Menuju konten utama

Latar Belakang Perjanjian Westphalia: Sejarah Perang Besar di Eropa

Berikut penjelasan latar belakang Perjanjian Westphalia serta sejarah perang besar di Eropa pemicu adanya kesepakatan damai tersebut.

Latar Belakang Perjanjian Westphalia: Sejarah Perang Besar di Eropa
Peta Eropa pada tahun 1648. wikimedia commons/publik domain

tirto.id - Perjanjian Westphalia adalah kesepakatan damai pada 1648 yang mengakhiri perang 30 tahun di Kekaisaran Romawi Suci (1618–1648) serta perang 80 tahun antara Spanyol dan Republik Belanda (1568–1648). Perundingan dalam Perjanjian Westphalia melibatkan 109 delegasi, perwakilan dari sejumlah entitas politik di Eropa masa itu.

Kesepakatan damai tersebut terdiri atas 2 perjanjian yang ditandatangani di 2 kota dalam wilayah Westphalia, sebuah kawasan di Jerman. Dua perjanjian itu dibuat di Osnabruck (15 Mei 1648) dan Munster (24 Oktober 1648).

Maka itu, Perjanjian Westphalia juga kerap disebut sebagai Perjanjian Osnabruck dan Munster. Isi Perjanjian Westphalia memuat lebih dari 100 pasal yang detailnya bisa dicek melalui link ini.

Sekalipun tidak menciptakan perdamaian di seluruh Eropa, Perjanjian Westphalia dinilai membawa dampak besar terhadap kemunculan tatanan politik baru di Benua Biru. Dengan perjanjian ini, lahir konsep pengakuan negara berdaulat, serta pengendalian agresi militer antar-negara dengan jalan menciptakan kesetaraan posisi.

Konsep dalam Perjanjian Westphalia memuat prinsip hukum internasional yang sekarang berlaku, yakni norma tidak mencampuri urusan dalam negeri negara lain. Bahwa setiap negara mempunyai kedaulatan atas wilayah dan urusan dalam negerinya menjadi hak yang mesti diakui, tanpa peduli lemah atau kuat negara itu.

Prinsip itu memang dirusak oleh imperialisme negara-negara Eropa di Asia-Afrika, juga dalam dua perang dunia pada awal abad 20. Namun, prinsip ini tetap berlaku dalam hukum internasional era kontemporer.

Karena itulah banyak sejarawan menilai Perjanjian Westphalia adalah tonggak penting bagi sejarah kemunculan negara modern. Prinsip-prinsipnya juga dianggap mengawali bentuk sistem hubungan internasional yang disebut sebagai Westphalian System.

Latar Belakang Perjanjian Westphalia di Sejarah Eropa

Latar belakang Perjanjian Westphalia adalah kecamuk perang berlarut di Kekaisaran Romawi Suci, yang berlangsung selama 30 tahun (1618–1648). Sebelum itu juga sudah terjadi perang panjang selama 80 tahun antara Kerajaan Spanyol dan Republik Belanda (1568–1648).

Dua perang tersebut berlangsung ketika perubahan besar sedang melanda Eropa. Abad 16 menjadi awal lahirnya gerakan reformasi gereja yang dimotori Martin Luther. Pada masa ini pula, ekspedisi para penjelajah Eropa berhasil menjangkau dunia timur hingga kepulauan asal rempah-rempah di nusantara. Perubahan pertama meningkatkan ketegangan politik ataupun sosial-budaya di Eropa, sementara yang kedua mengerek aktivitas dagang dan perekonomian Benua Biru.

Perang 30 Tahun di wilayah Kekaisaran Romawi Suci, ditambah konflik selama 80 tahun Belanda vs Spanyol, membawa dampak berat di Eropa. Khusus Perang 30 Tahun, mengutip laman history.com, menelan 8 juta korban jiwa akibat pertempuran, ditambah kelaparan dan wabah di tengah konflik.

Kedua perang yang memiliki garis benang merah ini tidak menghasilkan pemenang. Pada akhirnya, semua pihak yang terlibat berunding dan menyepakati Perjanjian Westphalia pada 1648. Perjanjian Westphalia mengakhiri Perang 30 Tahun di Kekaisaran Romawi Suci, serta memberikan pengakuan terhadap kemerdekaan Republik Belanda dan beberapa negara lain di Eropa tengah.

Sejarah Perang 80 Tahun Spanyol dan Belanda

Perang 80 tahun antara Spanyol vs Republik Belanda adalah pemberontakan 7 provinsi di Belanda terhadap Kerajaan Spanyol. Perang ini memicu penyatuan 7 provinsi itu menjadi Republik Belanda Bersatu (disebut juga Republik Tujuh Provinsi Bersatu) yang berdiri pada 1581. Republik federal ini merupakan pendahulu dari Kerajaan Belanda yang ada saat ini.

Pada abad 16, wilayah yang kini dikenal sebagai negeri Belanda masih berada di bawah kekuasaan Raja Spanyol, Felipe II (1527–1598), anak Kaisar Romawi Suci, Karl V (1500–1558). Cara Felipe II memerintah negeri-negeri tanah rendah (sebutan Belanda, Belgia, dan Luksemburg) tidak disukai oleh para bangsawan lokal. Mereka kemudian memberontak di bawah pimpinan Willem van Oranje (Willem Sang Pendiam).

Sejak Reformasi Gereja dilancarkan oleh Martin Luther pada tahun 1517, hubungan antara wilayah Belanda yang Protestan dengan Raja Spanyol yang Katolik memang merenggang. Namun, bukan melulu masalah keagamaan yang menjadi pemicu utama Perang 80 Tahun.

Setidaknya ada 2 kebijakan Felipe II yang memicu perang pecah. Pertama, kebijakan administrasi terpusat yang diterapkan Felipe II. Akibatnya, urusan administrasi di negeri-negeri tanah rendah yang semula dipegang oleh bangsawan lokal beralih kepada wali negeri pilihan raja. Elite-elite lokal Belanda berkepentingan mengurus administrasi di wilayahnya, sementara beberapa wali negeri tak becus melakukannya.

Penyebab kedua ialah langkah Felipe II menarik pajak tinggi di negeri-negeri tanah rendah. Felipe II tahu aktivitas perdagangan dan ekonomi menanjak di sana, sementara Spanyol sedang butuh dana besar untuk bersaing dengan negeri-negeri lain di Eropa, juga Kekaisaran Utsmani.

Setelah belasan tahun memimpin pemberontakan melawan Raja Spanyol, Willem van Oranje tewas pada 1584 akibat peluru dari militan Katolik pro-Spanyol, Balthasar Gerards. Kematian Willem jadi titik balik peperangan. Kerajaan Inggris mulai turut campur dalam Perang 80 Tahun, dan membuat Spanyol tidak lagi berada di posisi dominan. Gencatan senjata antara Belanda dan Spanyol sempat berlangsung 12 tahun sejak 1609, tapi perang kembali berlanjut pada 1620-an.

Sejarah Perang 30 Tahun di Eropa

Perang 30 Tahun merupakan serangkaian pertempuran di Eropa Tengah selama 1618-1648. Perang ini menjadi salah satu konflik terburuk dalam sejarah Eropa dan memakan korban jutaan jiwa.

Perang 30 tahun didasari beragam kepentingan, dari keagamaan hingga politik beberapa kerajaan yang hendak memperluas teritorinya. Semula, Perang 30 Tahun dipantik oleh bentrok antara kubu Protestan dan Katolik di Kekaisaran Romawi Suci. Namun, perang segera meluas serta melibatkan sejumlah negara besar di Eropa masa itu.

Kekaisaran Romawi Suci merupakan entitas politik yang pernah memerintah sejumlah wilayah di Eropa Barat dan Tengah selama abad 9-19. Kekaisaran ini sebenarnya kumpulan terfragmentasi negara-negara yang sebagian besar merdeka atau semi-otonom.

Posisi sebagai Kaisar Romawi Suci sering kali sekadar gelar kehormatan. Hanya saja, para kaisar dari Wangsa Habsburg memiliki kuasa langsung atas wilayah yang luas, seperti Kerajaan Hungaria atau Spanyol. Wangsa inilah yang menguasai kekaisaran saat Perang 30 Tahun berlangsung.

Mengutip dari artikel "The Origins of the Thirty Years' War" dalam The Journal of Interdisciplinary History (1988) terbitan MIT Press, Perang 30 Tahun ini melibatkan 2 jenis konflik, dilihat dari kubu yang bertikai. Berawal dari perang saudara, konflik lantas berkembang menjadi krisis internasional saat sejumlah negara besar turut serta dalam pertikaian.

Kebijakan diskriminasi agama di Kekaisaran Romawi Suci menjadi salah satu biang keladi pecahnya perang saudara di Bohemia (kini sebagian besar jadi wilayah Republik Cheko), pada 1618. Singkat cerita, konflik kubu Lutheran versus Katolik itu lalu meluas dan memicu ketidakstabilan di Jerman pada 1620-an.

Kondisi yang terakhir memancing Kerajaan Denmark turun tangan di tahun 1625. Sejak itu, konflik bermutasi jadi perang internasional karena pada 1930-an, Kerajaan Swedia dan Prancis ikut masuk gelanggang melawan Kekaisaran. Republik Belanda di bawah kontrol pangeran oranye Maurits dari Nassau turut masuk pula dalam pusaran perang.

Maka konflik semakin mendidih dan berada di luar kendali Kekaisaran Romawi Suci. Hasrat Wangsa Habsburg menjadikan Kekaisaran sebagai pemimpin tunggal di Eropa pun tidak tercapai.

Mengutip artikel dari Jurnal Sulesana (2021), secara umum Perang 30 Tahun terbagi dalam empat fase. Selama keempat fase itu berlangsung tak ada kubu yang berhasil mengonversi kemenangan militer di medan perang menjadi legitimasi politik.

a. Fase Pertama

Fase pertama adalah perang saudara di Bohemia (1618-1625 M). Perang ini membenturkan kubu Liga Katolik yang didukung oleh Raja Ferdinand II melawan Uni Evangelis yang dipimpin Pangeran Frederick dari Palatine. Adapun Liga Katolik merupakan koalisi negara-negara Katolik di Kekaisaran Romawi Suci yang dibentuk pada 1609, setahun usai Serikat Protestan berdiri.

Ferdinand II merupakan anggota Wangsa Habsburg yang menduduki posisi sebagai Kaisar Romawi Suci selama 1619-1637. Dia sekaligus menjadi Raja Bohemia (1617–1619 dan 1620–1627), serta Raja Hongaria (1618-1625). Ferdinand II mewajibkan warga kekaisaran menganut Katolik Roma, kebijakan yang menganulir Perjanjian Augsburg (1555) dan mendorong negara-negara penganut Protestan memberontak.

Sementara itu, Frederick dari Palatine atau Frederick V adalah bangsawan Jerman yang besar dari tradisi Calvinis. Dia menggantikan ayahnya, Frederick IV sebagai pemimpin Serikat Protestan pada 1610. Di kemudian hari, Frederick V menerima tawaran Matthias, Kaisar Romawi Suci (1612-1619) sebelum Ferdinand II, untuk menjadi Raja Bohemia.

Frederick V naik takhta Bohemia pada bulan November 1619, tapi ia tidak lama berkuasa. Setahun kemudian, ia digulingkan oleh Liga Katolik. Penggulingan Frederick V memperluas perang hingga ke Jerman.

b. Fase Kedua

Fase kedua (1625-1629 M), merupakan tahapan saat Raja Christian IV dari Denmark memutuskan berpartisipasi dalam perang dengan membela kubu Protestan. Saat kubu Protestan Jerman bagian utara terdesak, Raja Cristian IV mengerahkan pasukan untuk membendung tentara Liga Katolik.

Motif Christian IV lebih dari sekadar urusan konflik agama. Keputusannya didorong keinginan buat menyaingi peran Swedia di pentas politik Eropa dan melindungi kepentingan Denmark di Jerman.

Namun, pasukan Christian IV tidak kuasa menandingi bala tentara Liga Katolik yang dipimpin oleh dua jenderal kekaisaran, Johann Tserclaes (Pangeran Tilly) dan Albrecht dari Wallenstein. Terdesak, Christian IV beraliansi dengan Raja Swedia Gustavus Adolphus untuk melawan Liga Katolik.

Hanya saja, di tengah jalan, Christian IV membatalkan aliansinya dan memilih perdamaian dengan Kekaisaran Romawi Suci pada 1629. Alhasil, hubungan Denmark dan Swedia tidak akur.

c. Fase Ketiga

Fase ketiga (1630-1634) ditandai langkah Raja Gustavus Adolphus mengirimkan tentara Swedia ke Jerman. Pada pertengahan 1630, pasukan Swedia resmi menduduki Peenemunde, salah satu kota di Jerman dekat laut Baltik.

Motif Raja Gustavus Adolphus ikut terjun dalam Perang 30 Tahun sulit ditebak. Pada kenyataannya, ia tidak hanya ingin melindungi kubu Protestan. Kepentingan politik tampaknya jadi pemicu paling kuat dari langkah sang raja.

Sebagian sejarawan menilai ia ingin mencegah invasi Wangsa Habsburg ke Swedia. Sementara itu, yang lain meyakini Gustavus Adolphus berniat menganeksasi pesisir Laut Baltik demi memonopoli perdagangan antara Rusia dengan negara-negara Eropa.

Datang dengan inovasi militer, pasukan Swedia semula dapat mendesak tentara Liga Katholik dan mendominasi Jerman utara. Invasi Swedia mulai tersendat pada 1932 saat mereka hampir berhasil mencaplok kawasan Bavaria (Jerman bagian selatan).

Raja Adolphus tewas justru pada saat pasukan Swedia memenangkan pertempuran melawan bala tentara kekaisaran yang dipimpin Albrecht dari Wallenstein. Takhta Swedia lalu diduduki putri dari Adolphus, Ratu Cristina yang masih berusia 6 tahun sehingga pemerintahan sementara dijalankan kanselir Axel Oxenstierna.

Nama terakhir gagal melanjutkan dominasi Swedia. Setelah kalah dari gabungan pasukan Spanyol-Kekaisaran di Pertempuran Nordlingen pada 1934, militer Swedia terus melemah. Apalagi sejumlah elite Jerman sekutu Swedia menerima perdamaian dengan Kaisar Ferdinand II pada 1935 melalui Perjanjian Praha.

Namun, konflik tidak berhenti karena Prancis menyokong Swedia dan secara aktif turut berperang sejak tahun 1635. Keterlibatan Prancis ini memperpanjang masa peperangan.

d. Fase keempat

Fase keempat (1635-1648) ditandai dengan keterlibatan Prancis secara langsung dalam Perang 30 Tahun. Fakta bahwa Kerajaan Prancis yang menganut Katolik, tidak menghendaki dominasi Wangsa Habsburg di Eropa dan menolak Perdamaian Praha, menegaskan Perang 30 Tahun lebih bernuansa politik ketimbang konflik agama.

Ketika beralih memihak Swedia serta Aliansi Protestan pada 1935, Prancis dipimpin oleh Raja Louis XIII dari Wangsa Bourbon. Dia dibantu Kardinal Richelieu sebagai pengendali pemerintahan. Sosok yang terakhir disebut memiliki peran besar dalam keputusan Prancis menentang Kekaisaran.

Peter H. Wilson dalam The Thirty Years War: Europe's Tragedy (2009:554) menjelaskan keputusan Prancis membantu Swedia dan kubu Protestan dalam Perang 30 Tahun dilatarbelakangi oleh konflik negara itu dengan Spanyol.

Wangsa Bourbon sejak lama bersaing dengan penguasa dari Dinasti Habsburg, baik yang berkuasa di Spanyol, Kekaisaran, dan Austria. Di sisi lain, Prancis menilai Spanyol adalah ancaman, demikian pula sebaliknya.

Sejak Kardinal Richelieu menjadi perdana menteri pada 1624, Prancis berupaya mencegah Spanyol dan Kekaisaran menguasai wilayah-wilayah yang mengepung negara itu. Ketegangan ini meningkat sejak konflik Prancis vs Spanyol dalam krisis suksesi di Mantua (Italia) pada 1627. Namun, perang terbuka baru dimulai saat Prancis menyerbu Brussel, pusat pemerintahan Spanyol di Belanda.

Prancis sempat kewalahan membendung serangan pasukan koalisi Spanyol-Kekaisaran, sehingga Paris terancam pada 1636. Meski begitu, Prancis dan aliansi Protestan mereka mampu bertahan.

Situasi mulai berbalik saat Portugis memberontak terhadap Spanyol pada 1940. Setelah itu, pada tahun 1943, Swedia kembali bangkit dan menambah kekuatan aliansi yang digalang Prancis.

Konflik semakin rumit karena Kerajaan Denmark yang pernah menentang Kekaisaran masuk dalam kubu Wangsa Habsburg untuk berperang melawan aliansi Prancis-Swedia-Belanda. Kedua kubu itu pun saling mengalahkan selama tahun-tahun 1640an.

Ketika negosiasi menuju Perjanjian Westphalia berlangsung pada 1948, terjadi pertempuran Praha yang menyudutkan posisi Wangsa Habsburg. Tentara Swedia menyerbu Praha pada akhir Juli 1648, berhasil menguasai kota, dan menjarah koleksi seni milik Kekaisaran.

Invasi tersebut baru berhenti usai pasukan Swedia menerima kabar kesepakatan dalam Perjanjian Westphalia. Penyerangan Praha merupakan pertempuran terakhir dalam Perang 30 Tahun.

Baca juga artikel terkait SEJARAH EROPA atau tulisan lainnya dari Mohamad Ichsanudin Adnan

tirto.id - Pendidikan
Kontributor: Mohamad Ichsanudin Adnan
Penulis: Mohamad Ichsanudin Adnan
Editor: Addi M Idhom