perempuan berbaris untuk menggeruduk istana. Tiba-tiba Antoinette sadar: dia adalah Ratu Perancis, punya peran publik yang mesti dijalani, dan akhirnya, punya rakyat—yang seumur-umur baru dia lihat manakala revolusi pecah.
Sang ratu, tulis Stefan Zweig dalam Marie Antoinette: The Portrait of an Average Woman (1932), “tak pernah berpikir harus membayar mahal” untuk sanggul satu meternya itu.
Beberapa bulan sebelum kejadian itu, tepatnya pada 14 Juli, massa menyerbu penjara Bastille dan merampas bedil. Momen yang kelak mengawali Revolusi Perancis itu berlanjut dengan penghapusan hak-hak feodal dan pengesahan Deklarasi Hak-Hak Manusia dan Warganegara di bulan Agustus 1789.
Baca juga:Jejak Revolusi Perancis di Lagu PKI
Setelah menampik konstitusi baru yang membatasi kewenangan keluarga kerajaan, Raja dan Ratu Perancis mencoba kabur ke Austria dengan bantuan Adipati Fersen, teman-tapi-mesranya Antoinette. Rencananya, mereka akan mengompor-ngompori Austria untuk menyerbu Perancis dan mengubur hidup-hidup revolusi. Namun agak lama sebelum kabur, Madam Antoinette ketahuan membocorkan rahasia militer Perancis yang kala itu tengah berperang melawan Austria. Dus, ketemulah alasan mengapa Sang Madam kerap disebut “Si Perempuan Austria”. Bagi rakyat Perancis yang sudah mendidih darahnya, itulah bukti bahwa dia “antek asing”.
Sudah gagal kabur, tertangkap basah di perbatasan, diseret pulang ke Paris sambil disoraki rakyat sepanjang jalan, masih pula Louis-Auguste menolak turun tahta. Bahkan Letnan Jenderal Lafayette, antek raja dan ratu yang luar biasa bebal dan oportunis, membantai rakyat yang berkumpul di Champ de Mars, memprotes keputusan bahwa Louis akan tetap mengepalai monarki konstitusional.
Setahun kemudian Louis-Auguste dan Marie Antoinette sekeluarga dilucuti kedudukannya dan dikirim ke penjara. Tak seorang pun boleh menyapa mereka dengan sebutan raja dan ratu. Mereka kini hanya boleh dipanggil Citoyen (warga) Louis dan Marie, sebagaimana semua orang Perancis lainnya saling sapa di zaman revolusi.
Eksekusi Raja dan Ratu Perancis menerbitkan bulu roma para nigrat Eropa yang ketar-ketir kehilangan privilese seandainya revolusi merembet ke negerinya. Para monark Eropa, yang biasanya berkelahi satu sama lain, tiba-tiba bersatu untuk mengganyang Paris. Ketakutan serupa kelak juga muncul 120 tahun kemudian ketika Revolusi Bolshevik (1917) pecah: lantaran takut revolusi komunis menyebar luas, Jepang, AS, Inggris, Turki Usmani, Jerman, dan banyak lagi menyerbu Rusia dari segala penjuru.
Pada Oktober 1793, Citoyen Marie Antoinette mengukur leher di guillotine, menyusul sang suami yang telah dipenggal sepuluh bulan sebelumnya.
Nasib suami-istri itu ditentukan oleh pemungutan suara yang diinisiasi Maximillien Robespierre, seorang pemimpin Revolusi Perancis yang waktu masih duduk di bangku SMA pernah membacakan pidato menyambut kedatangan Tuan dan Nyonya Louis XVI di sekolahnya.
Penulis: Windu Jusuf
Editor: Zen RS