tirto.id - Tiada kebahagiaan di Gaza saat invasi Israel tahun 2014. Tangisan, duka, kehilangan, kerusakan, kehancuran, dan kematian menyatu dalam rutinitas mencolok. Tapi di tempat yang sama pula harapan bisa lahir dari perihal paling mustahil. Di antara puing-puing itu, di malam menjelang Natal, orang-orang yang berkostum Santa Claus bermunculan di pelosok Jalur Gaza. Mereka membawa mainan, memberikan seikat keriangan bagi anak-anak di pengungsian.
Wartawan kelahiran Belanda-Palestina Mohammed Omer mengisahkan bahwa para Santa Claus membagikan mainan di antara reruntuhan rumah, jalan yang rusak dan kota yang hancur di distrik Shejaiya. Santa membawa lonceng, dan tiap kali ia lewat, bebunyian nyaring terdengar, memanggil anak-anak berkumpul—tanpa peduli soal agama dan segala urusan orang dewasa yang bikin para bocah menderita. Di wilayah seluas 6 km² yang ditempati 92 ribu jiwa itu, di salah satu titik pengungsian, anak-anak yang bertahan hidup dari perang dapat tersenyum usai mendapatkan mainan.
Distrik Shejaiya adalah daerah paling buruk terpapar serangan pada 2014 itu, nyaris tak ada umat Kristen, dan para Santa Claus datang ke kawasan timur Kota Gaza itu untuk mengirimkan pesan dan harapan bagi warga muslim, khususnya anak-anak, mengenai nilai penting berbagi dan saling menguatkan.
“Semua orang dikepung di kota ini, umat Kristen dan Islam, nyawa kami dan makam keluarga kami dibombardir selama perang,” kata Santa Claus itu.
Kisah itu mengungkap banyak lapisan menarik dari cerita yang tak banyak diketahui tentang relasi pemeluk Kristen dan Islam di Gaza. Misalnya sejak 2004 warga Islam dan Kristen Palestina rutin menabung 50 NIS (Israeli shekels)—mata uang yang dipakai dalam transaksi legal di Tepi Barat dan Jalur Gaza—atau setara Rp100 ribu setiap bulan untuk digunakan saban September sebagai perayaan khusus. Pada 2014, seluruh uang yang disimpan sepanjang tahun dipakai untuk membeli buku dan paket sekolah bagi anak-anak jalanan yang mulai sekolah pada September.
“Kami tak banyak berbagi pada Natal kali ini, tetapi kami bisa berbagi cinta dan perdamaian dengan saudara muslim kami,” kata para Santa Claus itu, yang mengelilingi dan menceriakan Gaza.
Kebahagiaan itu menular. Anak-anak yang semula murung, bangkit gembira dengan kedatangan orang-orang berkostum merah berstrip putih berjanggut buatan itu.
“Baba Noel (Bapak Natal) datang ke sini untuk mereka yang miskin, terluka, dan mereka yang menderita karena perang. Aku datang hari ini untuk bersalaman dengan semuanya,” kata salah satu Santa.
Pada Agustus 2014, menurut badan PBB untuk perlindungan anak, sekitar 370.000 anak di Jalur Gaza membutuhkan pemulihan jiwa usai serangan 51 hari itu. Invasi itu menewaskan 2.200 warga Palestina dan melukai 11.000 orang, sebagian besar adalah anak-anak. Dalam pekan Natal tahun itu, sekitar 1.500 umat Kristen di mana 85 persennya penganut Ortodoks Yunani merayakan Natal di empat gereja utama. Tetapi, akibat perang dan invasi, situasi dramatis menyulitkan mereka. Kematian, duka, kesedihan, dan ketakutan menyelimuti seluruh Gaza, baik muslim maupun umat Kristen.
Ibrahim Jahshan, warga Kristen Gaza, mengatakan ia tak lagi merayakan Natal di jalanan Gaza seperti biasanya, melainkan hanya di gereja dan memasang pohon Natal di rumah. “Kami tak mungkin merayakan Natal saat saudara muslim kami menderita,” tuturnya.
Seruan itu tidak hanya berasal dari rakyat Gaza tapi juga dari Uskup Agung Yerusalem Fouad Twal yang mengunjungi sebuah kota muram itu usai serangan Israel. Menurutnya, Natal adalah peristiwa suci; ia adalah perayaan perdamaian dan cinta. “Perdamaian datang bersama keadilan, tak ada perdamaian yang berasal dari perseteruan,” seru Twal.
Kota itu, tempat beragam dimensi keimanan mekar, tetap berusaha menunjukkan semangat dan hidup kendati habis-habisan digempur oleh militer Israel. Toko-toko setempat masih menjaga tradisi lama, memasang pohon Natal dan menjajakan hadiah Natal bagi mereka yang merayakan.
Jahshan, yang juga penjaga toko di Remal, tiga kilometer dari jantung kota, mengatakan bahwa tradisi Natal di Palestina punya nilai tersendiri. Meski dikepung oleh perang dan blokade militer, sebagai umat Kristen di Palestina, dia bisa menikmati hidup dan tak pernah mengalami segala bentuk penindasan dari sesama warga Palestina.
“Kami disatukan oleh satu bangsa, satu tanah air, dan satu darah,” kata Jahshan, “Saat perang berkecamuk di musim panas, baik umat Kristen maupun muslim, pergi ke rumah sakit untuk mendonorkan darah.”
Natal pada 2014 memang menjadi momen duka tapi juga menjadi bukti bahwa keimanan tak membuat manusia saling membenci. Ratusan keluarga muslim ambil bagian dalam prosesi pemakaman Jalila Ayyad, perempuan sepuh Kristen yang terbunuh saat serangan udara Israel menghancurkan rumahnya di Gaza. Momen haru itu kian menampakkan relevansinya tatkala seluruh warga bersiap merayakan Natal.
Dalam sebuah wawancara, Fariz Mehdawi, mantan duta besar Palestina untuk Indonesia, berbicara tentang relasi antar-umat beragama di Palestina. Di Palestina, saat Natal, orang yang datang ke sana bakal mengira penduduknya mayoritas Kristen, sebab semua merayakan dengan meriah, ujar Mehdawi. Sebaliknya, saat Idul Fitri, orang akan mengira semua warga Palestina adalah muslim.
Menurut Mehdawi, di Palestina, kristenitas bukanlah agama impor. Kekristenan lahir di Palestina. Yesus lahir di Betlehem, dan banyak kejadian yang tercatat di Injil berlatar Palestina. Para penganut Kristen kali mula adalah orang-orang Palestina. Orang Kristen Palestina punya nenek moyang yang bisa jadi adalah orang-orang yang pernah bertatap muka dengan Yesus. Jadi, kekristenan adalah agama asli di Palestina.
“Namun, lebih dari itu, perjuangan kami adalah perjuangan sebuah bangsa yang dijajah negara lain. Ini yang membuat perbedaan keyakinan bukan masalah, karena mereka memiliki musuh yang sama, yaitu penjajah Palestina,” ujar Mehdawi, yang tinggal di Indonesia selama enam tahun.
Disatukan Penderitaan
Di Gaza, penindasan tak mengenal agama dan keyakinan. Penganut Kristen dam Islam merasakan penderitaan yang sama.
Usai serbuan Israel tahun 2014 itu, hanya ada 857 umat Kristen yang diperbolehkan masuk Betlehem dan Yerusalem. Itu sekitar 66 persen dari total umat Kristen di Gaza, dan 130-nya adalah umat Katolik.
Ahmad Al-Sayed menulis sudut pandang berbeda tentang Natal di Gaza. Setiap umat Kristen di Gaza bebas merayakan Natal. Namun, jika mereka hendak mengunjungi kerabat di Tepi Barat, untuk menghadiri perayaan atau misa Natal di Gereja Kelahiran Yesus Betlehem atau Gereja Makam Kudus di Yerusalem, mereka mesti menghadapi lapisan rumit birokrasi dari pihak otoritas Israel. Kebanyakan umat Kristen di Gaza dilarang memasuki daerah Betlehem dan Yerusalem karena alasan keamanan.
“Di sini, kami hidup bersama dalam persahabatan. Masalah kami hanyalah pendudukan, penyerbuan, dan blokade Israel,” tutur Salama Saba, perempuan Katolik dari Gaza berusia 64 tahun, yang tinggal di lingkungan Sheikh Radwan, tiga kilometer barat laut dari pusat kota.
Laporan itu mengisahkan penderitaan Saba yang harus kehilangan anak dan rumahnya saat Israel menyerang Gaza menjelang pergantian tahun 2008. Saat itu Israel menuduh rumahnya digunakan sebagai gudang senjata Hamas, sebuah organisasi politik di Palestina yang memakai jalur demokrasi tak segan menggunakan alat kekerasan. Serangan berdurasi 22 hari bernama Operasi Cast Lead itu menewaskan 1.500 orang Palestina dan melukai 5.000 jiwa.
Saba menyesalkan fakta bahwa banyak orang Kristen di Gaza merasa tak mungkin mengunjungi kerabat di Tepi Barat saat Natal. Otoritas Israel sangat membatasi kedatangan orang-orang Palestina di Gaza untuk mengunjungi Yerusalem atau Betlehem selama liburan. Pada 2015, Israel hanya mengeluarkan izin bagi 700 umat Kristen Gaza untuk memasuki Tepi Barat saat Natal. Izin itu pun sangat dibatasi dalam segi usia: penduduk Kristen berumur 16-36 tahun dilarang meninggalkan Gaza.
Kebencian terhadap umat Kristen di Palestina justru berasal dari kelompok Yahudi sayap kanan. Benzion Gopstein, pemimpin Benzi, kelompok konservatif Yahudi di Israel, menyebut bahwa Natal tak punya tempat di tanah suci, baik di Betlehem maupun Yerusalem. Menurutnya, umat Kristen adalah “vampir dan pengisap darah” yang mesti diusir dari Israel. Gopstein menyebut bahwa gereja-gereja Kristen sebagai musuh utama orang Yahudi selama ratusan tahun. Dia kerapkali secara terbuka menganjurkan kekerasan dan pembakaran gereja di Israel.
Laporan reporter politik Benjamin Norton menyebut bahwa tindakan kebencian Gopstein disokong oleh pemerintah. Gerakan fasis berlabel agama oleh kelompok Gopstein telah merusak sekolah-sekolah Arab di Israel. Gerakan vigilante ini—main hakim sendiri, preman yang didukung kekuatan negara—hampir serupa dengan sentimen anti-Tionghoa maupun kekerasan terhadap minoritas agama di Indonesia. Seperti halnya di Indonesia, tak ada seorang pun anggota Gopstein yang dituntut pidana dengan tuduhan melakukan seruan kebencian.
Sebagian besar penganut Kristen di Gaza pada 2015 berjumlah kurang dari 1.200 jiwa, tinggal di daerah tua di dekat Kamp Al-Shati, sebuah kamp pengungsi Palestina di utara Tepi Gaza sepanjang Laut Mediterania. Mayoritas umat Kristen di Gaza bermazhab Ortodoks Yunani, Katolik, Baptis, dan Anglikan. Meski minoritas di Gaza, umat Kristen membuktikan komitmen persatuan dengan jalan yang mengagumkan. Saat serangan udara Israel menghancurkan masjid-masjid umat Islam, merekalah yang paling awal menawarkan perlindungan dan tempat ibadah bagi umat Islam di Gaza.
Tahun lalu Matthew Vickery mengisahkan perayaan Natal di Gaza. Ia menyebut bahwa meski jadi tawanan blokade dan serangan dan penyerbuan, umat Kristen di Gaza tetap tabah. Mereka menolak tunduk dan menolak lari dari kota itu. Solidaritas antara umat Kristen dan muslim semakin erat. Michael Tarazi, jemaah Gereja Santo Porphyrius, mengatakan bahwa perayaan Natal merupakan momen penting tahunan baginya dan keluarga. Natal memberikan kekuatan di saat yang sulit.
“Tapi kami tak akan pernah melupakan situasi di Gaza. Semua orang di sini—Kristen, muslim, muda, tua, semuanya—menderita karena blokade Israel,” tuturnya.
Gambaran tentang harapan sebuah kota di tengah koyak-moyak penindasan dan pendudukan bertahun-tahun ini, yang membunuh sanak-famili, menghancurkan rumah, melumatkan masa kecil dan ingatan, pulang dan sececap bahagia, bisa kita tengok dalam sebait sajak dari Mahmoud Darwish, penyair nasional Palestina, yang menggambarkan dengan muram tapi juga enggan menyerah tentang negerinya:
Di lereng bukit-bukit ini, menghadap
pergantian hari dan bedil waktu,
bersebelahan dengan taman bagi
bayang-bayang tak utuh,
seperti orang-orang yang terpenjara
dan seperti mereka yang tak bekerja
kita menanam harapan.
Penulis: Arman Dhani
Editor: Fahri Salam