tirto.id - Bagi saya, menyaksikan Napoleon (2023) tak ubahnya mendengarkan sebuah pengakuan dosa selama 158 menit. Ia adalah suatu pengakuan yang jujur, panjang, dan menguras perasaan. Sebuah pengakuan yang sukses mencapai tujuan utamanya secara optimal: meruntuhkan bangunan mitos-mitos dan menyiangi semua ode kepahlawanan yang disematkan ke pundak Napoleon Bonaparte.
Sebelum tersungkur dan meninggal dunia sebagai tahanan politik nun jauh di Pulau Saint Helena, dialahkonsul pertama dan kaisar yang memimpin Prancis selama 15 tahun (1799–1814), sang pengibar kedigdayaan panji biru-putih-merah yang menggentarkan seluruh daratan Eropa.
Ditulis oleh David Scarpa dan disutradarai oleh Ridley Scott, Napoleon mempertahankan ciri khas film kolosal yang bergerak dalam tempo lambat, mendalami karakter utamanya, dan mengeksplorasi kelindan cerita yang terjadi di dalamnya. Ia lalu ditutup dengan akhir yang gelap dan pekat dengan kehampaan.
Napoleon yang dihadirkan Ridley Scott dalam film ini adalah sosok manusia seutuh-utuhnya. Manusia dengan segala atribut karakteristik pribadinya sebagai suami, politikus, dan seorang jenderal di masa transisi penuh pergolakan. Dia adalah Napoleon yang pencemburu dan impulsif, laki-laki yang bertekuk lutut menghadapi ketegaran hati seorang perempuan yang seruncing karang sekeras gunung batu.
Di sisi lain, kita juga mendapatinya sebagai negosiator ulung, jenderal yang strategis, dan politikus yang lihai memainkan opini publik. Namun, dia toh bukannya tak bercelah. Bolehlah dia dikenal sebagao jenderal yang menggentarkan Eropa, tapi dia juga bisa tersungkur “ditikam” kawan seiring.
Ridley Scott membawa kita ke semesta di mana Napoleon gagal memenangkan tiga “pertempuran”.
Pertempuran Pertama
Napoleon dibuka dengan adegan legendaris: eksekusi Marie Antoinette dengan guillotine. Dalam peristiwa itu, Napoleon (Joaquin Phoenix) masih seorangkaptendi satuan artileri dari Korsika. Dia menjadi saksi yang berdiri diam di bawah panggung eksekusi, tanpa ekspresi, kecuali tatapan nyalang ke arah guillotine.
Krisis politik yang digambarkan dalam adegan-adegan berikutnya dimanfaatkan amat baik oleh Kapten Napoleon yang secara strategis dapat memetakan sejumlah ancaman eksistensial terhadap negerinya: pemerintahan teror Robespierre yang goyah, perekonomian yang suram, ditimpali ancaman penaklukan Inggris yang mulai mencari kesempatan dalam kesempitan.
Kapten Napoleon lalu menerima tugas untuk menyerang benteng Inggris di Pantai Toulon. Dengan strategi perang total yang tidak memberi kesempatan lawan membalas serangan, Napoleon berhasil meraih kemenangan yang gemilang.
Sudah tentu, kesuksesan itu lantas melambungkan pangkatnya dari seorang kapten menjadi brigadir jenderal.
Dari kemiliteran, kita lalu diajak melihat bagaimana Napoleon bergeliat di dunia politik. Beraliansi dengan Paul Barras (Tahar Rahim)--lawan politik Robespierre, Napoleon bermain politik dua kaki untuk menaiki tangga kekuasaan. Dia juga memanfaatkan ketidakpuasan mayoritas anggota parlemen terhadap pemerintahan teror Robespierre.
Selama sekira 20 tahun, Napoleon berhasil mempertahankan trajektori politiknya. Namun, kenaifan dan oportunisme membuatnya luput menduga datangnya pengkhianatan dari kawan seiring bertahun-tahun kemudian. Napoleon pada akhirnya terjungkal karena gagal dalam ekspedisi militer ke Rusia.
Kekalahan itu memberi celah bagi lawan-lawan politik Napoleon untuk memukulnya sehabis-habisnya. Di titik ini, Napoleon tak mampu mengantisipasi semuanya.
Pertempuran Kedua
Jauh hari sebelum kalah dalam pertempuran menghadapi bekas sekutu-sekutunya, Napoleon telah lebih dulu menghadapi pertempuran batin tatkala gagal menaklukkan kerasnya hati Josephine de Beauharnais (Vanessa Kirby), seorang janda perwira kerajaan yang terbunuh dalam ontran-ontran Revolusi.
Josephine pertama kali bertemu Napoleon dalam sebuah pesta dansa. Diaadalah perempuan dengan hati penuh kerahasiaan dan Napoleonmencoba membukanya selapis demi selapis.
Namun, kita menyaksikan bahwa dia tetap terperangkap dalam karisma istrinya itu. Begitu besar wibawa Josephine, sampai-sampai Napoleon tak berkutik saat dia membisikkan dialog terkuat di film ini, “Kau bukan siapa-siapa tanpa aku.”
Mereka memang bukanlah suami-istri pada umumnya. Ridley Scott menggambarkan hal itu dengan memperlihatkan hubungan Napoleon dan Josephine yang lebih banyak terjalinmelalui surat-menyurat. Dari itu pun kita bisa merasakan bahwa Napoleon menghadapi “benteng” yang hampir mustahil ditembus.
Napoleon bersurat terutama untuk mendapat sokongan moral dalam pertempuran-pertempuran yang dipimpinnya. Saat itulah, dialog Josephine di atas menunjukkan kekuatannya.
Kepribadian Napoleon makin limbung saat Josephine tak mampu memenuhi tuntutan posisinya sebagai istri kaisar: keturunan. Pada tahun ke-15 pernikahan, Napoleon dan Josephine akhirnya bercerai. Meski begitu, Josephine tetap menjadi sumber kekuatan moral bagi Napoleon.
Pertempuran Ketiga
Kegagalan Napoleon dalam pertempuran menaklukkan hati Josephine menjadi pangkal kekalahannya dalam pertempuran terakhir: merebut kepercayaan rakyat.
Setelah posisinya sempat dipreteli dan diasingkan ke Pulau Elba, Napoleon kembali ke Prancis untuk mencoba merestorasi kekuatan politiknya. Meski sempat dicegat di tengah jalan oleh pasukan Raja Louis XVII yang kembali ke takhta sesudah Restorasi Bourbon, Napoleon berhasil mengonsolidasi kekuatannya untuk 100 hari.
Napoleon yang sembrono lalu mencoba mengetes kekuatannya dengan menantang Prusia dan Inggris bertempur di Waterloo. Kesembronoan itu terbayar dengan kekalahan absolut. Pasukannya gagalmenjebol pertahanan Inggris dan malah dijepit oleh pasukan Prusia.
Kekalahan di Waterloo sekaligus menjadi pamungkas riwayat petualangan politik Napoleon di Eropa. Sebagaimana sejarah mencatat, Napoleon dikirim ke pengasingan yang lebih jauh dan terpencil.
Plot Napoleon secara keseluruhan sebenarnya berjalan linear. Namun, tempo yang merambat pelan membuat durasi dua setengah jam film inijadi agak menantang. Untunglah sentuhan sinematik Ridley Scott membuatnya jadi lebih enak ditonton.
Cara sang sutradara memvisualisasikan strategi perang Napoleon juga cukup memuaskan, terutama bagi penonton peminat strategi perang seperti saya. Perang total ala Napoleon berhasil digambarkan dengan epik, cerdik, dan tanpa ampun.
Seribu sayang, film kolosal ini ditutup dengan cara yang menurut saya kurang menarik. Sebagian penonton agaknya memang telah cukup mafhum pada sejarah Revolusi Prancis atau biografi Napoleon. Singkatnya, mereka tahu belaka bahwa Napoleon akan menghadapi akhir hidup yang suram lagi tragis.
Namun, hal itu tentunya bisa digambarkan dengan lebih layak dan menyatu dalam keseluruhan alur film, bukan dalam kredit teks yang terpisah.
Penulis: Chris Wibisana
Editor: Fadrik Aziz Firdausi