Menuju konten utama

Seni Menertawakan Feodalisme Ala We're Broke, My Lord

We’re Broke, My Lord" (2023) menceritakan perjuangan pemuda desa yang mendadak menjadi pewaris kekuasaan di tengah kritik terhadap feodalisme.

Seni Menertawakan Feodalisme Ala We're Broke, My Lord
JFF Main Poster. foto/JFF

tirto.id - Seorang pemuda kampung, anak pedagang salmon asin yang bercita-cita menjadi pedagang seperti ayahnya, mendadak dijemput pasukan istana untuk menghadap penguasa setempat. Alih-alih diperlakukan semena-mena, sang pemuda mendapatkan penghormatan yang tak biasa, jika bukan pada tempatnya.

Para penjemput membungkukkan badan sejak si pemuda menampakkan diri sepulang dari pasar. Dalam perjalanan menuju kediaman penguasa, orang jemputan ini diarak naik tandu, tidak dibiarkan berjalan kaki di terik siang, sekalipun pelayanan itu membuatnya muntah-muntah. Sesampainya di tujuan, para petinggi menyambut sang pemuda seolah menyambut pahlawan yang baru pulang membawa kemenangan.

Dalam suasana yang kikuk dilingkupi penasaran, Koshiro Magaki, pemuda kampung nan lugu itu, akhirnya tahu bahwa ia bukan putra seorang pedagang salmon asin, melainkan merupakan anak kandung tidak resmi Daimyo Ikkosai, penguasa Nibuyama.

Berhubung sang ayah hendak pensiun dan dua kakak tirinya yang masih hidup tidak bisa diandalkan, Koshiro terpaksa “ditumbalkan” untuk menjadi pemimpin Nobuyama selanjutnya.

Koshiro tidak hanya mewarisi seluruh kekuasaan ayahandanya, tapi juga seluruh utang-utangnya yang menggunung. Beberapa hari kemudian, pemerintah pusat di Edo memberitahu pemimpin muda ini bahwa bahwa ayah yang baru dikenalnya beberapa hari lalu ternyata punya tunggakan setara 10 juta yen.

Pemerintah pusat tidak peduli soal siapa yang berutang. Masalah itu mesti diselesaikan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya oleh pemimpin Nobuyama sekarang, siapa pun orangnya. Jika tidak, pilihannya cuma satu: Koshiro tinggal menunggu waktu untuk melakukan hara-kiri.

We're Broke, My Lord Film Poster

We're Broke, My Lord Film Poster. foto/JFF

Ikhtiar melunasi utang sekaligus menghindari hara-kiri inilah yang kemudian menjadi inti cerita We’re Broke, My Lord (2023), salah satu film yang diputar di gelaran Japanese Film Festival (JFF) Online 2024.

We’re Broke, My Lord merupakan alih wahana dari novel Daimyo Tosan (2019) atau Pemimpin Bangkrut karangan Jiro Asada. Film berdurasi 2 jam ini dibintangi nama-nama seperti Aoi Miyazaki, Kôichi Satô, Tadanobu Asano, Hana Sugisaki, dan Ken'ichi Matsuyama. Pemain utama, Kamiki Ryunosuke, dikenal sebagai bintang cilik ternama sebelum menjadi salah satu aktor populer Jepang saat ini.

Sejak awal, film besutan Maeda Tetsu ini terlihat berusaha menertawakan kemapanan, terutama soal harga diri samurai dan feodalisme.

“Majikan macam apa yang membuat pengawalnya sampai-sampai harus bersedia mengakhiri hidup?”demikian pertanyaan yang meluncur dari Koshiro kecil, saat ayah tirinya si penjual salmon asin mengajarkan prinsip hidup seorang samurai di sela-sela latihan pedang.

Para pejabat istana, yang dipercaya oleh rakyat sanggup memberi mereka jaminan akan kehidupan yang sejahtera dan layak, ternyata didominasi oleh orang-orang penakut, culas, dan korup.

Orang-orang ini, yang selalu berusaha menjunjung dan mempertahankan nilai-nilai tradisional (baca: feodalisme) sama sekali tak punya integritas dibandingkan raja mereka yang baru: seorang anak dusun yang tampang dan perilakunya mengesankan orang culun.

Sebagai film fiksi dengan latar tahun 1840-an, film ini relevan untuk menertawakan sekaligus mengkritik kekuasaan yang ugal-ugalan di negeri mana pun.

Kisah tentang seorang ayah sekaligus mantan penguasa, yang meminta penerusnya untuk mengikuti kehendak dan skenarionya dalam mengorbankan rakyat banyak demi kepentingan segelintir elit, rasa-rasanya selalu kontekstual, bukan?

“Saya mendapat pelajaran soal keluar dari jerat utang lebih baik daripada humornya, tetapi warna komedinya lebih lucu ketimbang yang saya bayangkan. Sungguh menyenangkan melihat motif kain lama dalam pakaian berwarna setelah melihat hal yang sama dalam nuansa hitam putih film-film Kurosawa,” ungkap salah seorang penonton di kolom testimoni.

Sebagaimana film-film lain yang diputar dalam gelaran Japan Film Festival 2024, We’re Broke, My Lord tersedia dalam 14 bahasa: Indonesia, Arab, Italia, Portugis (Brasil), Hongaria, Burma, Spanyol, Vietnam, Melayu, Thai, Cina, Jerman, Perancis, dan Inggris.

JFF Online 2024 diselenggarakan mulai 5 Juni hingga 3 Juli 2024, dibagi ke dalam dua sesi. Sesi pertama berlangsung mulai 5 hingga 19 Juni, menayangkan film. Sedangkan sesi dua berlangsung pada 19 Juni hingga 3 Juli 2024, khusus memutar serial drama TV hingga 20 episode.

Japanese Film Festival pertama kali digelar pada 2016 dengan tujuan untuk menghibur dan membantu orang-orang melalui film Jepang berkualitas. Di awal penyelenggaraan, JFF diadakan di Cina, Rusia, India, dan Brasil.

Tahun ini, JFF digelar secara daring, berlangsung di 27, termasuk Indonesia. Gelaran JFF Online 2024 bisa dinikmati di tautan ini.

(INFO KINI)

Penulis: Tim Media Servis