Menuju konten utama
Misbar

Killers of the Flower Moon: Keserakahan yang Meledak Jadi Petaka

Di film terbarunya, Martin Scorsese mengeksplorasi sifat serakah manusia yang mendorong mereka berbuat keji. Penuh kekerasan, tapi masih terukur.

Killers of the Flower Moon: Keserakahan yang Meledak Jadi Petaka
Header Misbar Killers of the Flower Moon. tirto.id/Tino

tirto.id - Gambaran mata dewa yang menggelegar, lalu montase film bisu hitam putih berjudul Bangsa Osage dan seorang lelaki Indian menggeliat di lantai dengan mulut berbusa. Itulah pembuka film Killers of the Flower Moon, karya terbaru dari Martin Scorsese.

Ditulis oleh Scorsese dan Eric Roth, Killers of the Flower Moon merupakan adaptasi dari buku nonfiksi berjudul sama karya David Grann. Melalui film ini, Scorsese membawa penonton menelusuri misteri pembunuhan berantai yang dialami oleh kaum Osage di Oklahoma pada awal abad ke-20.

Kisah dalam Killers of The Flower Moon merupakan bagian kecil dari sejarah kelam genosida nan berkepanjangan yang dialami oleh penduduk asli Amerika Utara sejak awal abad ke-17. Peminggiran dan genosida ini semakin intensif dilakukan ketika republik bernama Amerika Serikat didirikan pada abad ke-18.

Perebutan sumber daya alamlah yang menjadi titik kisarnya. Untuk memperjelas konteksnya, kita perlu tahu sejarah masyarakat Indian Osage di Oklahoma.

Masyarakat Indian Osage mulanya merupakan penghuni dataran di sekitar wilayah yang kini menjadi negara bagian Kansas. Pada dekade 1870-an, Pemerintah AS memaksa mereka meninggalkan Kansas dan pindah ke wilayah gersang berbatu yang hampir tidak berharga di timur laut Oklahoma.

Suku Osage lalu menjual tanah mereka di Kansas dan membeli tanah-tanah di Oklahoma. Jadi, mereka punya legalitas penuh atas propertinya di Oklahoma. Tanah-tanah suku Osage memang gersang, tapi pada 1894, kandungan minyak melimpah ditemukan di sana.

Dalam visual yang luar biasa, penonton dapat melihat para pria suku Osage menari saat minyak menghujani mereka dengan diiringi tabuhan musik bernuansa blues.

Minyak itulah yang mengubah nasib masyarakat Indian Osage kemudian. Lantaran tak bisa melakukan penambangan sendiri, mereka lantas menyewakan tanah-tanahnya kepada para pengusaha tambang kulit putih. Dari royalti yang didapat atas eksploitasi minyak bumi di tanahnya itulah masyarakat Osage mencapai kemakmurannya.

Minyak bumi berlimpah dan kekayaan tentunya turut menarik perhatian migran bangsa kulit putih untuk ambil bagian. Bangsa Osage juga mengontrol kepemilikannya sehingga orang kulit putih hanya boleh memiliki tanah peternakan atau pertanian.

Hal-hal itulah yang melatari dinamika hubungan masyarakat Osage dan orang-orang kulit putih di Oklahoma sebagaimana ditampilkan di film.

Keserakahan Terselubung

Penonton dibawa menyusuri kisah kelam ini melalui narasi yang disuarakan dengan nada perih oleh karakter utama Mollie Kyle (Lily Gladstone), seorang wanita kaya dari suku Osage di Fairfax, Oklahoma.

Dialah yang menyebut nama-nama korban pembunuhan dari kaum Osage yang tak pernah mendapat keadilan. Mereka ditampilkan secara bergantian dalam montase gambar hitam-putih dan berwarna. Scorsese agaknya menggunakan teknik ini untuk menyampaikan pesan bahwa ada yang tidak beres dalam tragedi ini.

Selanjutnya, film akan membawa penonton menelusuri misteri pembunuhan berantai yang dialami oleh kaum Osage.

Tentu saja, sebermula adalah persoalan minyak. Tema ini memang klasik dalam konstruksi sejarah AS dan seakan tidak ada habisnya sebagai inspirasi kisah. Mulai tentang eksploitasi yang dilakukan oleh orang kulit putih, persinggungannya dengan kehidupan penduduk asli benua tersebut, hingga cerita romansa yang meliputinya.

Killers Of The Flower Moon mengontekstualisasikan persoalan minyak itu dengan latar awal abad ke-20, saat pergeseran konsep kekayaan terjadi dalam masyarakat AS. Di masa itu, orang tidak lagi mengincar lahan pertanian lantaran minyak menjadi lebih menjanjikan kekayaan.

Film berpusat pada sekelompok karakter yang tinggal di sekitar Kota kecil Grey Horse dan Fairfax. Di sana, tinggal seorang janda tua Osage bernama Lizzie (Tantoo Cardinal) dan putri-putrinya, Mollie, Minnie (Jillian Dion), Rita (Janae Collins), dan Anna (Cara Jade Myers).

Di sekitar mereka, ada William Hale (Robert De Niro), seorang pemilik peternakan. Di permukaan, Hale dikenal hidup makmur dan ramah. Dia juga membina hubungan yang hangat dengan kaum Osage—bahkan bisa berbicara dalam bahasa mereka.

William memiliki keponakan bernama Ernest Burkhart (Leonardo DiCaprio) yang baru saja kembali dari Perang Dunia I.

Melalui karakter William-lah Scorsese menebar petunjukkan tentang akar nasib buruk yang menimpa komunitas Osage: keserakahan.

Kepemilikan lahan dan bisnis peternakannya terbilang sukses rupanya belum cukup bagi William. Lahan yang dia miliki memang dipenuhi ternak dan menguntungkan, tapi tandus dalam hal minyak.

Hal itu lalu dikontraskan dengan lahan milik orang Osage di sekitarnya yang dipenuhi anjungan minyak. Di balik perangainya yang ramah di permukaan, William rupanya memendam ambisi besar. Ambisi itu demikian besarnya hingga dia rela membakar lahannya untuk menipu asuransi dan tega melakukan hal-hal keji terhadap kaum Osage dengan bantuan Ernest.

Tindakan itu pun bukanlah komitmen individunya belaka lantaran banyak orang kulit putih serakah yang juga mengikutinya. Plot demikian itu menjadikan film ini sebagai karya Scorsese yang paling epik sepanjang karirnya.

Parade Kekerasan

Seperti umumnya film Scorsese, Killers Of The Flower Moon penuh dengan adegan dialog yang cukup panjang. Di tangan sineas lain, teknik ini mungkin sekadar jadi penopang eksposisi. Namun, Scorsese menjadikannya salah satu kekuatan terbesarnya sebagai pencerita ulung.

Bagi Scorsese, dialog bisa diolah sebagai pilihan gaya penceritaan. Sekuens dialog dimanfaatkannya dengan maksimal untuk memberi kedalaman dan terkadang membangkitkan empati penonton. Penonton jadi lebih cepat beradaptasi dengan karakter-karakter yang berseliweran di layar lebar.

Di film ini, Scorsese juga menggunakan banyak sudut pandang penceritan—sesuatu yang jarang dilakukannya. Cara ini, menurut saya, sangat efektif untuk mendekatkan penonton dengan Mollie dan komunitas suku Osage.

Selain itu, Scorsese melakukan ini karena sumber buku yang ditulis oleh Grann memiliki spektrum yang amat luas. Pun lebih luas daripada karya-karya Scorsese sebelumnya.

Menurut opini yang mengulas buku ini, Killers Of The Flower Moon sampai pada proposisi mengerikan yang menyatakan bahwa ada genosida terhadap kaum Osage dengan korban mencapai ratusan orang. Banyak dari mereka hilang dan kasusnya tak pernah diusut tuntas oleh kepolisian setempat.

Mereka dibunuh lantaran memiliki aset yang amat menggiurkan bangsa kulit putih. Jika seorang wanita Osage tiba-tiba meninggal karena kecelakaan mengerikan atau penyakit yang tidak bisa dideteksi, kepemilikannnya akan jatuh kepada orang terdekat yang dalam hal ini adalah suaminya yang berkulit putih.

Dalam beberapa hal, Scorsese juga menggunakan beberapa elemen yang pernah dipakainya di film Goodfellas. Bagi yang sudah akrab dengan karya Scorsese, adegan pertemuan sekelompok pria kulit putih yang membahas rencana pembunuhan kaum Osage akan mengingatkan pada adegan perencanaan massa dalam film Goodfellas.

Tak sekadar pengulangan, adegan pertemuan itu rupanya bisa memberi kesan lebih kalam dengan konteksnya saat ini. Pasalnya, para pria kulit putih itu bukanlah mafia atau kriminal seperti dalam Goodfellas, melainkan tokoh-tokoh masyarakat Fairfax yang terpandang dan dianggap kawan oleh kaum Osage.

Didukung dengan penerapan tone gelap dan musik latar yang membuat detak jantung berdebar, adegan ini seolah-olah menjadi pertanda akan datangnya malapetaka bagi kaum Osage.

Sekali lagi, inti dari kisah Killers Of The Flower Moon adalah keserakahan orang kulit putih. Para pembunuh dalam film ini bukanlah psikopat yang mengambil nyawa manusia demi kesenangan. Mereka adalah orang biasa yang dibutakan keserakahan hingga bersedia melakukan apa saja untuk mendapatkan keinginannya.

Singkatnya, ambisi kekayaan telah merusak moralitas mereka. Di sisi sebaliknya, kita juga bisa melihat bagaimana kekayaan menggerogoti jiwa orang-orang Osage.

Lantaran tema yang diangkatnya, Killers Of The Flower Moon tentulah menampilkan adegan-adegan penuh kekerasan dan darah. Scorsese sebenarnya sudah sering menggunakan kedua elemen ini dalam film-filmnya. Meski begitu, Scorsese agaknya mencoba untuk tidak berlebihan sehingga masih cukup aman untuk penonton yang tak biasa.

Killers of the Flower Moon juga bukanlah film Martin Scorsese yang paling penuh kekerasan. Namun, ia tetap menampilkan elemen kekerasan yang menjadi kekhasan Scorsese, seperti potongan tengkorak yang terlepas dari kepala seorang korban.

Tak bisa dipungkiri juga film ini amat “terkendali” dalam menampilkan kekerasan eksplisit jika dibandingkan dengan film-filmnya yang terdahulu. Dengan pendekatan seperti itu pun, Killers of the Flower Moon tetap saja merupa serangkaian aksi kekerasan nan panjang—sebuah cobaan untuk mereka yang ingin menonton.

Baca juga artikel terkait MISBAR atau tulisan lainnya dari Wiwid Coreng

tirto.id - Film
Kontributor: Wiwid Coreng
Penulis: Wiwid Coreng
Editor: Fadrik Aziz Firdausi