Menuju konten utama

Kristenitas di Timur Tengah

Hanya karena berbahasa Arab, orang Indonesia cepat menilai semua negara di Arab itu pastilah beragama Islam. Realitasnya lain. Sebagaimana ada banyak penganut Kristen berbasis etnis di Indonesia.

Kristenitas di Timur Tengah
Warga kristen Iraq saat melaksanakan Misa Natal di Baghdad. REUTERS/Ahmed Malik

tirto.id - Januari 2015, Uskup Agung dari Kristen Ortodoks di Palestina, Sebastia Theodosios mengungkapkan kepada wartawan senior Nadezhda Kevorkova mengenai bagaimana penderitaan orang-orang Kristen Palestina serta persatuan mereka dengan umat muslim dalam perjuangan kebangsaan Palestina. Apa yang menjadi menarik adalah sang Uskup ini ditempatkan di Yerusalem, sementara uskup lain dari Patriarkat Yerusalem adalah orang Yunani. Lebih lagi ia orang Palestina kedua yang memegang jabatan Uskup Agung dalam sejarah keuskupan Gereja Ortodoks.

Karena ia orang Palestina, ia menjadi tidak istimewa di hadapan pemerintah Israel. Pihak berwenang Israel telah menahan beberapa kali, atau menghentikannya di perbatasan, dan bahkan membawa pergi paspornya. Jika di bandara, para pendeta-pendeta di Yerusalem yang bukan orang Palestina boleh memasuki gerbang privilese super penting, ia sampai kehilangan kesempatan tersebut hanya karena identitas kebangsaannya.

“Bagi pemerintah Israel, saya dipandang bukan Uskup, melainkan Palestina” ujarnya.

Kata-kata yang umumnya didengar dari seorang muslim seperti “Alhamdulillah, Insya Allah, Masya Allah” dan banyak lagi, tentu amat fasih terucap, karena ia berbicara dalam bahasa Arab; dan bahasa Arab untuk Tuhan adalah Allah, tidak peduli apakah kita seorang Kristen maupun Islam.

Satu kenyataan: di tanah Palestina, yang didominasi Arab-muslim, bermukim pula penduduk yang tak hanya Kristen tapi juga loyal terhadap kebangsaan Palestina.

Orang-orang Kristen bukan hanya di Palestina. Negara-negara Timur Tengah lain juga memiliki komunitas Kristen yang bahkan berakar dari kemunculan Kristenitas awal hingga penyebarannya. Dalam catatan Walid Phares tentang Pengantar Kristen Arab menulis bahwa jejak kekristenan sebelum invasi Islam dapat dilihat dari eksistensi kaum Kristen seperti Koptik di Mesir, Asyur-Kasdim di Mesopotamia, Nubian Afrika di Sudan, Armenia di Asia Kecil, Fenisia (Aram, Kanaan, Amori) di Suriah, dan Lebanon.

Perubahan lanskap geopolitik dan menyentuh ranah keagamaan berubah secara dramatis pada abad ke -7 ketika para tentara Islam Arab menerapkan standar “Arabisasi dan Islamisasi” terhadap masyarakat yang ditaklukkan. Mayoritas penduduk Mesopotamia, Suriah, Mesir, dan Nubia bergeser menjadi Arab-muslim. Angka-angka bangsa pra-Arab asli praktis menjadi berkurang dan ditekan secara politik.

Menurut data yang dihimpun BBC mengenai penduduk Kristen di Timur Tengah pada 2011, diurutkan dari persentase terbesar, Lebanon memuncaki jumlah penduduk Kristen terbanyak dengan rentang 31- 35 persen dari keseluruhan total populasi, atau 1,35-1,5 juta orang. Dari rilis pemerintah Lebanon, penganut Katolik Maronit sebesar 21 persen, disusul Ortodoks Yunani (8 persen), Katolik Yunani (5 persen), dan denominasi Kristen lain (6,5 persen).

Mesir memiliki persentase umat Kristen tertinggi kedua berikutnya, yakni 10,5 persen dari total populasi (sekira 8,9 juta), masing-masing Ortodoks Koptik (95 persen), Ortodoks Yunani (0,5 persen), Katolik Koptik (0,3 persen), dan denominasi kecil serta komunitas Kristen Protestan lain.

Jumlah ketiga ditempati Suriah, yang mengalami situasi perang sejak Maret 2011. Umat Kristen di sana berjumlah sekitar 4,4-10,2 persen dari total populasi (atau sekira 1-2,3 juta), dengan mayoritas Katolik Yunani dan Ortodoks Suriah. Negeri yang kini jadi medan perang itu pernah melahirkan setidaknya tujuh Paus termasuk Simon Petrus, atau dalam Gereja Katolik disebut Santo Petrus, salah satu dari 12 murid Yesus yang lahir di daerah Golan. Dampak perang yang melanda Suriah telah menyusutkan jumlah penganut Kristen. Laporan dari Assyrian International News Agency mengklaim, populasi Kristen tinggal 500.000 orang, yang umumnya akibat perlakuan dari ISIS dan para pemberontak seperti Al-Nusra.

Yordania memiliki persentase umat Kristen sebesar 2,8-6 persen dari total populasi, atau 174.000-390.000 jiwa, dengan mayoritas berafiliasi Gereja Katolik dan Ortodoks Yunani. Situs-situs penting nan suci umat Kristen yang tertuang dalam Injil juga terdapat di sini, seperti Al-Maghdas, pinggiran dari Sungai Yordan, lokasi tempat Yesus berjumpa dengan Yohanes Pembaptis.

Irak memiliki populasi umat Kristen sekitar 490.000, atau 1,3-2,5 persen dari total populasi. Mereka umumnya menjalani ritus Ortodoks Suriah, bersama dengan etnis Asyur yang menginduk Gereja Asiria.

Sementara Iran memiliki populasi umat Kristen sekira 200.000-270.000, atau 0,35 persen dari total penduduk. Mayoritas tergabung dalam Gereja Armenia, Gereja Asiria, Kaldean, Katolik Roma, dan denominasi kecil lain.

Infografik HL Kristen di Timur Tengah

Pribumisasi Kristen

Bilamana ada istilah pribumisasi Islam, atau gereja etnis di Indonesia seperti Huria Kristen Batak Protestan, begitu pula di negara-negara Timur Tengah.

Sejarawan Hirmis Aboona dalam Assyrians, Kurds, and Ottomans (2008) menjelaskan bahwa etnis Asyur membentuk mayoritas Kristen di wilayah Irak, Timur Laut Suriah, Tenggara Turki, dan Barat Laut Iran. Mereka menggunakan dialek Aram yang masih serumpun dengan bahasa Arab, selain berbicara dalam bahasa Arab sendiri, plus dialek Turki, dan Persia.

Sementara orang-orang Kristen di Mesir mengidentifikasikan dirinya sebagai Koptik, agama lokal Mesir setidaknya sejak abad ke-4 hingga abad ke-6. Bahasa khas Koptik dipakai dan diwariskan turun-temurun sejak era Romawi menguasai Mesir.

Di Lebanon, Maronit adalah bentuk identitas penduduk asli, yang lantas menganut Kristen dan membentuk komunitasnya berlatar etnis. Asher Kaufman, profesor kajian sejarah dan perdamaian Timur Tengah, dalam Reviving Phoenicia (2004) yang melacak identitas bangsa Lebanon, mencatat bahwa nasionalis Lebanon bahkan menolak dikategorikan sebagai Arab, dan penolakan demikian didukung kuat oleh Kristen Maronit dan Kristen Ortodoks lain. Sebagai gantinya, mereka lebih memakai semangat bangsa Fenisia meski tak pernah berkembang sebagai ideologi yang kokoh.

Kristen di Suriah sendiri, terutama para penganut Ortodoks Suriah dan Gereja Katolik Suriah, masih mematuhi identitas orang Aram, merujuk wilayah yang saat ini sebagian besar tercakup dalam negara Suriah. Dialek mereka saat ini sudah memakai bahasa Arab meski masih menyisakan tradisi penutur bahasa Aram kuno sebagaimana orang Asyur.

Tanah Suriah agaknya juga punya tingkat keragaman etnis yang kompleks, tetapi secara gampangan dipukul rata berlandaskan penutur bahasa Arab. Antoun Saadeh—filsuf Lebanon, penulis, politikus dan seorang Ortodoks Yunani—menolak terang-terangan sebuah gagasan bahwa bahasa dan agama menjadi alasan pemersatu wilayah, yang merujuk pada nasionalisme Arab dan Pan-Islamisme. Sebaliknya ia melihat bahwa suatu bangsa memiliki ciri khasnya sendiri yang mendiami suatu wilayah geografis tertentu khususnya di Suriah. Dalam penelusurannya, Suriah terbagi ke dalam beberapa entitas seperti Fenisia, Kanaan, Asyur, Babilonia, dan lain-lain, dan mereka masih bertahan dalam bentuk komunitas-komunitas Kristen.

Bagaimanapun, kehadiran Tentara Negara Irak dan Syam di Suriah telah memperburuk eksistensi komunitas Kristen di kedua negara tersebut. Laporan The New York Times medio 2015, misalnya, menggambarkan keadaan penduduk minoritas agama di bawah kendali ISIS, yang memaksa penganut Kristen minoritas untuk berpindah keyakinan atau, kalau menolak, harus membayar jizyah atau upeti—praktik yang telah dihapuskan sejak Khalifah Umar. Persekusi macam itu dibebankan juga kepada penganut minoritas lain seperti Zoroaster dan Yahudi.

Di bawah ancaman, dan dalam situasi perang, kaum minoritas etnis dan agama selalu paling awal yang jadi korban. Dalam contoh wilayah-wilayah yang diduduki oleh ISIS, komunitas minoritas ini menghadapi pembunuhan, perkosaan, perbudakaan, dan perampasan.

Baca juga artikel terkait NATAL 2016 atau tulisan lainnya dari Tony Firman

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Tony Firman
Penulis: Tony Firman
Editor: Fahri Salam