tirto.id - Sejak awal milenium kedua, orang-orang Nusantara banyak berlayar ke berbagai tempat seperti Tiongkok, bahkan sampai Afrika. Mereka berdagang dalam skala global dan bertemu banyak orang dari berbagai latar belakang lintas-budaya.
Dari aktivitas tersebut, selain bertukar barang dalam transaksi perdagangan, juga terjadi penyebaran agama, baik langsung maupun tidak langsung. Agama atau kepercayaan lokal bertemu dengan agama dan kebudayaan lain. Termasuk di Jawa. Akulturasi dan asimilasi terjadi ketika pengaruh agama-agama dari subbenua India seperti Hindu dan Buddha mulai masuk dan menyebar.
Hal ini juga berlanjut saat bergantinya periode persebaran agama Islam yang terjadi lewat pendekatan budaya dan tradisi lokal, layaknya yang dilakukan Walisongo untuk Islam di Jawa. Juga penyebaran agama Kristiani.
Baca juga: Agama-agama yang Dipinggirkan
Asimilasi, akulturasi, sinkretisme, memang kata-kata kunci dalam penyebaran agama-agama di Jawa, terutama agama abrahamik yang datang dari Timur Tengah dan Eropa. Islam, misalnya, melanjutkan tradisi yang dibawa Walisongo dalam hal akulturasi sampai hari ini. Gagasan "pribumisasi Islam" yang dicetuskan Abdurrahman Wahid pada dekade 1980-an bisa dikatakan sebagai interpretasi modern atas apa yang dilakukan para penyebar Islam abad ke-15.
Topik ini diteliti beberapa sarjana, salah satunya J. Henry Wolfe dalam disertasinya yang berjudul Insider Movements: An Assessment of The Viability of Retaining Socio-Religious Insider Identity in High-Religious Contexts. Karya ini tak hanya menjelaskan proses asimilasi yang terjadi saat agama Hindu, Buddha, dan Islam datang, namun penyebaran Kristen setelahnya.
Awal abad ke-19 ditandai dengan gejolak dan gerakan rakyat Jawa membangkang kepada pemerintah kolonial Hindia Belanda maupun para penguasa pribumi yang tunduk pada Belanda. Gerakan ini juga menyeret basis religius Islam-Jawa, yakni di kalangan penganut Islam dan Kejawen.
Di dalamnya juga terkandung narasi mistik harapan datangnya Ratu Adil untuk membawa pemulihan dan kesejahteraan. Menurut Jan. S Aritonang dalam Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia, berbagai gerakan ini berpusat di sekitar tokoh-tokoh keagamaan yang umumnya disebut kiai atau guru.
Dalam situasi seperti ini, selain banyaknya tokoh-tokoh pejuang dari kalangan Islam, ada juga figur gerakan keagamaan Kristen lokal.
Menjadi Jawa, Sekaligus Kristen
Sosok itu adalah seorang putra dari keluarga Islam-Kejawen Jawa bernama Radin, yang lahir di antara Demak dan Jepara pada 1835. Karena keinginan besarnya untuk ngelmu agama, ia mondok di beberapa pesantren di Jawa Timur. Radin juga pernah ke Mojowarno, sebuah desa di Jawa Timur yang dibangun oleh orang-orang Kristen Jawa. Ia lantas melanjutkan ke pesantren di Ponorogo hingga beralih kembali ke Semarang menetap di daerah Kauman, dengan menambahkan nama Abas sebagai penanda kesantriannya.
Perjumpaan dengan kekristenan terjadi saat bertemu Kiai Ibrahim Tunggul Wulung dari lereng Gunung Muria yang telah lebih dahulu menjadi seorang Kristen. Ia seorang penginjil yang memulai aktivitasnya sejak awal abad ke-19 di hampir seluruh wilayah Jawa dan berhasil meyakinkan Radin Abas untuk dibaptis di Batavia oleh pendeta Indische Kerk atau Gereja Protestan.
Nama baptis Sadrach yang disematkan mengacu pada Sadrakh dalam Kitab Daniel, penentang penindasan Raja Nebukadnezar dari Babilonia. Semangat ini yang tampaknya sejalan dengan Radin yang menentang penghilangan identitas kejawaannya, dibanding menjadi Kristen dengan budaya religiusitas ala Eropa yang dibawa Belanda.
Sadrach kemudian berkelana ke seantero tanah Jawa masuk ke desa-desa. Ia membawa ajaran Kristen yang dipadukan dengan kebudayaan Jawa. Sadrach juga menemui guru-guru setempat yang ia datangi dan mengajaknya ngelmu guna meyakinkan mereka akan kepercayaan Kristen.
Ia juga melakukan tanding di depan umum terkait siapa yang lebih hebat ilmunya. Dalam konteks ngelmu ketika itu, adalah hal lazim jika seorang mengulik hal yang dianggap ngelmu tertinggi, dan orang tidak akan puas sebelum mencapai tingkat ilmu tertinggi. Maka, lazim pula seseorang berpindah dari satu guru ke guru lain, dari satu kiai ke kiai lain, dari satu pesantren ke pesantren lain untuk terus memperdalam ilmu spiritual, termasuk berdiskusi bahkan berdebat.
Jika Sadrach kalah ia akan kembali ke ajaran sebelumnya, namun sebaliknya, jika ia menang maka ia menuntut lawannya untuk tunduk kepadanya dan menjadi Kristen. Pendekatan perdebatannya menggunakan ilmu-ilmu kebudayaan Jawa, juga ilmu-ilmu yang dipelajarinya di pesantren, yang kemudian dipadukan dengan ajaran Kristen.
Sinkretisme inilah yang menjadi kunci sukses Sadrach. Ia membuat banyak orang mengikuti ajarannya. Sadrach berhasil meyakinkan orang-orang bahwa menjadi seorang Kristen tidak perlu meninggalkan kejawaannya. Orang tak perlu khawatir bahwa kekristenan akan berkontradiksi dengan tradisinya.
Baca juga: J.E. Tatengkeng, Pramoedya, dan Sastra Bernapas Kristen
Ketenaran Sadrach mendorong berdirinya komunitas Kristen Sadrach di Karangjasa, sekitar 25 km dari Purworejo. Lembaga keagamaan dikelola seperti sebuah pesantren. Ia kemudian mendapat nama belakang baru, Surapranata. Nama ini sekali lagi mengandung aroma mesianik. Oleh pengikutnya, Kiai Sadrach Surapranata dianggap semacam juru selamat yang dirindukan.
Hal inilah yang justru menjadi titik konflik Sadrach dengan para zending Belanda maupun dengan pemerintah kolonial. Beberapa zending di Jawa maupun yang berpusat di Belanda, misalnya Lion Cachet, rajin menulis laporan bahwa Sadrach dan orang-orang Kristen yang dipimpinnya belum hidup menurut ajaran Kristen yang benar -- pendeknya: bidah.
Mereka melihat ajaran Kiai Sadrach ini sesat karena menggabungkan ilmu-ilmu Kejawen dan kepercayaan lokal lainnya dengan kekristenan. Belum lagi pemerintah kolonial mencurigai adanya bau-bau pemberontakan dalam kiprah Kiai Sadrach.
Dalam Kiai Sadrach: Riwayat Kristenisasi di Jawa, C. Guillot menyebutkan bahwa gerakan penyebaran keagamaan Kristen di masa kolonial Belanda memang tampak kurang bergairah. Belanda khawatir akan muncul rasa dan kedudukan yang sama antara penduduk lokal dengan para pendatang dari Eropa jika mereka menyebarkan agama Kristen. Kontras jika dibandingkan dengan bangsa kolonial lain macam Spanyol dan Portugal yang meninggalkan jejak Katolik di tiap jengkal tanah jajahannya.
Juga soal metode dakwah. Belanda bukannya tak punya penginjil. Nederlandsch Zendeling Genootschap (NZG) adalah serikat misionaris Belanda yang mulai masuk ke Indonesia semasa pemerintahan Inggris pada 1814. Tokoh penginjil awal adalah Joseph Kam yang memulai dakwahnya di kepulauan Maluku, juga termasuk Sumatera dan Jawa.
Pada kenyataannya, Sadrach tidak lagi dianggap dalam NZG. Ia tak kunjung diangkat menjadi pendeta untuk bisa memimpin sakramen Baptisan dan Perjamuan Kudus bagi jemaatnya sendiri. Maka, sejak 1893, Sadrach memutuskan tidak lagi berhubungan dengan Belanda dan orang Eropa lainnya. Meskipun begitu, sebagian besar pengikutnya masih setia kepada Sadrach.
Para pengikut Sadrach, yang disebut orang Kristen Jawa, punya hubungan rumit dengan sesama rakyat maupun dengan orang Eropa. Mereka kerap dicemooh dengan ungkapan "londo wurung jowo tanggung" (belum berhasil menjadi Belanda dan tanggung sebagai orang Jawa) atau "lali jawane" (lupa bahwa mereka orang Jawa).
Lambat laun, cap Kristen sebagai agama Belanda terkikis meski tidak sepenuhnya hilang. Hubungan antara umat Islam dan Kristen pun cenderung lebih baik dan perbedaan tak lagi terlihat jomplang. Mereka sama-sama orang Jawa, orang desa. Sadrach, dalam hal ini, lebih paham pendekatan yang lebih mengena di hati masyarakat dibanding para zending dari Belanda.
Baca juga:
Sadrach, menurut Hoekama dan Sutarman dalam buku Jan S. Aritonang, menjadikan Injil sebagai norma hidup. Baginya, norma itu mirip dengan pitutur (nasihat, arah) dan wewaler (larangan, pantangan) orang Jawa dan syariat umat Islam.
Para pengikutnya menilai Sadrach pandai menemukan kata-kata yang menyentuh perasaan orang Jawa. Itulah kenapa Sadrach juga menyandang gelar kiai, sebagaimana banyak guru kebatinan atau ulama agama Islam di Jawa. Bagi masyarakat Jawa, seorang kiai adalah orang yang memiliki kedudukan karena apa yang dia katakan akan didengar oleh banyak orang dan tentunya punya banyak pengikut. Seorang kiai juga tidak ditahbiskan oleh badan atau lembaga tertentu layaknya para pendeta atau pastor.
Baca juga: Abang Tokoh Islam, Adik Pendeta Kristen
Sadrach semakin berpengaruh, dan kejengkelan para zending-zending Belanda terus terpupuk, sampai akhirnya mereka mendesak pemerintah kolonial Belanda untuk menangkap sang kiai. Tahun 1882, mereka berhasil mendakwa Kiai Sadrach sebagai penghalang program vaksinasi cacar yang sedang digalakkan pemerintah.
Sadrach kemudian ditahan di penjara Kutoarjo selama 21 hari sampai kemudian dibebaskan karena bukti-bukti yang meragukan. Belum lagi terdapat laporan bahwa kebaktian-kebaktian di Karangjasa dilarang dan dihalang-halangi oleh polisi.
Ini menggambarkan bahwa para rohaniawan Belanda bisa menggunakan tangan besi pemerintahan Hindia Belanda untuk membungkam Sadrach. Namun, ada satu orang Belanda yang mengerti alam pikiran dan dunia masyarakat Jawa, yaitu J. Wilhelm. Peristiwa penangkapan Kiai Sadrach dianggapnya sebagai kesalahan besar.
Buku Komunitas Sadrach dan Akar Kontekstualnya karya Sutarman Soediman Partonadi menyebut Karangjasa, kediaman Kiai Sadrach, kemudian jadi tempat berkumpulnya orang-orang Kristen dari berbagai daerah. Jemaatnya melesat hanya dalam waktu tiga tahun (1870-1873) hingga mencapai hampir 2.500 orang. Selama masa itu pula, lima gereja didirikan di Karangjasa, Banjur, Karangpucung, Kedungpring, dan Karangjambu.
Setelah Sang Kiai Mangkat
Perkembangan jemaat Sadrach hanya mampu bertahan di kisaran 1939. Masuknya kekuasaan gereja ZGKN dan pendirian Gereja Kristen Jawa memupus habis gereja ala Sadrach. Gejala ini sudah terasa saat Kiai Sadrach meninggal dunia pada 14 November 1924—hari ini tepat 93 tahun lalu. Waktu itu jemaat pengikutnya sudah mencapai 20 ribuan.
Yotham, anak angkatnya, meneruskan dakwah Kiai Sadrach. Tapi ia tak mampu mengimbangi kharisma bapaknya dalam memimpin jemaat.
Kini, masih ada beberapa desa sederhana yang menjadi tempat tinggal komunitas Kristen ala Sadrach di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Kendati secara resmi mereka mengikuti jalan Kristus, akan tetapi kehidupan keseharian mereka tidak berbeda jauh dengan masyarakat desa pada umumnya. Nilai-nilai Jawa masih menjadi bagian inheren dari sistem berpikir dan cara mereka hidup.
Baca juga: Pindah Agama karena Tragedi 1965
Sadrach kadang dirujuk sebagai bukti sahih dari bahaya Kristenisasi. Bagaimana kolonialisme Belanda dicurigai bukan hanya menghisap kekayaan Nusantara, namun juga menggerogoti harmoni masyarakat melalui misi zending-kristenisasi. Pilihan Sadrach yang tetap memakai predikat kiai dianggap sebagai taktik untuk mengelabui masyarakat desa yang polos.
Namun, posisi Sadrach sendiri ambigu. Ia tentu murtad jika dilihat dari sisi Islam. Tapi ia pun tak pernah diterima sepenuhnya oleh misi zending yang dipimpin para pendeta Eropa. Sampai-sampai, seperti sudah disinggung sebelumnya, ia bahkan ditangkap Belanda.
Ajaran Sadrach dianggap tidak sepenuhnya "murni", bahkan ada yang menganggap masih mengadopsi nilai-nilai mistik Jawa yang dimuati spiritualitas Islam. Di mana-mana, tendensi "pemurnian" memang selalu memakan korban. Tapi jika dimaknai lebih dalam, meminjam istilah Abdurrahman Wahid dari tahun 1980-an, dakwah yang dilakukan Sadrach bisa dikatakan sebagai "pribumisasi Kristen". Di situlah arti penting Kiai Sadrach.
Penulis: Tony Firman
Editor: Zen RS