tirto.id - Yohanes Calvin segera tenar setelah ia menerbitkan buku Pengajaran tentang Agama Kristen atau Religionis Christianae Institutio (biasa disebut "Institutio") pada 1536. Buku itu berisi bahan ajar sederhana yang ditujukan bagi orang banyak, hampir seperti Katekismus Besar yang ditulis Martin Luther. Meski sederhana, Institutio menuai banyak penolakan. Di Paris, misalnya, ia disambut dengan pembakaran.
Sebelum pembakaran buku terjadi, Calvin sudah terlebih dulu melarikan diri dari tanah kelahirannya di Noyon, Perancis. Ia dipersekusi kalangan Katolik Roma lantaran menjadi pengikut Luther, orang yang menggerakkan Reformasi Gereja lewat 95 dalilnya. Meski tidak pernah bertemu langsung dengan Luther, Calvin mengagumi tulisan-tulisan pendeta dari Jerman itu.
Teolog Belanda Thomas Van Den End dalam Harta Dalam Bejana: Sejarah Gereja Ringkas (2001) menceritakan, Calvin melarikan diri ke Jenewa, Swiss. Di sana, ia bertemu dengan Farel, seorang pendeta yang mendukung Refomasi Gereja (hlm. 187).
“Tatkala pendeta setempat, Farel, mendengar Calvin berada di kota itu, segera ia pergi ke tempat penginapan, lalu mendesak Calvin supaya tinggal di Jenewa dan membantu dia dalam pekerjaan. Kota itu baru saja memilih pihak reformasi dan banyak penduduk yang bandel terhadap tuntutan Injil mengenai Kristen,” tulis Thomas.
Setelah dibujuk, Calvin akhirnya bersedia tinggal. Ia pun mulai menerapkan teokrasi pada jemaat di sana. Warga diwajibkan ikut mendengarkan firman Allah dan perjamuan kudus. Jika ada yang tidak menerima ajaran gereja, akan diusir dari kota.
Sayangnya, jemaat belum siap. Penerapan teokrasi justru menimbulkan perpecahan dan bentrokan. Karena kekacauan itu, pemerintah kota pun melarang Farel dan Calvin naik mimbar. Bahkan, Calvin diusir dari Jenewa.
Pengusiran itu justru membuat Calvin makin giat. Pada 1541, ia kembali ke Jenewa dan mulai menulis buku lagi. Saat itulah ia menyusun undang-undang gerejawi dan membuat sistem presbiterial di mana fungsi penatua dan diaken diberlakukan lagi. Penatua dan diaken pun dipilih dari jemaat yang sudah dewasa. Pengaruh gagasan Calvin ini makin meluas setelah Universitas Jenewa didirikan pada 1559.
“Dengan demikian lahirlah pula gereja-gereja Calvinis di luar Swis. Di Perancis, Belanda, Skotlandia, Jerman Barat, dan Hongaria,” tulis Thomas (hlm. 192).
Situasi ini membuat Katolik Roma gerah. Untuk menyerang gerakan Reformasi Gereja yang makin membesar, gereja Katolik membuat ordo Serikat Jesuit. Tugas ordo ini adalah menyatukan semua gereja di dunia di dalam satu gereja, yakni gereja Katolik.
Masih dalam buku yang sama, Thomas mengatakan, salah satu cara gereja Katolik dalam menghambat gerakan Reformasi adalah mendirikan sekolah-sekolah yang bermutu untuk menarik murid-murid Protestan bergabung. Tidak hanya itu, para paderi Katolik juga didorong menjadi pembimbing rohani raja-raja. Dengan demikian, mereka bisa memengaruhi para penguasa guna memerangi gerakan Reformasi.
Gagalnya Upaya Mempersatukan
Konflik berkepanjangan ini sebenarnya pernah dicoba didamaikan lewat Konsili Trento pada Desember 1563. Sayangnya, upaya ini gagal. Gereja Katolik tidak mengakomodasi kritik-kritik yang disampaikan kelompok Reformasi.
Misalnya kritik soal indulgensia atau surat penghapusan dosa yang dilayangkan Luther. Alih-alih menghapusnya, para pemimpin umat di Konsili Trento tetap mempertahankannya, meski kemudian ditambahi aturan tertentu.
Antonius Eddy Kristiyanto OFM, profesor sejarah gereja di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta, dalam bukunya Reformasi Dari Dalam: Sejarah Gereja Modern (2004), menuliskan bahwa gereja Katolik sama sekali tidak goyang dengan ulah Luther dan kawan-kawannya. Gereja Katolik tetap tidak bisa menerima gerakan Reformasi sebagai bagian dari mereka.
“Konsili Trento dimaksudkan terutama untuk menghukum dan mengutuk kesalahan-kesalahan dasariah yang dianggap sebagai para 'bidah' zaman itu (Tegasnya gerakan pembaruan keagamaan di bawah patung Protestantisme), dan untuk mengajarkan doktrin yang benar dan Katolik,” tulis Eddy.