tirto.id - Lukisan-lukisan potret abad ke-19 menggambarkannya sebagai sosok bermata hijau dengan senyum iblis. Sejarawan konservatif dan liberal menyebutnya maniak, diktator modern pertama, hingga fanatik penjaja maut. Maximilien de Robespierre, revolusioner bermata hijau sayu itu, kerap disejajarkan dengan Stalin, Hitler, Mao Zedong, Pol Pot, hingga belakangan Osama bin Laden dan Julian Assange.
Di tanah airnya, sebuah jajak pendapat pada 1990-an menyebut Robespierre lebih tak disukai dari pasangan Louis XVI dan Marie Antoinette. Paris mengenang arsitek Revolusi Perancis itu dengan sebuah stasiun kecil di Seine-Saint-Denis, daerah termiskin di pinggiran kota.
Hanya satu tahun (1793-1794) Robespierre memegang pemerintahan revolusioner. Namun, menurut sejarawan Revolusi Perancis Peter McPhee dalam Robespierre: A Revolutionary Life (2012), masa satu tahun itu dipakai untuk menafsirkan seluruh kepribadiannya—seolah-olah ia sudah digariskan untuk menjadi diktator.
Selama satu tahun itu Robespierre dan kaum Jacobin memang memenggal belasan ribu kepala, menghabisi kawan-kawan sendiri, menghukum siapapun yang tidak antusias mendukung revolusi, bahkan memenjarakan setiap orang yang dianggap mencurigakan berdasarkan Undang-Undang Kecurigaan (Lois des suspects). Yang tak banyak diketahui: karier Robespierre dimulai sebagai pengacara yang mengampanyekan penghapusan hukuman mati. Klien-kliennya adalah orang kecil, dari bekas gurunya di sekolah hingga gembel dan maling.
Di mata kawan dan lawan, Robespierre adalah l’Incorruptible: sosok yang luar biasa bersih, tak bisa dibeli, murni tanpa oplosan. Sang pengacara dari Arras adalah wujud sempurna dari apa yang ia titahkan sendiri tentang teror revolusi: “berkeadilan, nyata, nol kompromi”.
Dalam ingatan awam, ia adalah dosa asal Revolusi Perancis dan seluruh revolusi lain yang bersetia kepada warisannya.
Anak-Anak Rousseau
Revolusi Perancis yang sukses mengobrak-abrik injak tatanan feodal dan menghantui seluruh istana di Eropa itu meluncurkan karier politik sejumlah anak muda, di antaranya Georges Danton, Jacques Hébert, Camille Desmoulins, dan Maximilien Robespierre. Mereka sampai di puncak kekuasaan pada usia 30-an dan mati dilahap arus revolusi sebelum menginjak usia kepala empat. Beberapa orang, seperti Danton dan Desmoulins, sebelumnya telah masuk lingkaran luar kekuasaan istana atau menjadi bagian dari oposisi kelas menengah Paris. Yang lain seperti Hébert hidup di jalanan. Robespierre sendiri berasal dari kota kecil Arras, Perancis utara.
Apapun latar belakang mereka, para tokoh revolusi Perancis adalah angkatan yang dibesarkan oleh Du contrat social-nya Jean-Jacques Rousseau sebagaimana generasi revolusioner dua abad berikutnya dibaptis oleh The Communist Manifesto. Mereka percaya masyarakat feodal telah membelenggu dan merusak keluhuran (virtue) jiwa manusia. Mereka yakin kebebasan umat manusia yang mereka perjuangkan akan sia-sia tanpa perubahan struktur politik, seperti halnya kelak kaum komunis percaya bahwa mustahil umat manusia memperoleh kemerdekaan sejati jika tatanan ekonomi kapitalis tak disingkirkan.
Maximilien Robespierre lahir di Arras pada 6 Mei 1758 dari keluarga kelas borjuis kecil. Saat ia berusia enam tahun, ibunya meninggal dunia karena keguguran. Ayah Robespierre menghilang dan baru diketemukan pada 1777 di Munich. Dibesarkan oleh kakaknya, Charlotte, Robespierre muda mendapat beasiswa untuk menempuh pendidikan di Lycée Louis-le-Grand di Paris. Bersama Camille Desmoulins, kawan sekelasnya, ia menjadi murid teladan yang membacakan sambutan untuk Raja Louis XVI dan Ratu Marie Antoinette ketika keduanya mengunjungi sekolah prestisius tersebut.
Itu terjadi 18 tahun sebelum Maximilien mengirim keduanya ke guillotine.
Robespierre adalah orang yang sangat serius. Ia menghabiskan waktunya dengan belajar di kamar dan menghindari kesenangan. Ia bahkan diyakini mati dalam keadaan perjaka. Dalam Vive La Revolution: A Stand-up History of the French Revolution (2003), komedian Mark Steel berkelakar tentang bagaimana Robespierre menolak ajakan pesta dari Desmoulins.
“Untuk menolak ajakan pesta, orang kebanyakan akan bilang ‘Bung, aku bokek berat sampai jumat besok’,” tulis Steel. “Tapi kawan kita Robespierre ini sungguh berbeda—dan mustahil orang tak berdecak kagum mendengar jawabannya. Ia katakan kepada Desmoulins: ‘Racikan sampanyemu adalah racun pembunuh kebebasan’.”
Bayangkan: “Racikan sampanyemu adalah racun pembunuh kebebasan.”
Ia juga dikenal sebagai pribadi yang canggung. Orang-orang di sekitarnya mengendus kecanggungan itu pada pakaian sehari-hari Maximilien yang dianggap mampu menebalkan rasa percaya diri. Saint-Just, Danton, Desmoulins, Couthon, dan kawan-kawannya di klub Jacobin meninggalkan wig dan stoking demi pantalon dan rambut yang terurai sampai ke bahu—simbol-simbol kemodernan yang egaliter: tak repot dengan ornamen dan aksesoris. Maximillien memilih setia dengan stoking dan wig, persis seperti yang melekat pada musuh-musuhnya, Tuan dan Nyonya Louis XVI, serta Kaum Reaksi seantero Eropa yang bersaudara dalam ruh dan daging.
Pada malam ketika Robespierre digulingkan, komplotan kontrarevolusioner Thermidor menggeledah kediamannya. Mereka menemukan beberapa lukisan potret diri, patung dada berwajah diktator yang baru mereka singkirkan, dan cermin-cermin berukuran besar dan sedang terpajang rapi.
“Kamar itu mirip kuil,” tulis Ruth Scurr dalam biografi Fatal Purity: Robespierre and the French Revolution (2006), mengomentari bagaimana sang martir revolusi membangun kepercayaan dirinya.
Suatu hari di bulan Mei 1789, Robespierre tak bisa pulang ke Arras dan tertahan di Paris. Merasa terpanggil untuk menjadi bagian dari penggerak sejarah, Robespierre mendirikan klub politik Jacobin untuk mempropagandakan gagasan-gagasan republikan dan anti-monarki.
Pada 1789 utang Perancis menumpuk setelah menyokong Revolusi Amerika dan bertahun-tahun menopang gaya hidup Kanjeng Ratu Marie Antoinette beserta sanggul satu meternya itu. Kas negara telah kosong selama hampir setahun. Sejak Mei États généraux, yang berfungsi sebagai parlemen, kembali berkumpul untuk membahas krisis setelah lebih dari seabad reses.
Tatkala menteri Keuangan Jacques Necker meletakkan jabatan dan tersebar kabar bahwa Louis XVI akan kabur dari Perancis, kaum Jacobin segera mengorganisasi pemberontakan massa. Rakyat Paris bangkit dan menyerbu Penjara Bastille yang menjadi simbol represi politik. Momen yang kelak secara simbolik dikenang sebagai awal Revolusi Perancis itu berlanjut dengan penghapusan hak-hak feodal dan pengesahan Deklarasi Hak-Hak Manusia dan Warganegara pada Agustus 1789.
Para pemimpin revolusi ini awalnya moderat. Sebagian bahkan cukup puas dengan corak pemerintahan monarki konstitusional gaya Inggris. Namun Louis XVI berkali-kali khianat. Ia berulang kali berusaha kabur ke luar negeri dan berkomplot dengan monark-monark tetangga untuk meremukkan revolusi.
Pada 1792, ketika pasukan Prusia dan Austria masuk ke Perancis, pecahlah sebuah pemberontakan selama sebulan lebih. Sans-culottes (kaum miskin kota) menyerbu kediaman raja di Taman Tuileries. Pada September 1792, ketika pemberontakan usai, Perancis resmi menjadi republik. Desember tahun yang sama, pidato Robespierre di Konvensi Nasional (Convention Nationale) mengawali perdebatan apakah Tuan dan Nyonya Louis patut dihukum mati.
“Raja harus mati supaya negeri ini bisa hidup,” terang Robespierre pada awal Desember 1792. Kurang dari dua bulan setelahnya, Louis XVI tinggal sejarah.
Karier Robespierre sejak itu terus menanjak, dari memimpin Jacobin pada 1790, mewakili pemerintahan revolusioner kota Paris dua tahun berikutnya, mengepalai Comité de salut public, dan akhirnya menduduki jabatan puncak di Konvensi Nasional, sebuah lembaga yang memerintah di Perancis sejak tahun ketiga revolusi. Selama empat tahun di Paris, ia selalu mendapat dukungan dari kaum sans-culottes.
Lahirnya Rezim Teror
Perang menjadi masalah serius selama 1790-1794. Pemerintahan jatuh bangun karenanya. Gereja dan kaum bangsawan di desa-desa melawan balik. Kaum borjuis di perkotaan melakukan sabotase ekonomi, memborong barang-barang kebutuhan pokok. Persis seperti yang terjadi di Rusia pada 1917-1922, seluruh penguasa Eropa ingin membunuh Revolusi dan masuk ke perbatasan. Bagi kelas-kelas yang berkuasa ini, revolusi berarti penghancuran privilese, penyitaan properti, rekrutmen serdadu, serta ditinggalkannya gereja, adat, dan paham lama.
Kaum Jacobin dihadapkan pada satu tantangan besar: mempertahankan nyawa republik di tengah ancaman musuh-musuh dari dalam dan luar. Tantangan inilah yang gagal dijawab kaum Girondin. Di sisi lain, massa sans-culottes kian mendesak pemerintahan revolusioner untuk terus memperdalam revolusi.
Kaum Girondin—yang awalnya adalah faksi moderat Jacobin—menghendaki Perancis memperluas revolusi ke negeri-negeri tetangga, termasuk Austria, kampung halaman Marie Antoinette. Robespierre mengambil posisi yang berseberangan. Ia bersikeras bahwa mengekspor revolusi dengan agresi militer—meski bertujuan membebaskan rakyat dari ancien régime—akan sulit diterima warga di tanah pendudukan. Bagi Robespierre, perang hanya akan memecah Perancis dan memberikan kesempatan bagi kaum kontrarevolusioner untuk mengorganisasi diri. Yang tak kalah krusial dan tak dilihat Girondin: sebagian besar perwira tinggi yang dikirim ke perbatasan adalah bagian dari kelas ningrat yang loyalitasnya masih diragukan.
Di kemudian hari Girondin tersingkir dari Konvensi Nasional dan jadi pesakitan ketika faksi Montagnard (termasuk Robespierre di dalamnya) memenangkan perebutan kekuasaan. Salah seorang kadernya, Charlotte Corday, membunuh Jean-Paul Marat, dokter, ilmuwan, dan orator ulung yang suaranya mewakili kaum miskin kota. Pembunuhan itu, dan kembalinya sans-culottes ke jalanan pada Mei-Juni 1793, mengawali pengambilalihan Konvensi Nasional dari tangan Girondin.
Sejak itu kaum Jacobin mendirikan Comité de salut public alias Komite Keselamatan Publik. Tugasnya? Membersihkan anasir-anasir kontrarevolusioner di dalam negeri, menghukum para priayi gembeng dan pemberontak, mengeksekusi mata-mata, menyita properti para bangsawan untuk pembiayaan perang, hingga mengganyang para spekulan yang memainkan harga kebutuhan pokok.
Sejak April 1793 teror resmi menjadi kebijakan negara yang diumumkan secara terbuka dan seluas-luasnya. Guillotine mulai dipasang. Sekitar 13.000 hingga 17.000 mati dicukur oleh “Pisau Nasional” (Le Rasoir National). Yang lain dieksekusi dengan peluru atau ditenggelamkan ke sungai atau membusuk di penjara.
Robespierre sering kali secara keliru diingat sebagai orang di balik pendirian Komite Keselamatan Publik. Sebenarnya, rencana itu justru datang dari Danton. Belajar dari rapuhnya pemerintahan Girondin dan hebatnya amuk massa-rakyat sebagaimana selama 1789-1792, Danton mengusulkan: “Kita harus berani kejam agar rakyat tidak brutal”.
Lewat kekerasan itulah pemerintahan Jacobin menjadi wujud instrumen dari apa yang disebut-sebut Rousseau sebagai "Kehendak Umum" (Volonté générale) . "Barang siapa menolak mematuhi kehendak umum ," tulis Rousseau dalam Du contrat social (1762) "harus dipaksa patuh oleh seluruh masyarakat; artinya, ia akan dipaksa untuk bebas".
Dengan kata lain, teror, sebagaimana dipahami kaum Jacobin, menyiapkan prakondisi untuk masyarakat yang merdeka.
Kaum Jacobin memang tak seperti para arsitek “Revolusi warna-warni” hari ini yang percaya bahwa revolusi sekadar mengganti pemerintah dan memasang tatanan legal-politik yang lebih demokratis. Mereka betul-betul paham bahwa kelas yang berkuasa alias kaum 1% akan melakukan apapun untuk merebut kembali privilese yang telah mereka nikmati berabad-abad. Sulit bagi sebuah revolusi untuk tidak brutal jika tujuannya adalah merombak total masyarakat dan menyikat habis rezim lama.
Siapapun yang menghadapi ancaman invasi militer dari negeri-negeri jiran dan sabotase ekonomi kaum kaya mustahil percaya jika revolusi cukup dilakukan dengan guyonan subversif, aksi carnivalesque, bikin thread di Twitter, dan dansa-dansi di jalanan—seperti yang dirayakan Washington Post ketika rakyat Armenia menggulingkan Perdana Menteri Serzh Sargsyan beberapa tahun silam.
“Ousting your prime minister can be seriously hard work. But it should be fun, too,” tulis Washington Post.
Bukan. Bukan berarti koran milik Jeff Bezos—manusia terkaya di bumi—itu keliru. Rupanya, menggulingkan penguasa sambil bersenang-senang juga terjadi pada 1789-1794. Produk-produk kebudayaan selama Revolusi Perancis kadang memang terasa ironis: bahkan pada fasenya yang paling berdarah, rakyat Paris tak kekurangan lagu bernada riang dan optimis, dengan lirik berisi ejekan kasar terhadap raja, ratu, kaum ningrat, dan aparat gereja. Karya-karya grafis populer zaman itu juga menggambarkan anak-anak yang bermain mengelilingi ibu-ibu yang menjahit di samping kepala yang menggelinding.
La revolution, c'est moi!
Di tangan Jacobin, Republik menjadi eksperimen termaju pada zamannya yang kelak ditiru di banyak tempat hingga menjadi kelaziman. Dokumen-dokumen resmi menyebutkan republik perdana itu dilandasi prinsip “bonheur commun”—yang diterjemahkan oleh Georges Lefebvre sebagai “kesejahteraan umum”—seperti yang tertulis dalam Deklarasi Hak-Hak Manusia dan Warganegara (1793). Sejarawan Revolusi Perancis Jules Michelet menulis: “Orang memang jauh lebih bahagia pada hari-hari itu.”
Tapi menjalankan teror secara rutin terbukti bukan hal enteng. Kewarasan dan komitmen untuk tidak menyalahgunakan kekuasaan betul-betul dipertaruhkan. Pada akhirnya satu per satu kawan Robespierre sendiri menjadi korbannya.
Pada awal 1794 Desmoulins mulai menyesalkan ekses-ekses teror melalui korannya, Les Vieux Cordeliers. Iabahkan melontarkan ejekan bahwa sudah semestinya Komite Keselamatan Publik berganti nama menjadi “Komite Pengampunan Publik”. Sebagaimana dicatat Ruth Scurr dalam Fatal Purity, Robespierre berusaha melindungi Desmoulins dengan mengusulkan agar Les Vieux Cordeliers cukup dibakar. Namun, sikap Desmoulins yang menolak usulan sobat masa kecilnya itu membuat dirinya sulit menahan serangan dari para anggota Komite lainnya.
Desmoulins dieksekusi pada 5 April 1794 bersama Danton, orang nomor satu di Konvensi Nasional yang didakwa melakukan korupsi dan menerima suap selama menjabat. Setelah kematian dua kompatriotnya itu, Robespierre praktis menjadi orang nomor satu di republik—untuk beberapa bulan. Eksekusi itu kelak diingat sebagai titik balik kariernya. Banyak kawan dan sekutu mendadak merasa nyawa mereka ada di ujung tanduk seandainya perjaka fanatik ini terus berkuasa.
Pada Juni 1794 Perancis telah aman dari serangan Austria. Namun Robespierre menolak membubarkan pemerintahan darurat. Ada alasan yang tepat untuk tidak cepat-cepat membubarkan aparatus teror: kemenangan Perancis terhadap Austria, tulis Marisa Linton dalam Choosing Terror: Virtue, Friendship, and Authenticity in the French Revolution (2013), tidak membuat situasi di Eropa lebih bisa diprediksi.
Penolakan itu dimanfaatkan sejumlah anggota Konvensi untuk menjatuhkan Robespierre. Ketika Robespierre jatuh sakit dan nyaris sebulan tak mengikuti rapat-rapat Komite, mereka tahu kesempatan emas itu ada di tangan.
Robespierre baru muncul lagi pada 26 Juli 1794 untuk berpidato di depan Konvensi Nasional. Pidato itu tak disambut baik. Ia dikecam sebagai diktator. Hari berikutnya, para anggota Konvensi memutuskan dengan suara bulat agar Robespierre, Saint-Just, Couthon, dan lainnya ditahan. Namun, tak satu pun penjara di Paris bersedia menerima mereka. Robespierre dan kamerad-kameradnya segera diselamatkan massa sans-culottes ke Hotel de Ville. Malamnya, hotel legendaris itu diserbu pasukan Konvensi Nasional. Dalam keributan itu, Robespierre tertembak, rahang kirinya hancur dan harus dibalut kain agar tidak lepas sampai keesokan paginya. Adiknya, Augustin Robespierre, diinjak-injak hingga badannya remuk. Para pelaku kudeta juga melempar Couthon dari kursi roda.
Peristiwa itu kelak dicatat sebagai Reaksi Thermidor (Réaction thermidorienne) atau Kudeta Thermidor yang kini telah menjadi kata ganti untuk menggambarkan revolusi yang dikhianati dan kembalinya tatanan politik yang dibesarkan rezim lama. Ironisnya, para pentolan Kudeta Thermidor bukan orang suci yang menginginkan teror berakhir. Mereka—di antaranya Jean-Marie Collot d'Herbois, Paul Barras, Louis-Marie Stanislas Fréron, dan Joseph Fouché—adalah orang-orang hipokrit yang memperkaya diri selama revolusi. Kecuali d'Herbois, mereka semua selamat hingga akhir revolusi. Fouché—Judas Iskariot dalam sejarah Perancis—menduduki posisi penting hingga dalam pemerintahan Napoleon. Ketika Napoleon tamat, ia bahkan mengkhianati sang kaisar dan masuk kabinet Louis XVIII, adik dari Louis XVI yang dikirimnya ke guillotine.
Robespierre melakukan kekejaman tidak biasa terhadap orang-orang luar biasa—ningrat, kaum kaya, dan aparatus istana Versailles. Komplotan Thermidor melakukan kejahatan luar biasa terhadap orang-orang biasa. Mereka, catat Marisa Linton, adalah alasan mengapa Robespierre mempertahankan rezim teror. Ia, sang incorruptible, berencana membersihkan pemerintahan dengan membikin perhitungan terhadap gerombolan oportunis ini.
Pada 28 Juli 1794, tepat hari ini 226 tahun lalu, Robespierre menghadap algojonya. Wajahnya tenang dan hanya terlihat muram tatkala mendengar sebilah pisau raksasa menggilas leher sang adik, Augustin. Sejengkal menuju maut, ia menjerit sangat keras ketika si algojo dengan kasar menarik perban yang membalut rahangnya.
Jeritan yang luar biasa keras, pilu, dan panjang itu, demikian Scurr dalam Fatal Purity, adalah“babak akhir dari seseorang yang menubuhkan revolusi ke dalam dirinya sendiri”.
Di pagi hari bertepatan dengan tanggal 10 Thermidor tahun ke-II Revolusi, pemuda canggung itu mati dengan wajah menatap ke langit. Ke guillotine.
Editor: Ivan Aulia Ahsan