Menuju konten utama

Kiprah Kelompok Kristen dalam Pembebasan Palestina

Palestina diperjuangkan oleh rupa-rupa kelompok ideologi dan agama. Di antara mereka ada para pejuang Kristen, dari pendukung solusi dua-negara sampai yang hanya sudi solusi satu-negara. Dari mulai yang moderat sampai yang militan dan disebut teroris.

Kiprah Kelompok Kristen dalam Pembebasan Palestina
Umat Kristen Palestina melaksanakan ibadah misa Natal di Gereja St. George Melkite di desa Tepi Barat, Kota Jenin. AP Photo/Mohammed Ballas

tirto.id - Sekitar 10 kilometer selatan Yerusalem, kota tua Betlehem berdiri di Tepi Barat bagian wilayah Palestina. Jejak-jejak peradaban masa lalu di kota ini masih terlihat hingga kini.

Salah satu yang paling ikonik adalah kompleks gereja Nativity yang dibangun pada 327 Masehi oleh Ratu Helena dari Konstantin Agung. Bangunan gereja ini sekaligus memayungi beberapa lokasi bersejarah dari napak tilas kehidupan Yesus.

Pada Desember 2015 kemarin, persiapan Natal di Betlehem salah satunya menampilkan drama narasi kisah kelahiran Yesus Kristus. BBC mewawancarai para pemeran drama ihwal harapan dan ketakutan mereka terkait situasi mendatang.

Kamal Nabaheen, seorang penggembala domba yang secara sengaja memerankan karakter penggembala mengeluhkan kegiatan menggembala sehari-harinya yang jauh lebih sulit karena kurangnya lahan terbuka. Nabaheen, seorang muslim, mengatakan pemukiman Yahudi diperluas sampai mendekati wilayahnya. Jika ditilik dari hukum internasional ini ilegal, namun Israel tidak peduli dan jalan terus.

Mary Anastas, yang dalam kesehariannya menjual patung dari pahatan batu karya suaminya memerankan sosok Perawan Maria di tokonya, khawatir soal keselamatan anak-anaknya. Terutama yang sedang kuliah di Universitas Birzeit, utara Ramallah. Para pemuda Palestina masih secara teratur bergabung melakukan protes dan berkonfrontasi langsung dengan tentara Israel.

Bayangan tentang perayaan Natal di Betlehem barangkali ganjil bagi mereka yang tak tahu bahwa Palestina sejak dulu terdiri dari banyak warna religiusitas, termasuk komunitas Kristen. Sekarang, mayoritas kota penduduk Betlehem adalah muslim, tapi masih menyisakan rumah-rumah bagi komunitas Kristen Palestina.

Terkait pendudukan Israel atas Palestina, ada catatan sejarah menarik ditulis Brandon Moist dari Shippensburg University of Pennsylvania untuk Journal History. Di hari-hari sesudah Perang Arab Israel 1948, dalam sebuah puisi berjudul “The Story”, seorang Arab Palestina bercerita singkat tentang kandasnya mimpi orang Palestina yang menginginkan negara sendiri berbuah kekalahan, hari yang kemudian dinamai Nakba.

Puisi ratapan tersebut ditulis oleh Kemal Nasser, seorang Kristen Palestina yang mewakili beberapa persen dari populasi mayoritas muslim Arab Palestina.

Nasser tak cuma dikenal sebagai penulis dan puitis, ia juga seorang pemimpin politik ketika masa-masa Perang Arab Israel 1948, ia seorang nasionalis Arab Palestina, kawan perjuangan dengan Yasser Arafat. Ia kemudian meninggal dunia lewat serangan udara oleh Israel Defence Force pada 1973 bersama rekan lainnya.

Tokoh-tokoh Arab Kristen yang dengan bersemangat mendorong dan mempromosikan kepalestinaannya sering terabaikan dari historiografi konflik Israel Palestina. Di antara tokoh-tokoh itu, salah satunya adalah Khalid Al Sakakini.

Khalid Al Sakakini adalah seorang intelektual yang hidup jauh sebelum Nasser dan Yasser Arafat. Lahir di Yerusalem dari keluarga Arab Kristen Ortodoks, ia mengenyam pendidikan hingga ke jenjang perguruan tinggi di Church Mission Society dan juga di Zion English College tempatnya meraup ilmu sastra.

Ia berpetualang di Inggris dan Amerika, menjadi pedagang kaki lima, menjadi guru bahasa Arab, juga penerjemah untuk majalah sastra Arab dan karya-karya lainnya.

Sepulang merantau dan mengenyam banyak bangku pendidikan, pada 1909 Sakakini mendirikan sekolah Dusturiyyah yang menjadi terkenal karena pendekatan nasionalis Arab-nya. Dia merintis sekaligus menawarkan sistem pendidikan progresif di zaman itu. Tidak ada nilai, hadiah ataupun hukuman bagi siswa. Ia menekankan pada pendidikan musik dan atletik.

Sakakini juga dengan berani memperkenalkan metode pengajaran bahasa Arab yang baru untuk menggantikan bahasa Turki di sekolah-sekolah sebagai bagian dari kekuasaan luas Kekhalifahan Utsmaniyah.

Tentu hal ini juga membuat otoritas Utsmaniyah meradang, menangkapnya dan menjebloskannya ke penjara Damaskus bersama dengan orang Yahudi bernama Alter Levine yang sempat melindunginya, seperti yang dituliskan Salim Tamari dalam jurnalnya berjudul "A Miserable Year in Brooklyn: Khalil Sakakini in America, 1907–1908."

Sakakini yang dimakamkan di Mar Gerges meninggalkan banyak risalah pendidikan, koleksi puisi, esai sastra filsafat dan politik, juga buku hariannya. Kiprah panjangnya dalam penyadaran kolektif nasionalisme Arab Palestina di masa-masa awal tersebut berbuah nama jalan utama di Kota Ramallah yang diajukan oleh Pusat Kebudayaan Khalil Sakakini pada 2001 silam.

Ada pula George Habash. Seorang Kristen nasionalis Arab yang dikenal militan ulung dan memanifestasikan kesadaran politiknya lewat pendirian Front Rakyat untuk Pembebasan Palestina (PFLP). Praktis, bendera bertema palu-arit dari seorang Kristen Arab berkibar di tanah Palestina yang sedang diperjuangkan.

Pemikiran politiknya banyak dipengaruhi oleh dosennya bernama Constantine Zureiq saat kuliah jurusan kedokteran di American University of Beirut (AUB) Lebanon. Zurieq telah menekankan akan kesadaran dan pentingnya nasionalisme Arab.

Sebagai tenaga medis, Habash banyak berinteraksi dengan para pengungsi di kamp-kamp Yordania setelah kemenangan Israel, sekaligus mempertebal ide-ide gerakan nasionalisme Arab.

George Habash dengan Yasser Arafat berseberangan soal solusi negara Palestina. Puncaknya saat Arafat menandatangani Perjanjian Damai OSLO 1993 sebagai bentuk pandangannya terkait solusi dua negara yang menempatkan Palestina sebagai pemerintahan Otoritas Palestina dengan hanya membawahi Jalur Gaza dan Tepi Barat.

Sedangkan Habash memegang teguh solusi satu negara dan tidak mau berkompromi. Habash lewat PFLP memiliki pandangan dan perjuangan bentuk satu negara. Identitas Arab dan Yahudi memiliki hak hidup yang sama, hidup tanpa penindasan, termasuk dengan kaum minoritas lainnya.

Nasib partainya, PFLP meredup terutama setelah kemunculan gerakan Islamis dari Hamas dan Kelompok Jihad Islam Palestina yang muncul selama Intifadhah Pertama yang banyak mendominasi hingga sekarang. Pemilu Legislatif Palestina tahun 2006, PFLP hanya mendapat 4,25 persen suara dan Hamas memimpin 44,45 persen dengan diikuti Fatah 41,43 persen.

Saat George Habash meninggal dunia pada 26 Januari 2008, kematiannya dihadiri pula oleh Yasser Arafat yang menyebutnya sebagai pemimpin bersejarah. Pun juga oleh Ismail Haniyeh, pemimpin Hamas seperti dilaporkan oleh Aljazeera yang menyanjungnya sebagai pejuang sepanjang hidup untuk kebebasan Palestina.

Ide-ide gerakan sekuler nasionalis Arab bagi berdirinya nama Palestina sebagai negara diperjuangkan lewat cara-cara perlawanan nyata kepada pemerintah Israel. Serangkaian aksi-aksi pengeboman dan pembajakan pesawat terhadap langkah-langkah Israel dilakukan.

Infografik Tokoh Politik Nasional Kristen Palestina

Termasuk aksi Leila Khalid, perempuan militan dari kubu PFLP. Tidak heran sosok Habash oleh musuh disebut sebagai teroris sebagai konsekuensi dari aksi-aksi nekatnya menginginkan kemerdekaan. TIME bahkan memberi judul “Terrorism's Christian Godfather“ untuk obituari kematian Habash.

Sosoknya hingga kematiannya populer di kalangan banyak orang Palestina yang menghargai ideologi revolusioner, terkenal dengan gaya intelektual serta tekad dan prinsipnya menolak Perjanjian Oslo meskipun hubungan pribadi dengan Yasser Arafat telah pulih.

Namun di masa-masa sekarang, komunitas Kristen di Palestina terus mengalami penurunan dalam hal jumlah. Warga kota yang sangat identik dengan jejak hidup kekristenan di Nazareth dan Betlehem telah banyak bermigrasi ke luar negeri.

Laporan dari The Foundation for the Defense of Democracies menyebutkan orang Kristen Palestina yang tinggal di Sydney Australia lebih banyak jumlahnya dibanding orang Kristen Palestina yang tinggal di Yerusalem. Mereka yang saat ini masih tinggal di Palestina mayoritas lahir di Kota Tua saat Kristen masih merupakan mayoritas.

Bard Kartveit dalam bukunya berjudul Land, Law and Family Protection in the West Bank juga menyoroti konflik tanah di Betlehem sebagai tempat komunitas Kristen tua yang memiliki banyak tanah karena populasi mereka.

Baik keluarga Kristen dan Muslim tradisional memperbincangkan soal kehadiran kelompok Islam Hebronit yang dianggap lebih konservatif yang berusaha mengubah tatanan tradisional Betlehem yang heterogen dengan cara membeli banyak tanah dan dibiayai oleh Saudi hingga tak jarang pencurian tanah lewat dokumen-dokumen palsu.

Kalangan Kristen dan Muslim tradisional yang telah lama memiliki ikatan kuat bersaudara dan menjaga nilai-nilai tradisional masih sensitif untuk membicarakan persoalan ini karena takut akan kemungkinan perpecahan dari perjuangan Palestina dan pemanfaatan isu-isu ini untuk aksi di luar harapan lainnya.

Baca juga artikel terkait NATAL atau tulisan lainnya dari Tony Firman

tirto.id - Politik
Reporter: Tony Firman
Penulis: Tony Firman
Editor: Maulida Sri Handayani