tirto.id - “Tuhanku ya Tuhanku, kasihanilah jiwaku dan jiwa orang-orang ini.”
Kutipan yang berasal dari risalah Staten Generaal (tertanggal 10 Juli 1584) tersebut merupakan kata-kata terakhir yang terkenal diucapkan oleh Willem Sang Pendiam (1533–1584), atau disebut juga Willem van Oranje, sesaat setelah ia menerima dua, atau tiga, peluru yang ditembakkan oleh militan Katolik pro-Spanyol, Balthasar Gerards (1557–1584).
Pada ujung abad ke-16 itu, wilayah yang kini kita kenal sebagai Negeri Belanda sedang berada di bawah kekuasaan Raja Spanyol, Felipe II dari Wangsa Habsburg (1527–1598). Ia menggantikan pendahulunya, Kaisar Romawi Suci, Karl V (1500–1558). Beberapa bulan setelah ia naik takhta pada bulan Januari 1556, Felipe berdiam di Spanyol dan sama sekali tidak akan mengunjungi wilayah-wilayah kekuasaannya di luar Spanyol selama hidupnya.
Cara berkuasanya yang eksklusif seperti itu menimbulkan ketidakpuasan di wilayah utara Negeri-Negeri Tanah Rendah (sebutan bagi Negeri Belanda, Belgia, dan Luksemburg). Pada awalnya dimotori oleh konflik sosial budaya yang dimulai pada era Reformasi Gereja oleh Martin Luther pada 1517, keretakan hubungan antara wilayah Belanda Utara yang Protestan dengan raja mereka di Spanyol yang Katolik semakin menunjukkan jurang yang menganga.
Di tengah masyarakat Belanda yang terkenal dengan ciri khas masyarakat egaliter dan toleran secara religius, apa yang sebenarnya mengompori konflik antara mereka dan Raja Felipe? Secara umum, ada dua sebab utama. Pertama, seperti disebut oleh Edward De Maesschalck dalam Oranje tegen Spanje: Eenheid en scheiding van de Nederlanden onder de Habsburgers, 1500–1648 (2015), di bawah kekuasaan Felipe, administrasi negara menjadi sangat sentralistik. Perubahan ke arah yang sentralistik ini dimulai oleh pendahulu Felipe, Kaisar Karl V.
Wilayah Negeri-negeri Tanah Rendah merupakan kota-kota pelabuhan yang telah menjadi pusat perdagangan Eropa sejak abad pertengahan. Di wilayah ini, administrasi dalam negeri umumnya dipegang oleh bangsawan-bangsawan lokal.
Menariknya, H. P. H. Jansen dalam Geschiedenis van de Middeleeuwen (2010) melukiskan bagaimana bangsawan di wilayah ini tumbuh seiring dengan peningkatan pundi-pundi kekayaan mereka, bukan ditentukan oleh hak dari lahir seperti tuan-tuan tanah di Eropa pada umumnya. Dengan kata lain, bangsawan Negeri-Negeri Tanah Rendah mendapat status mereka karena supremasi mereka di bidang perdagangan.
Oleh sebab itu juga, ciri khas masyarakat yang muncul adalah masyarakat egaliter. Masyarakat semacam ini lahir karena mobilisasi sosial secara vertikal—naik dan turunnya status seseorang dalam masyarakat—merupakan hal yang dimungkinkan. Selain itu, masyarakat wilayah tersebut juga akhirnya mampu menciptakan badan-badan administrasi untuk mengelola wilayahnya secara mandiri. Tentu saja, sistem kemasyarakatan yang mandiri ini berada di bawah kekuasaan tuan-tuan tanah feodal yang menjadi penguasa de jure wilayah secara turun-temurun.
Sebelum berkuasanya Kaisar Karl V, penguasa feodal tidak turut campur dalam urusan tata kelola lokal itu. Namun, Karl merasa bahwa pengaturan imperiumnya harus diubah ke arah yang lebih sentralistik. Pada 1528, misalnya, ia membuat perubahan besar di Kota Utrecht. Kota yang sebelumnya dikelola oleh Dewan Ketua Gilda ia jadikan berada di bawah seorang wali negeri (stadhouder)—seorang pejabat yang setara dengan adipati. Dengan demikian, urusan non-agama yang sebelumnya ada di tangan para pimpinan gilda-gilda dagang yang berhimpun di Dewan Ketua Gilda kini dipegang satu orang. Sedangkan urusan agama diletakkan di pundak satu orang lain, yaitu Uskup Agung Utrecht.
Sentralisasi seperti itu memuncak pada periode kekuasaan Felipe. Tidak seperti Karl yang masih meninjau wilayah kekuasaanya di Negeri-negeri Tanah Rendah, Felipe sama sekali tidak mau tahu dan menunjuk wali negeri untuk mewakilinya di sana, yaitu Adipati Margaret dari Parma (1522–1586).
Alasan kedua yang membawa kedua pihak dalam konflik yang tajam adalah beban pajak tinggi yang dikenakan Felipe kepada Negeri-negeri Tanah Rendah. Sebagai akibat dari aktivitas perdagangan yang masyhur di sana, ekonomi meningkat dengan sangat baik.
Jonathan Israel dalam The Dutch Republic: Its Rise, Greatness, and Fall, 1477–1806 (1998), menulis bahwa Karl dan kemudian Felipe mengenakan pajak yang tinggi di sini untuk membiayai perang Spanyol dengan negeri-negeri saingan seperti Prancis dan bahkan Kekaisaran Utsmani.
Beban pajak yang tinggi dibarengi dengan perilaku nepotis Felipe yang menunjuk orang dekatnya sebagai petinggi dewan akhirnya menggerakkan pada bangsawan yang semula duduk dalam Dewan Negara (Raad van Staat)—dewan yang menjadi perpanjangan tangan Felipe untuk mengelola Negeri-negeri Tanah Rendah—untuk menyuarakan protes dan akhirnya mundur dari sana.
Salah satu bangsawan paling prominen yang turut dalam aksi protes itu adalah Willem Sang Pendiam. Willem menjadi penting karena kekuasaan dan kekayaannya. Sejak 1559, ia adalah wali negeri atas Holland, Zeeland, Utrecht, dan Antwerp di Belgia.
Willem dan rakyat Belanda pada mulanya mengangkat senjata melawan bangsawan-bangsawan yang dianggap tidak becus mengelola wilayah Belanda karena sama sekali tidak mengerti cara kerja struktur masyarakat Belanda. Dalam Dutch Administration in the Netherlands Indies (1944) karya W. Preger, permasalahan ini dijadikan cerminan masa lalu Belanda sendiri dan ingatan ini membuat Belanda menerapkan banyak penelitian kemasyarakatan di Hindia Belanda. Tujuannya jelas, mereka tidak ingin mengulangi timbulnya perlawanan dari masyarakat jajahan terhadap penjajah yang tidak mengerti apa-apa tentang sistem kemasyarakatan orang jajahannya.
Dengan demikian, target mulanya bukanlah melawan kekuasaan Felipe. Namun, Felipe merespons pembangkangan Willem dan kawan-kawannya—yang kebanyakan berasal dari kelompok Protestan—sebagai bahaya terhadap negara dan agama. Dengan cepat, peperangan demi peperangan berkobar. Felipe menunjuk Fernando Álvarez de Toledo (1507–1582), Adipati Alba, sebagai jenderalnya.
Adipati Alba yang dijuluki Si Adipati Baja rupanya menganggap dirinya sebagai wakil langsung dari Felipe, mengabaikan Adipati Margaret yang telah ditunjuk sebagai wali negeri bagi seluruh Negeri Belanda. Adipati Alba pun melakukan pembersihan dan pembunuhan terhadap bangsawan-bangsawan yang dianggap memberontak. Ia membentuk Dewan bagi Para Pengacau (Raad van Beroerten) yang berfungsi sebagai pengadilan khusus bagi para pemberontak.
Kebengisan Adipati Alba membuat Willem melarikan diri ke Jerman. Ia kemudian mengonsolidasikan kekuatan pasukan dan meminta bantuan dari luar negeri, terutama dari Jerman dan Prancis. Ia bahkan sempat meminta bantuan dari Sultan Suleiman Agung dari Utsmani (bertakhta 1520–1566) pada 1566 dan Utsmani menyetujuinya karena mereka memerangi musuh yang sama, yaitu Kepausan dan Habsburg.
Tujuan utama Willem jelas, ia harus memukul mundur Adipati Alba, setidaknya menyingkirkannya dari Brussels yang merupakan ibu kota Negeri-negeri Tanah Rendah. Pada 1568, ia dan sekutunya menyerang dari berbagai sisi. Akhirnya, Pertempuran Heiligerlee dapat dimenangkan oleh Willem dan pasukannya. Ini menandai dimulainya Perang Delapan Puluh Tahun (1568–1648).
Pada tahun 1572, Willem kembali ke Belanda dan menetap di Delft, ia menetap di sana hingga kematiannya pada 10 Juli 1584—tepat hari ini 438 tahun yang lalu—di hadapan peluru-peluru dari Balthasar Gerards. Kematiannya secara tidak langsung membawa perubahan mendasar dari tatanan dunia, setidaknya dunia kolonial.
Inggris di bawah Ratu Elizabeth I (bertakhta 1558–1603) yang hingga saat itu tidak turut campur secara langsung dalam konflik di Eropa akhirnya turut serta bergerak pada 1585, setelah kehilangan salah satu sekutu paling prominennya, Willem Sang Pendiam. Turut campurnya Inggris berbuntut pada pertempuran-pertempuran armada laut di Selat Inggris yang akan meluluhlantakkan armada-armada laut Spanyol pada 1588, 1596, 1597, dan 1601.
Akibat yang ditimbulkan dari kehancuran kekuatan laut Spanyol nantinya akan merembet ke dunia kolonial. Inggris (dan Belanda) muncul sebagai kekuatan kolonial baru dengan pola penguasaan imperium yang baru. Kemangkusan dan kesangkilan metode kolonialisme Spanyol yang dihambat oleh misi keagamaan mereka digantikan oleh Inggris dan Belanda yang mengesampingkan jargon keagamaan seperti itu dan berfokus pada kapitalisme kolonial yang lebih eksploitatif.
Penulis: Christopher Reinhart
Editor: Nuran Wibisono