tirto.id - Setelah Saddam Hussein tumbang, Radio Kenangan mengudara di Irak. Ia tak menyiarkan berita atau lagu-lagu sebagaimana stasiun radio pada umumnya, melainkan laporan-laporan dokumenter dan program-program lain yang berkaitan dengan masa lalu negeri tersebut.
Salah satu program unggulan Radio Kenangan adalah "Cerita Mereka dalam Suara Mereka Sendiri". Konsep acaranya sederhana: orang-orang diminta datang ke stasiun dan mengisahkan pengalaman mereka yang paling ganjil, menakjubkan, seram, atau menggiriskan semasa pemerintahan Pak Brewok. Tiga penutur cerita terbaik, yang ditentukan berdasarkan pilihan pendengar, berhak memperoleh hadiah. Ratusan orang rela datang dari pelbagai pelosok Irak dan mengantre berjam-jam demi ambil bagian dalam setiap episode acara itu.
Suatu ketika, ada perempuan muda mengisahkan bagaimana suaminya, yang merupakan opsir polisi, dipenjarakan selama bertahun-tahun oleh kelompok Islam garis keras. Begitu musim bunuh-membunuh dimulai, katanya, kelompok itu memulangkan tubuh sang suami dalam keadaan membusuk dan tanpa kepala.
Orang-orang yang mengantre kasak-kusuk usai kisah itu dituturkan. Mereka berbicara bersamaan dan menghasilkan bunyi berdengung seperti sekawanan lebah. Yang mengejutkan, mereka berbuat demikian karena menganggap cerita perempuan itu biasa-biasa saja.
"Yaelah, begitu doang?" teriak seorang nenek sambil melambai-lambaikan tangannya minta perhatian. "Kalau aku menuturkan ceritaku kepada sebongkah batu, kujamin hati batu itu bakal remuk."
Demikianlah pembukaan cerita pendek Hassan Blasim, “The Song of the Goats”, yang termuat dalam buku The Corpse Exhibition. Di dunia berbahasa Inggris, terjemahan buku itu secara luas dianggap sebagai karya sastra penting (major literary work) pertama tentang Perang Irak dari perspektif orang Irak. Secara keseluruhan, ia menampilkan pelbagai wujud teror, duka, dan kegilaan yang diternakkan oleh perang.
Blasim, yang pernah dipuji The Guardian sebagai “(mungkin) pengarang berbahasa Arab terbaik yang masih hidup”, tidak melebih-lebihkan keadaan. Kisah-kisah yang sanggup membuat batu menangis bukan hanya ada, melainkan berlimpah, di negerinya dan negeri-negeri lain yang dikoyak perang.
Di situs Iraqi Refugee Stories, misalnya, kita dapat menonton video-video tuturan langsung para pengungsi Irak. Ada kisah dua bocah yang diculik dalam perjalanan mereka menuju sekolah dan disekap selama dua pekan, kisah seorang pria yang menjadi setengah buta setelah membolak-balik 350 mayat demi mencari tubuh ayahnya, kisah keluarga beranggota tujuh orang yang telantar di perbatasan Irak-Yordania selama empat tahun, dan sebagainya.
“Mereka menyiksa ayahku dan membakarnya hidup-hidup, menyiraminya dengan asam sampai kepalanya kerowak, menyeretnya dengan mobil … mereka bahkan ingin menembaknya, tetapi ia keburu mati,” ujar Hind, seorang gadis Irak yang kini mengungsi di Amman, Yordania, sambil sesekali mengelap airmata. Kini, sekalipun orang-orang yang membunuh ayahnya sudah tak berkuasa, ia masih kerap pingsan tiba-tiba, dan keluarganya terpaksa mengawasi secara ketat sejak ia mencoba membunuh diri beberapa waktu silam.
“Buat apa lagi hidup?” katanya. “Aku kehilangan masa depanku begitu Ayah meninggal.”
Hind jelas tidak sendirian.
Pada 2008, Iraq’s Independent Institute for Administration and Civil Society Studies mencatat bahwa 1,03 juta orang terbunuh selama Perang Irak, dan 20 persen keluarga yang menjadi respondennya mengaku telah kehilangan sekurangnya satu anggota.
Data lain yang dikeluarkan pemerintah Irak mencatat sekitar 4,5 juta anak-anak, atau satu dari tiga orang anak di negeri itu, telah menjadi yatim atau yatim-piatu. Jumlah pekerja di bawah umur (berusia 5 hingga 14 tahun) meningkat jadi 800 ribu orang, dan sekitar 600 ribu anak hidup menggelandang di jalanan.
Dalam rentang 2003 hingga 2013, dua juta anak terpaksa mengungsi dari rumahnya masing-masing, dan 93,5 ribu di antaranya dinyatakan hilang karena tindak kekerasan, penculikan, atau perekrutan paksa oleh kelompok-kelompok bersenjata.
Kini, ketika situasi kawasan itu telah jadi semakin parah, angka-angka itu tentu membengkak. Pada 2015, misalnya, UNICEF melaporkan ada 14 juta anak yang sengsara akibat perang di Irak dan Suriah. Mereka mengidap pelbagai penyakit, kehilangan akses terhadap pendidikan, gizi, serta sanitasi, dan tergulung dalam lingkaran kekerasan yang agaknya tak punya ujung.
Andai seseorang merekam satu cerita dari setiap anak itu, masing-masing selama tujuh menit saja, ia akan memperoleh 98 juta menit atau 1,63 juta jam penderitaan murni. Itu jauh lebih panjang ketimbang pedoman apa pun yang pernah diciptakan manusia. Durasi seluruh lagu The Beatles cuma 620 menit alias 10 jam dan rekaman Alkitab yang dibuat oleh Alexander Scourby pada 1970an cuma 72 jam.
Sementara itu, di kejauhan, termasuk di Indonesia, banyak orang membicarakan nasib anak-anak Suriah dan Irak dalam satu embusan napas dengan pernyataan dukungan terhadap salah satu pihak yang menciptakan “Neraka di Bumi” tersebut, entah itu kelompok IS, pasukan Turki atau Rusia dan Iran, pemerintah resmi Syria, atau yang lainnya. Mereka bisa dengan lempang berdebat, memperjuangkan “analisis” dan kesimpulan masing-masing, sembari memandangi gambar mayat anak-anak dan gambar anak-anak yang hampir jadi mayat—seperti serombongan dubuk atau burung pemakan bangkai.
Sekitar setahun lalu, di Raqqa, Suriah utara, seorang perempuan dimutilasi Brigade al-Khansaa, milisi khusus perempuan bikinan IS, hanya karena ia menyusui bayi di balik burkanya. Dan Oktober lalu, seorang bayi berumur dua bulan ditikam ibu kandungnya yang frustrasi menjalani hidup di Aleppo.
Hanaa Singer, aktivis kemanusiaan yang kini bertugas sebagai duta UNICEF untuk Suriah, mengatakan kepada Mirror bahwa sedikitnya 80 persen anak-anak di Aleppo telah mengalami atau menyaksikan kekerasan.
“Kami mengunjungi satu sekolah dan salah seorang anak di sana menceritakan bagaimana peluru mortar meledakkan tetangganya sewaktu ia menimba air sumur. Anak itu sendiri terluka, kepalanya terkena serpihan logam, dan ia menyaksikan seluruh rincian peristiwa mengerikan itu,” ujar Singer.
Sepanjang sejarah dunia, tidak pernah ada perang yang diciptakan oleh anak-anak. Ia selalu merupakan urusan orang dewasa, demi keuntungan orang dewasa, tetapi senantiasa melukai anak-anak. Sudah begitu, kadang, ketika situasi sudah jadi kelewat kacau dan orang dewasa tak tahu lagi apa yang bisa mereka lakukan buat memperbaikinya, anak-anaklah yang turun tangan.
Ratusan tahun sebelum Malala Yousafzai menulis di BBC Urdu tentang kehidupannya di bawah kuasa Taliban dan membetot perhatian dunia, pada awal abad ketigabelas, 12 hingga 30 ribu anak Eropa memutuskan untuk menghentikan Perang Salib.
Cara berpikir mereka sederhana: andai orang-orang Islam di kawasan itu berhasil dibujuk menjadi pemeluk Kristen, perang akan kehilangan alasannya. Maka, dipimpin oleh seorang bocah (yang berasal dari Jerman atau Prancis), anak-anak itu pun berangkat ke selatan menuju Laut Mediterania.
Di sana mereka berjumpa dua saudagar, Hugh the Iron dan William dari Posqueres, yang menawarkan tumpangan kapal gratis. Dan lewat tangan kedua saudagar itulah, sekali lagi, anak-anak menjadi korban kejahatan orang dewasa. Hugh dan William berkhianat dan menjual mereka sebagai budak di Tunisia.
“Bukan Tuhan yang membunuh anak-anak. Bukan pula nasib atau takdir yang mencincang dan menjadikan mereka makanan anjing. Kitalah yang melakukannya. Hanya kita,” kata Rorschach alias Walter Kovacs dalam novel grafis Watchmen karya Alan Moore.
Kebenaran kata-kata itu agaknya akan terus bergema sampai manusia tak ada lagi.
Penulis: Dea Anugrah
Editor: Zen RS