tirto.id - Spanyol adalah imperium besar Eropa barat yang Katolik. Tak hanya berkuasa di kawasan masyarakat beragama Katolik, tapi juga di kawasan yang beragama Protestan. Seperti di kawasan yang kini disebut Belanda. Dalam sejarah, Spanyol dan Portugis sering disebut sebagai penguasa dunia karena armada laut mereka berlomba-lomba mendapatkan daerah jarahan di Timur.
Kala itu, Phillip II bertakhta di Spanyol. Pajak yang memberatkan lalu digoreng dengan umat Protestan yang dibuat tidak nyaman oleh Spanyol melahirkan pemberontakan sejak 1568. Pangeran Oranje bernama Willlem alias Willem si Pendiam alias Willem I adalah pemimpin utamanya. Dia penguasa Hollandia, Utrecht, dan Zeeland.
Berseberangan dengan Raja Spanyol membuat kepala Willem si Pendiam dihargai 25 ribu crown. Perseteruan Spanyol dengan Belanda itu dikenal sebagai Perang Delapan Puluh Tahun.
Di masa Perang Delapan Puluh Tahun itu sebuah republik bernama Tujuh Provinsi (Zeven Provincien) alias Republik Belanda berdiri pada 1581. Willem si Pendiam yang jadi sasaran Raja Spanyol, seperti ditulis George Edmundson dalam History of Holland (2013), akhirnya tertembak dan tewas oleh pistol Balthasar Gérard—seorang Katolik Burgundi—pada 10 Juli 1584 di Delft. Tak lama, giliran Balthasar Gérard, yang merasa dirinya martir dan disucikan sebagai Katolik, kena eksekusi juga (hlm. 80).
Setelah Portugis dan Spanyol kirim armada ke Timur untuk mencari daerah jajahan, Belanda pun ikut serta. Tidak mau kalah dari penjajahnya. Meski kedaulatannya belum diakui dan masih dianggap daerah kekuasaan Spanyol, Belanda mengadakan pelayaran ke Timur.
Belanda akhirnya menjajahi satu persatu daerah di Nusantara, pertama kali di Maluku. Setelah Maluku berhasil dikuasai, Belanda memperkuat diri di Jawa. Kawasan Sunda Kelapa pun dijadikan kota yang dikenal dengan nama Batavia. Kota ini belakangan disebut Jakarta.
Setiap raja pada akhirnya mati dan digantikan raja yang lain. Begitu pun Phillip II. Dia digantikan Phillip III sebagai penguasa Spanyol dan Phillip III ini lalu digantikan Phillip IV, yang dianggap lebih beradab. Sementara itu, di Belanda ada Maurits yang menggantikan Willem I. Maurits lalu digantikan Frederik Hendrik. Maurits dan Frederik Hendrik adalah anak Willem I. Pada 1647, anak Frederik Hendrik, yang dikenal sebagai Willem II, jadi penguasa.
Spanyol Repot, Akhirnya Pilih Damai
Di masa Phillip IV, beban Spanyol semakin berat karena harus berperang dengan banyak negara. Tidak hanya dengan Belanda, tapi juga dengan Perancis dan Swedia. Jika dengan Belanda ada Perang delapan Puluh Tahun, maka dengan Perancis dan Swedia ada Perang Tiga Puluh Tahun. Belum lagi Spanyol harus bersaing dengan tetangga yang juga sesama imperium Eropa, Portugis. Di Maluku, Portugis adalah saingan Belanda.
Spanyol pun akhirnya berusaha mengurangi musuhnya. Spanyol pun pilih Belanda sebagai kawan, ketimbang Perancis yang sama-sama Katolik. Agama bukan lagi inti konflik antara kekuatan politik Eropa itu. Mengalahkan kekuatan berbahaya seperti Perancis lebih penting. Dalam hal ini Belanda bukan kekuatan menakutkan bagi Spanyol. Orang Belanda lebih berperasaan dan dapat dipercaya ketimbang Perancis. Tawar-menawar pun terjadi antara Belanda dengan Spanyol.
Akhirnya kesepakatan pun tercapai. Pada 30 Januari 1648, tepat hari ini 371 tahun lalu, seperti dicatat Laura Manzano Baena dalam Conflicting Words: The Peace Treaty of Münster (1648) and the Political and the Political Culture of the Dutch Republic and the Spanish Monarchy (2011), "para wakil dari provinsi-provinsi (Republik Belanda) dan Phillip IV, Raja Spanyol, menandatangani perjanjian damai yang disebut Perdamaian Munster, di Krameramthaus di Munster (hlm. 11).
Sejak itu, perang sepanjang delapan dasawarsa itu pun berakhir.
Meski kedaulatan itu tidak termasuk Belanda bagian selatan, perdamaian hanya butuh 3,5 bulan untuk diratifikasi. Ratifikasi tanggal 15 Mei 1648 diabadikan dalam lukisan Gerard ter Borch berjudul The Swearing of the Oath of the Treaty of Munster, 15 May 1648yang disimpan di Galeri Nasional London.
Perdamaian ini bukan hanya perkara Kerajaan Spanyol dengan Republik Belanda. Ini terkait juga dengan Spanyol yang Katolik terpaksa harus bertoleransi dengan penganut Protestan. Efek perdamaian ini tidak berlaku bagi penganut sekte-sekte.
Kawasan berpenganut Protestan tentu menyukai perdamaian ini. Penguasa agama merangkap dunia Eropa dari Abad Kegelapan juga tidak suka perdamaian ini. “Paus tidak menyetujui perdamaian Munster, yang mengaku hak-hak gereja reformasi atas kebebasan kepercayaan dan keyakinan. Banyak darah tertumpah, tetapi gunanya sedikit saja,” tulis Hendrikus Berkhof dalam Sejarah Gereja (2009: 195).
Setelah 1600, ketika banyak negara jadi kaya berkat rempah-rempah dari Timur dan Eropa memasuki zaman Renaisans, Paus tidak begitu didengar lagi oleh para raja di benua biru itu.
Penjajah yang Dijajah
Setelah Spanyol berdamai dengan Belanda, maka lawan besar Belanda di Nusantara adalah Portugis. Di kepulauan ini mereka berebut rempah-rempah dan telah banyak membuat kerajaan-kerajaan berperang.
Belanda masih berbentuk republik kala VOC berjaya di Nusantara. Belanda merasa benar-benar jadi kerajaan pada 1815, di zaman Willem alias Raja Willem I, yang masih terkait dengan keluarga Oranje Nassau.
Meski pernah merasakan perang 80 tahun melawan Spanyol, Belanda tergolong negara yang kurang senang berperang dengan kerajaan atau negara lain. Tak berurusan dengan Spanyol tentu membuat Belanda leluasa menghadapi Portugis. Belanda sendiri sukses membuat Portugis terpojok di Nusantara. Portugis hanya bisa berkuasa di Timor bagian timur.
Selain perang 80 tahun dengan Spanyol, perang terlama kerajaan Belanda justru dengan orang-orang kampung bersenjata golok di Nusantara. Perang Aceh, misalnya, terjadi selama tiga puluh tahun.
Meski sedang berjuang untuk merdeka, sebelum 1648 itu, Belanda masih dihitung oleh negara lain sebagai jajahan Spanyol. Dan terlihat betapa hinanya bangsa Indonesia, karena telah dijajah oleh negara yang sebenarnya masih dianggap jajahan Spanyol.
Editor: Ivan Aulia Ahsan