Menuju konten utama

Palestina di Bawah Naungan Kristus

Ada sekitar 200.000 orang Palestina yang memeluk agama Kristen. Perang dan penjajahan Israel tak hanya menyulitkan tapi juga acap kali menindas hak-hak mereka.

Palestina di Bawah Naungan Kristus
Seorang peziarah Kristen memegang salib saat pembaptisan dikenal sebagai Qasr el-Yahud di tepi sungai Yordan dekat kota Tepi Barat. REUTERS

tirto.id - Dalam puisi, penyair dan politisi dan gerilyawan memiliki tempat tersendiri. Di Palestina, Mahmoud Darwish dan Yasser Arafat dan George Habash berbicara dengan cara berbeda tentang tanah airnya. Mereka yang berdiplomasi, mereka yang menulis puisi, dan mereka yang mengangkat senjata. Tapi di Palestina, kata Darwish, orang-orang hanya berakhir dalam dua kemungkinan: menjadi martir atau pelarian.

Pada 23 Desember 2014, sekelompok warga Palestina yang berpakaian Santa Claus melakukan aksi di Betlehem, jantung Tepi Barat, kota yang dianggap sebagai tempat lahir Yesus. Berdasarkan laporan dari kantor berita Palestina WAFA, para Santa Claus ini melakukan protes damai, membagikan mainan kepada anak-anak di sepanjang jalan masuk kota itu. Namun, aksi yang awalnya damai itu berakhir ricuh saat Pasukan Pertahanan Israel datang.

Menurut laporan B'Tselem, lembaga pembela kemanusiaan di Tepi Barat dan Jalur Gaza, pasukan Israel kerap kali menembakkan gas air mata atau menembak semena-mena ke para demonstran dengan tujuan menyakiti mereka. Kericuhan ini menjadi ikonik karena para Santa Claus yang semula dengan tenang membawa mainan lantas bersitegang dengan pasukan Israel bersenjata lengkap.

Bagaimana sebenarnya kondisi umat Kristen di bawah pendudukan Israel?

Saat ini diperkirakan ada 200.000 penganut Kristen di Palestina, keturunan dari sekelompok umat Kristus tertua di dunia. Meski demikian, tak berbeda dengan umat Islam, penganut Kristen mengalami penindasan dan diskriminasi dari otoritas Israel.

Ada beberapa mazhab utama yang dianut oleh umat Kristen di Palestina seperti Ortodoks Yunani, sebagian kecil penganut Katolik Roma, Ortodoks Armenia, Koptik, Episcopalian, Ortodoks Etiopia, Katolik Yunani, Lutherian, Maronit, Ortodoks Syria, dan beberapa denominasi Protestan. Sejauh ini belum ada jumlah persis penganut masing-masing mazhab itu. Tapi, menurut The Lutheran ecumenical institution the Diyar Consortium, ada 51.710 umat Kristen yang tersebar di Tepi Barat, Gaza, dan Yerusalem. Kebanyakan dari umat Kristen Palestina ini tinggal di Betlehem, Ramallah, Nablus, dan Yerusalem Timur.

Pada 2015, umat Kristen di Tepi Barat hanya sekira 2 persen dari total populasi (sekira 37 ribu jiwa), sementara di Gaza antara 1.500-2.000 orang. Adapun di daerah tepi pantai Palestina yang diduduki Israel, jumlahnya tak lebih dari satu persen populasi. Tren jumlah umat Kristen di Palestina ini memang turun drastis sejak pendudukan Israel pada 1948. Dan lebih dari sepertiga penduduk Palestina tinggal di Jalur Gaza, yang hanya seluas 365 km² (nyaris setengah dari luas DKI Jakarta). Represi, kekerasan, dan ancaman dari kelompok konservatif Israel membuat umat Kristen dalam kondisi sulit, yang mendorong mereka keluar dari Palestina sebagai migran.

Pembatasan gerak dan akses dan ruang berekspresi menemani langkah mereka mendatangi tempat suci seperti Gereja Nativitas dan Gereja Makam Kudus. Di Betlehem sendiri, umat Kristen Palestina mesti menembus 32 titik pemeriksaan sebelum diperbolehkan memasuki gereja mereka. Itu pun jika cukup beruntung mendapatkan izin dari pemerintah Israel.

Berdasarkan data dari Institute for Middle East Understanding, pada 1947, setahun sebelum negara Israel berdiri, 85 persen populasi penduduk Betlehem adalah penganut Kristen. Tapi saat ini kurang dari 20 persen. Di Yerusalem, pada 1947, jumlah penduduk yang beragama Kristen sekira 19 persen dari total populasi, tetapi saat ini kurang dari dua persen.

Sementara menurut versi pemerintah Israel pada 2009, ada 154.000 umat Kristen berwarganegara Israel atau 2,1 persen dari penduduk Israel. Dari angka itu, 80 persen di antaranya adalah keturunan Arab Palestina, termasuk 44.000 penganut Katolik Roma dan sisanya dari imigran non-Arab—kebanyakan dari pecahan Uni Soviet pada awal 1990-an. Dalam situasi politik yang mengubah peta demografi tersebut, para pendatang Yahudi dari seluruh dunia mendesak kehadiran masyarakat Arab-Palestina yang semula jadi penduduk asli negara itu.

Terbentuknya pemerintah Israel menciptakan pula relasi yang tegang antara etnis Arab dan Yahudi, Islam, Kristen, dan Yudaisme. Namun, di tengah-tengah kebijakan rasialis dan sektarian, selalu ada inisiatif perlawanan yang hendak menghadirkan narasi keseharian soal ikatan sosial antara orang Yahudi dan Arab di Palestina justru semakin erat.

Meski berulang kali pemerintah Israel mengklaim warga Palestina boleh dan berhak memasuki tanah suci di Yerusalem Timur yang dikuasai Israel, pada praktiknya umat Kristen dan Islam kerap dihalang-halangi menuju Masjid Al-Aqsa atau Gereja Makam Kudus, dua situs suci kedua umat. Pada 2010, misalnya, sebagai bentuk solidaritas antar-umat Kristen dan Islam yang mengalami pembatasan beribadah, masyarakat Palestina melakukan protes di Betlehem. Israel merespons dengan melarang total peziarah Kristen memasuki kota itu.

HL Natal

Rezim Pendudukan

Kota Betlehem, daerah Palestina yang diduduki Israel, memiliki populasi 22.000 orang. Dari jumlah itu, 19 persen adalah penganut Kristus. Kota itu dikelilingi oleh tiga tembok besar yang melintang di Tepi Barat. Tembok ini dibangun oleh Israel yang diklaim sebagai “penahan serangan teroris,” yang menurut Mahkamah Internasional di Den Haag, Belanda, sebagai tindakan ilegal dan pelanggaran hak asasi manusia. Pada 2015 ada 22 kantung pendudukan Israel yang dibangun secara ilegal di tanah Palestina di Betlehem.

Pada 2012, organisasi pendidikan, keilmuan, dan kebudayaan PBB (UNESCO) menyatakan bahwa Gereja Nativitas sebagai warisan cagar budaya yang terancam punah. Upaya lembaga PBB itu untuk melindungi gereja ini pernah diprotes Israel karena menggunakan Gereja Nativitas Betlehem Palestina, ketimbang Israel. Protes kedua dilakukan saat badan PBB itu menyatakan bahwa sebagian Yerusalem merupakan warisan budaya dunia yang tak boleh dikendalikan oleh satu otoritas. Artinya, dengan memasukkan Yerusalem lama sebagai warisan dunia, Israel tak berhak melarang siapa pun untuk berziarah ke tempat tersebut.

Diperkirakan ada 250.000 orang Palestina yang tinggal di Yerusalem timur pada 2015. Rezim wilayah pendudukan mencacah mereka: bisa masuk ke dalam teritori Israel dan bisa mengikuti Pemilu tapi tak memiliki kewarganegaraan Israel. Diskriminasi status warga negara ini membikin mereka tak bisa mendapatkan hak-hak dasar, meski mereka lahir dan besar sebelum negara Israel terbentuk. Dalam rezim ghetto itu, sejak 1993 warga Palestina di Tepi Barat dan Gaza dilarang memasuki Yerusalem Timur, kecuali mendapatkan izin resmi dari pemerintah Israel. Sekalipun mendapatkan izin, belum tentu juga mereka dimudahkan memasuki situs-situs suci di Yerusalem.

Organisasi B’Tselem menyebutkan, sejak Yerusalem Timur dianeksasi oleh Israel pada 1967, pemerintah Israel membuat kebijakan dan kondisi yang menciptakan jumlah penduduk Yahudi lebih dominan ketimbang penduduk Arab-Palestina. Ini dilakukan agar otoritas Israel memiliki legitimasi resmi guna mengatur dan mengendalikan kepentingannya di daerah pendudukan. Cara-caranya seperti mencabut hak tinggal dan hak sosial warga Palestina yang bermukim di Yerusalem, dan sebaliknya mendorong orang-orang Yahudi untuk tinggal di daerah pendudukan. Secara sistematis pula otoritas Israel melakukan sabotase akses air dan listrik di permukiman Palestina.

Masyarakat Palestina, baik Islam dan Kristen, bertahan dari penindasan Israel dengan saling mendukung satu sama lain. Usaha ini dilakukan demi memberikan rasa aman dan persaudaraan, bahwa Palestina adalah negara bagi semua penganut agama baik Yudaisme, Islam, dan Kristen.

Baca juga artikel terkait NATAL 2016 atau tulisan lainnya dari Arman Dhani

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Arman Dhani
Penulis: Arman Dhani
Editor: Fahri Salam