Menuju konten utama

Latar Belakang Revolusi Prancis 1789 dan Kronologi Peristiwanya

Berikut penjelasan tentang latar belakang Revolusi Prancis 1789 - 1799 dan kronologi peristiwanya.

Latar Belakang Revolusi Prancis 1789 dan Kronologi Peristiwanya
Storming of the Bastille, sebuah karya pelukis Perancis Jean Pierre Louis Laurent Houel menggambarkan kondisi kerusuhan di penjara Bastille yang memicu Revolusi Perancis. FOTO/Wikipedia

tirto.id - Revolusi Prancis adalah rangkaian peristiwa selama tahun 1789-1799 yang melahirkan perubahan besar serta meruntuhkan monarki absolut di negeri Eropa Barat tersebut. Monarki absolut menjadi bentuk pemerintahan dominan di Eropa hingga abad 18. Dalam sistem monarki absolut, para raja atau ratu memiliki kekuasaan mutlak atas pemerintahan negaranya.

Sebelum revolusi 1789 meletus, Prancis termasuk salah satu kerajaan kuat di daratan Benua Biru. Bermula dari Kerajaan Franka (481-843 M), kemudian lahir Kerajaan Prancis (Royaume de France) di bawah kekuasaan Wangsa Kapetia (House of Capet) pada 987 M.

Memasuki abad 14, tepatnya sejak tahun 1328 M, Kerajaan Prancis dikuasai oleh 2 cabang Wangsa Kapetia: Valois dan Bourbon. Selepas lebih dari 2 abad periode kekuasaan Wangsa Valois, Kerajaan Prancis dipimpin oleh raja-raja Wangsa Bourbon hingga revolusi meletus di penghujung abad 18.

Revolusi 1789 mengantarkan Prancis ke fase sejarah baru, dari semula negara monarki (kerajaan) menjadi republik. Secara kronologis, serbuan massa rakyat ke penjara Bastille tanggal 14 Juli 1789 merupakan titik mula meletupnya Revolusi Prancis. Hari itu dikenang sebagai "Bastille Day."

Keruntuhan monarki melahirkan Republik Prancis pertama yang berdiri sejak 1792. Pemerintahan republik ini akhirnya diambil alih oleh Napoleon Bonaparte saat ia menjadi Konsul pertama (1799).

Kemunculan Napoleon Bonaparte sebagai penguasa terkuat di Prancis diikuti dengan langkahnya membentuk kekaisaran pada 1804-1815. Tumbangnya Prancis dalam Pertempuran Waterloo (Juni 1815) mengakhiri kekuasaan Napoleon. Prancis lantas beralih jadi monarki konstitusional sebelum muncul republik kedua di periode 1848-1852.

Masa republik kedua tutup buku karena Louis-Napoléon Bonaparte (Napoleon III) mengangkat diri sebagai Kaisar Prancis. Kekuasaan Napoleon III sebagai kaisar bertahan selama 1852-1870.

Kekalahan Napoleon III dalam perang melawan Prusia melahirkan Republik Prancis ketiga. Hingga kini, Prancis tetap menjadi negara republik, meski muncul perubahan besar saat terbentuk republik keempat (1946) dan kelima (1958).

Latar Belakang Revolusi Prancis 1789

Latar belakang Revolusi Prancis 1789-1799 terkait dengan pemicu yang kompleks dan tidak hanya masalah internal di kerajaan Raja Louis XVI. Situasi di internasional, terutama keterlibatan Prancis dalam Revolusi Amerika Serikat turut memberikan pengaruh besar.

Mengutip dari publikasi Columbia University, tanda-tanda revolusi semakin jelas terlihat pada akhir dekade 1770-an, ketika krisis keuangan membelit pemerintahan monarki Prancis. Perang melawan negara-negara lain, khususnya Inggris, hingga pengiriman bantuan militer Prancis kepada pejuang kemerdekaan Amerika Serikat, membikin kas negara Raja Louis XVI terkuras.

Keuangan yang menipis itu memaksa Raja Louis XVI mencari dana darurat dari peningkatan pajak. Namun, kenaikan pajak berarti makin besar pula beban bagi mayoritas rakyat Prancis. Di sisi lain, ekonomi Prancis sedang memburuk sehingga jumlah orang melarat meningkat pesat.

Pada abad 18, masyarakat Prancis secara umum terpilah menjadi 3 kelas sosial. Golongan pertama ialah minoritas yang terdiri atas para rohaniawan gereja. Kemudian, kelas yang kedua merupakan para bangsawan, juga termasuk minoritas dari segi jumlah. Adapun golongan ketiga yang menjadi mayoritas populasi terdiri atas borjuis (kelas ekonomi menengah), buruh, petani, dan lain-lain.

Golongan pertama dan kedua memiliki banyak hak istimewa, termasuk bebas dari pajak, monopoli atas jabatan pemerintahan, hingga mendapatkan uang pensiun. Maka dari itu, saat kerajaan butuh tambahan dana darurat, golongan ketigalah yang terancam menjadi sasaran peningkatan pajak.

Untuk menggulirkan rencana mengatasi krisis keuangan, Raja Louis XVI meminta Estates General (majelis legislatif atau majelis konsultatif) bersidang. Estates General berisikan perwakilan 3 kelas (golongan sosial) di Prancis. Tidak mengherankan, perwakilan dari golongan ketiga bersuara keras mendorong agar pajak dikenakan kepada para pemilik hak istimewa. Namun, terjadi pertikaian di sidang Estates General.

Perwakilan golongan ketiga di Estates Generalkemudian berinisiatif menggelar sidang sendiri, dan hanya melibatkan sedikit reformis dari 2 golongan lain. Mereka membentuk The National Assembly (Majelis Nasional) pada 17 Juni 1789 dan mengagendakan pembentukan konstitusi baru di Prancis.

Pertentangan antara golongan masyarakat atas dan bawah di Prancis itu meningkatkan kebencian rakyat terhadap monarki. Apalagi Raja Louis XVI dan istrinya Maria Antoinette memiliki kehidupan mewah, termasuk saat Prancis sedang mengalami krisis keuangan.

Di tengah situasi politik semakin memanas, meledak protes massa yang berujung pada kerusuhan pada 14 Juli 1789. Ribuan massa hari itu menyerbu penjara Bastille, membebaskan tahanan, juga merampas senjata hingga mengeksekusi komandan bui di Kota Paris tersebut.

Wibawa Kerajaan Prancis pun terus merosot sehingga kesulitan mengontrol situasi. The National Assembly sebaliknya justru berhasil menjalankan sejumlah inisiatif penting pada 1789.

The National Assembly berhasil membentuk pasukan nasional dengan Jenderal Lafayette sebagai panglima. Putusan sidang 4 Agustus 1789 itu dibarengi dengan pencabutan hak istimewa golongan gereja dan bangsawan.

Tak berhenti di sana, Deklarasi Hak Rakyat dan Warga Negara Prancis dikumandangkan pada akhir Agustus 1789 oleh The National Assembly. Deklarasi itu mempopulerkan slogan Liberte, Egalite, Fraternite (Kebebasan, Keadilan, dan Persaudaraan) yang menjadi semboyan Revolusi Prancis.

Masih di tahun 1789, The National Assembly akhirnya memaksa Raja Louis XVI untuk menjalankan pemerintahan monarki konstitusional. Namun, revolusi tidak berhenti hingga perubahan yang lebih radikal terjadi.

Puncaknya ketika Raja Louis XVI dan istrinya, Marie-Antoinette, dipenggal dengan pisau guillotine pada 1793. Hanya 3 tahun usai penyerbuan Penjara Bastille, monarki Prancis rontok. Sejak bulan September 1792, pemerintahan Republik Prancis resmi berdiri.

Latar belakang Revolusi Prancis 1789-1799 tidak hanya berhubungan dengan politik dan ekonomi. Peristiwa yang memantik perubahan besar di Eropa tersebut juga tidak terlepas dari gagasan baru yang kelak juga mendasari prinsip-prinsip hak asasi manusia dan demokrasi.

Ulasan di laman History.com menyimpulkan, keterlibatan militer Prancis dalam membantu pejuang kemerdekaan Amerika Serikat melawan Britania Raya (Inggris) turut mendorong perubahan sikap sejumlah tokoh reformis terhadap monarki absolut Louis XVI.

Revolusi Amerika memungkinkan pertukaran ide, nilai, dan filosofi antara orang-orang Prancis dan pejuang kemerdekaan AS. Interaksi kedua bangsa memperkokoh pengaruh gagasan Pencerahan di Prancis, seperti pengakuan hak-hak dasar manusia, kesetaraan bagi semua warga negara, hingga pembatasan kekuasaan pemerintah. Sejumlah reformis Prancis yang membantu pejuang Amerika meraih kemerdekaan dari monarki Inggris lantas turut menentang Louis XVI.

Majelis Nasional Prancis bahkan menjadikan Declaration of Independence milik AS model rujukan saat menyusun Deklarasi Hak-hak Manusia dan Warga Negara pada 1789. Dua deklarasi tersebut sama-sama mengadopsi ide-ide Pencerahan, seperti prinsip persamaan hak dan kedaulatan rakyat.

Jika menilik ke belakang, ideologi yang menginspirasi Revolusi Amerika sebenarnya telah mekar di Prancis sejak awal Abad 18. Di buku Sejarah Dunia II (2020) karya Siti Fauziyah dan Eva Syarifah Wardah, dijelaskan setidaknya ada 3 pemikir yang menginspirasi gerakan Revolusi Prancis 1789.

Tokoh pertama adalah Montesquieu (1659-1755) yang merumuskan konsep pembagian kekuasaan negara menjadi tiga. Konsep yang disebut Trias Politica itu membagi kekuasaan menjadi 3 otoritas, yakni Legislatif (penyusun undang-undang), Eksekutif (pelaksana undang-undang), serta Yudikatif (pengadilan untuk pelaku pelanggaran undang-undang).

Berikutnya ialah J.J. Rousseau (1712-1775) yang menyerukan kemerdekaan dan persamaan hak bagi semua tanpa terkecuali. Rousseau menulis buku Du Contract Social yang menjadi salah satu pondasi konsep demokrasi, termasuk doktrin kedaulatan rakyat.

Pemikir ketiga yang tidak kalah besar pengaruhnya di Prancis ialah Voltaire (1604-1778). Dia salah seorang yang paling getol mengkritik pemerintahan Louis XVI. Filsuf dari era Pencerahan ini sering menyuarakan pengakuan terhadap hak-hak dasar manusia, kebebasan sipil, kebebasan beragama, dan penegakan keadilan hukum. Dia pun menjadi penyokong utama ide reformasi sosial di Prancis saat monarki absolut masih berkuasa.

Kronologi Revolusi Prancis: Timeline Peristiwa 1789-1799

Penyerbuan Penjara Bastille oleh massa rakyat di Paris pada 14 Juli 1789 bisa dibilang sebagai titik mula meletusnya Revolusi Prancis. Pada hari kerusuhan, penjara Bastille sebenarnya hanya dihuni 7 narapidana, dengan catatan kriminal biasa. Tujuan utama massa adalah merebut senjata serta meruntuhkan simbol kekuasaan monarki absolut di Prancis.

Rangkaian peristiwa berikutnya setelah penyerbuan Penjara Bastille semakin menegaskan bahwa monarki absolut di Prancis sudah mendekati ajal.

Menukil dari Britannica, berikut ini kronologi peristiwa Revolusi Prancis 1789-1799:

Februari 1787

Menteri Keuangan Kerajaan Prancis, Charles-Alexandre de Calonne mengumpulkan bangsawan dan perwakilan borjuasi guna membahas defisit keuangan negara. Calonne mengusulkan supaya pajak dikenakan pada golongan masyarakat pemilik hak istimewa.

Namun, usulan Calonne ditolak kelompok elite di Prancis. Sebaliknya, mereka memberi saran agar pertemuan Estates General, yang belum pernah terjadi sejak tahun 1614, digelar untuk membahas rencana kebijakan pajak baru dan solusi menangani krisis.

5 Mei 1789

Sidang Estates General (semacam parlemen) yang dihadiri oleh perwakilan dari golongan pertama, kedua, dan ketiga masyarakat Prancis berlangsung di Versailles. Namun, sidang berakhir dengan perpecahan.

Salah satu pemicunya ialah debat alot terkait mekanime pengambilan keputusan, yakni berdasar suara dari setiap anggota Estate atau ketiga golongan punya bobot suara yang sama.

17 Juni 1789

Perselisihan di Estates General membuat para deputi Estate Ketiga (perwakilan golongan ketiga) mendeklarasikan Majelis Nasional (The National Assembly) secara mandiri. Mereka bersikeras akan melanjutkan sidang Majelis Nasional meskipun tanpa perwakilan dua Estate lainnya.

20 Juni 1789

Pejabat kerajaan mengunci ruangan yang mestinya dipakai untuk pertemuan reguler The National Assembly. Akibatnya, sidang harus digelar di lapangan tenis milik Raja Louis XVI.

Di tempat itu, para pendukung The National Assembly mengucapkan ikrar yang dikenal sebagai Sumpah Lapangan Tenis (The Tennis Court Oath). Ikrar tersebut menegaskan sikap mereka untuk tidak akan membubarkan diri sebelum melahirkan konstitusi baru.

9 Juli 1789

Raja Louis XVI tampak melunak karena meminta 2 Estate lainnya bergabung dengan The National Assembly untuk merumuskan konstitusi baru di Majelis Konstituante Nasional. Namun, sang Raja justru kedapatan mengumpulkan kekuatan pasukan untuk membubarkan lembaga tersebut.

14 Juli 1789

Ancaman pembubaran The National Assembly yang digawangi Estate ketiga mendorong rakyat di Kota Paris melancarkan protes. Aksi massa lalu berujung pada penyerbuan Penjara Bastille, bui di Kota Paris yang menjadi simbol tirani Raja Louis XVI.

26 Agustus-6 Oktober 1789

Majelis Konstituante Nasional menerbitkan Deklarasi Hak-Hak Manusia dan Warga Negara. Namun, Raja Louis XVI menolak menyetujui deklarasi tersebut. Sikap sang Raja lalu disambut dengan aksi massa yang memaksa keluarga kerajaan keluar dari Istana Versailles, dan kembali ke Paris.

20 April 1792

Prancis terlibat perang dengan Austria. Selama beberapa tahun kemudian, permusuhan berlanjut antara Prancis dan beberapa negara di Eropa.

20 September 1792

Majelis rakyat yang baru bernama Konvensi Nasional dibentuk dan melahirkan keputusan penting, yakni membubarkan monarki Prancis serta mendirikan pemerintahan Republik Prancis.

21 Januari 1793

Setelah diadili Majelis Konvensi Nasional, Raja Louis XVI dieksekusi mati dengan cara dipenggal menggunakan pisau Guillotine. Dia dieksekusi karena dinilai terbukti melakukan pengkhianatan.

16 Oktober 1793

Istri Raja Louis XVI Marie-Antoinette dieksekusi mati dengan pisau guillotine atas dasar putusan Pengadilan Revolusioner untuk tuduhan pengkhianatan.

Eksekusi tersebut terjadi saat Prancis berada di bawah pemerintahan teror yang dikendalikan oleh Maximilien Robespierre dan kawan-kawan.

Robespierre salah satu tokoh penting di Revolusi Prancis. Selama 1793-1794, ia mempunyai peran besar sebagai salah satu petinggi Komite Keselamatan Publik, badan yang dibentuk oleh Konvensi Nasional pada 25 Maret 1793 untuk menjalankan pemerintahan darurat selama revolusi.

27-28 Juli 1794

Robespierre dan pemerintahan teror digulingkan. Dia lalu dieksekusi dengan pisau Guillotine pada 28 Juli 1794. Beberapa bulan setelah itu, Komite Keselamatan Publik maupun Konvensi Nasional dibubarkan.

2 November 1975

Mulai 2 November 1795, pemerintahan Republik Prancis dijalankan oleh Direktori (le Directoire) yang merupakan komite dengan 5 anggota. Mereka bekerja dengan diawasi lembaga parlemen.

9 November 1799

Pemimpin militer Napoleon Bonaparte menggulingkan pemerintahan Direktori Prancis. Ia kemudian menyatakan diri sebagai konsul pertama alias pemimpin Prancis. Tahun 1804, Napoleon Bonaparte menobatkan dirinya menjadi Kaisar Prancis.

Baca juga artikel terkait EDUKASI DAN AGAMA atau tulisan lainnya dari Mohamad Ichsanudin Adnan

tirto.id - Pendidikan
Kontributor: Mohamad Ichsanudin Adnan
Penulis: Mohamad Ichsanudin Adnan
Editor: Addi M Idhom