tirto.id - Menertawakan polah kaum kaya belum jadi kegiatan basi, bahkan mungkin tak bakal pernah kedaluwarsa. Dalam ranah serial TV hari-hari ini saja, kita bisa dengan mudah mendapati judul-judul populer yang menjadikan para kaum elite bak tontonan sirkus, mulai dari Succession hingga The White Lotus.
Maka bagaimana bila sirkus serupa dihadirkan dalam semesta fiksi Edgar Allan Poe yang dipenuhi sederet elemen supranatural, suasana creepy, kejanggalan, dan misteri?
Itulah yang coba dilakukan The Fall of the House of Usher. Serial pendek yang dikreasikan sineas spesialis horor Mike Flanagan ini tak sekadar menghadirkan dunia hororgothic biasa, tapi juga mencomot sejumlah referensi dari Poe, mulai dari nama-nama karakternya hingga adegan dan narasi dari cerpen, puisi, bahkan kehidupan nyata sang pengarang misteri kenamaan.
Titik mulanya diangkat dari cerpen Poe yang berjudul sama yang dipublikasikan pada 1840. Flanagan lantas mencomot beberapa elemen dari cerpen itu, di antaranyakarakter duo kembarRoderick Usher (Bruce Greenwood) dan Madeline Usher (Mary McDonnell). Flanagan juga mencomot elemen dari karya-karya Poe yang lain dan memadupadankannya dalam kisah baru nan kompleks.
Maka The Fall of the House of Usher tak ubahnya drama keluarga kaya kekinian dengan latar semesta karya-karya Poe.
Keluarga Usher adalah keluarga kaya yang dituding menjalankan bisnis farmasi tidak etis. Selama 40 tahun, Keluarga Usher dan bisnisnya selalu lolos dari tuduhan dan dakwaan apa pun. Keluarga Usher punya enam anak yang terlahir dan tumbuh dengan “sendok perak” di mulut mereka. Namun,mereka satu-persatu tewas gara-gara campur tangan Verna (Carla Gugino), sosok misterius yang pernah mendatangi dua saudara Usher pada masa lampau.
Kisah Penumbalan dalam Struktur Teratur
Dengan pembukaan itu, The Fall of the House of Usher terlihat menggebrak dan menjanjikan.Lalu, apakah ia mampu menjaga momentum dan terus menggebrak hingga akhir?
Itu bukan tugas yang mudah, pun terdengar cukup ambisius untuk kisah yang punya belasan karakter utama.
Setiap anak Keluarga Usher ditampilkan secara karikatural. Masing-masing dari mereka tentunya berlaku dan berlagak laiknya kaum yang memiliki begitu banyak uang dan kuasa. Mereka jelas tamak dan amat terbiasa dengan perilaku-perilaku yang tergolongkink, mulai dari orgy, cuckold, hingga penyelewengan.
Untuk urusan kuasa, anak-anak itu bisa dikatakan berada dalam dimensi yang sama. Nyaris seluruhnya ditampilkan sebagaiorang yang mendominasisiapa pun di sekelilingnya semata karena mereka anak-anak Keluarga Usher. Semua menunjukkan bahwa mereka bukan orang baik, bahkan yang paling baik sekalipun minimal menyimpan monster dalam diri.
Mereka bukan hanya tak punya empati, tapi juga tak punya banyak emosi. Ini barangkali pilihan penulisan belaka, alih-alih kegagalan. Bisa jadi juga, mereka ditulis sedemikian rupa karena ini adalah serial horor.
Satu hal yang pasti, sedari mula kita ditunjukkan struktur yang terang: satu anak Keluarga Usher bakal mati pada setiap episode. Ini bisa jadi membosankan. Namun, Flanagan dan timnya tahu belaka bahwa mereka mesti menghadirkan momen kematian yang distingtif, brutal, dan memiliki relevansi dengan gaya hidup dan kepribadian masing-masing.
Itulah menu utama serial ini yang penggambarannya sekhayalwaralabaFinal Destination. Setiap anak Keluarga Usher menjemput kematiannya dengan cara yang tak tertebak dankadang cukup konyol. Ada yang bisa dibilang “spektakuler”, tapi ada juga yang agak datar. Episode tewasnya Victorine LaFourcade (T'Nia Miller), misalnya, terbilang sukses meninggalkan kesan yang penuh rasa tak nyaman.
Paling tidak, kematian yang rutin menghampiri di setiap episode itu berhasil dikembangkan jadi alur yang dinamis. Perubahan situasi yang terus terjadi juga membuka banyak kesempatan untuk mitigasi, kerja bersih-bersih, penyelidikan, dan juga kehadirian karakter Arthur Pym (Mark Hamill).
Pada saat bersamaan, The Fall of the House of Usher perlahan menyibakkan poros utama ceritanya: bahwa anak-anak Keluarga Usher sebenarnya ditumbalkanoleh Roderick dan Madelline kepada Verna yang menjanjikan mereka dunia.
Di sela-sela kematian dan lini masa yang bergerak maju-mundur, dialog panjang pengakuan Roderick pada Auguste Dupin (Carl Lumbly) jadi kunci. Pengisahan detail kematian dan kronik masa lampau jadi pokok penuturan yang memberikan banyak motif dan kedalaman. Ia juga memberi ruang bernapas di antara peristiwa-peristiwa kematian yang intens.
Kisah penumbalannya sendiri berangkat dari pemikiran yang bisa dikatakan logis. Pilihan Roderick dapat dikaitkan dengan materialisme atau kapitalisme yang membutakannya. Berbagai teori dan retorika dari para pemikir ulung mana pun rasanya bakal kepayahan menembus pola pikir sang kepala Keluarga Usher yang telah mencicip perih dan putus asanya kehidupan.
Jelang akhir hayat mereka, muncul pertanyaan di benak dua saudara Usher: apakah mereka bakal tetap melakukan bisnis tak etis yang mengorbankan jutaan nyawa tanpa Verna?
Seperti halnya Roderick yang motifnya bisa dipahami, Madeline juga punya pembenaran (dan poin) atas pilihannya: bahwa di tangan laki-laki manapun, uang berlimpah hanya bakal digunakan untuk meriset potensi viagra, alih-alih meringankan beban jutaan manusia.
Pada akhirnya, keseluruhan naratif setidaknya tetap mengambil sikap: bahwa pilihan-pilihan dua saudara Usher adalah contoh keliru. Sebabnya, serial telah menunjukkan “pesan moral” pada setiap episodenya, seringkali melalui Verna—kendati sosok misterius ini mendaku bukanlah penjaga moral. Verna juga adalah sosok yang mengkritik kemanusiaan: satu spesies yang menciptakan konsep uang, yang bisa menyelesaikan banyak masalah dengannya, tapi memilih untuk abai.
Serial juga menunjukkan bahwa masih ada anggota keluarga Usher yang bakal berbuat kebaikan dengan warisan melimpah. Bahwa kejahatan, dalam serial ini, nyaris didominasi mereka yang bernama belakang Usher saja—cukup optimistis bahwa tidak semua orang akan begitu bernafsu menggapai pucuk dunia bila dihadapkan dengan kans yang besar serta modal tak terputus.
Menjumpai Ragam Wajah Horor
Flanagan membuktikan diri sebagai penulis dan kreator serial yang peka melalui berbagai sisipan kritik pada kemanusiaan—terutama mereka yang berkuasa. The Fall of the House of Usherpun masihlah sajian horor yang pantas. Seluruh jumpscare-nya efektif, tidak berlarut-larut, dan tak pernah kelamaan dibangun.
Lebih dari itu, untuk urusan horor pun sang kreator terasa cukup versatile. Beberapa adegan penghantar kengeriannya memanglah menyeramkan, juga kerap variatif. Bila yang satu kurang menyeramkan buatmu, yang lain barangkali bisa beresonansi dan lebih bikin terperanjat.
Untuk beberapa alasan, adegan Roderick menyamakan diri dengan Victor Frankenstein jadi horor yang lebih berlapis. Belum lagi sebaran horor yang condong ke arah psikologis, semisal tema obsesi pada hidup abadi yang ditampilkan dengan berbagai cara, mulai dari metode pengawetan kuno untuk mayat maupun yang lebih “Black Mirror-esque” dengan terlibatnya kecerdasan buatan. Ini bikin serial jadi punya senjata yang variatif, tak semata bertumpu pada sifat gothic horror-nya.
The Fall of the House of Usherdidukung akting yang pantas. Seluruh versi karakter dari masa lampau dimainkan dengan meyakinkan. Demikian halnya sebagian besar karakter utamanya pada lini masa terkini.
Carla Gugino jadi yang paling menonjol berkat kemampuannya menjangkau spektrum emosi dan watak yang luas untuk banyak rupa Verna yang dia perankan. Bruce Greenwood sebagai wajah utama kisah ini mampu menjaga ketertarikan penonton berkat karisma bahkan vokalnya saat menarasikan kisah. Sementara itu, Mary McDonnell berhasil membawakan karakter yang bukan sekadar girlboss, tapi juga merasuk pada tiap-tiap perkataan dan pembawaannya.
Penampilan mereka tentunya juga terbantukan pilihan lines yang puitis dan dialog yang dramatis. Meski begitu, ada juga kekurangannya, yakni kadang kelewat berlama-lama menyampaikan poin dan malah jadi terlampau dramatis.
Visual semestanya tentu tak mengecewakan. Ia didukung desain produksi yang mewah dengan suasana “mahal” yang berbeda pada setiap latar. Semua itu demi menghadirkan kontras kenyamanan untuk kisah yang menghadirkan perasaan sebaliknya. Diikuti tata rias plus special effects yang jitu untuk menghadirkan kengerian yang meyakinkan.
Music score garapan The Newton Brothers rasanya tak cukup spesial untuk berdiri sendiri, tapi masih melayani audio serial dengan baik. Sesekali dimainkan musik klasik untuk menonjolkan kemewahan, yang baiknya, terasa tak berlebihan.
Beberapa preferensi lagu yang dimasukkan justru bisa dipertanyakan. Ambil contoh lagu-lagu dengan sound yang terkesan kurang mewah untuk sekuens pesta yang biaya masuknya saja 20 ribu dolar. Semua juga paham Trent Reznor dan Atticus Ross mampu menciptakan sound yang bisa mengelevasi kekerenan karya, lihat saja dalam film terbaru TMNT.
Adapun ketika serial memasukkan "Closer" dari band Reznor & Ross, yakni Nine Inch Nails. Ia ada di situ tampaknya bukan karena kesadaran akan bebunyian, melainkan sekadar karena lirik yang harfiah untuk mendukung adegan (dengan "I wanna fuck you like an animal" saat pesta orgy dan "You get me closer to God" tatkala menyongsong kematian tragis). Jangan lupakan juga untuk menyetel "Another Brick in the Wall"-nya Pink Floyd saat ada adegan mengubur orang di balik dinding.
Meski agak klise, kelemahan yang lebih terasa pada serial justru bisa ditemukan pada formatnya. Terutama, pada banyaknya karakter (berangkat dari “hobi” Roderick bikin anak) yang masing-masing memiliki arctersendiri. Jangankan untuk membangun minat, mengingat masing-masing mereka pun perlu waktu.
Untungnya, Flanagan sadar akan kelemahan itu. Maka dia pun menambalnya dengan pembagian tugas, keterampilan, bahkan perbedaan aksen untuk masing-masing anggota Keluarga Usher.
Kisah yang demikian padat setidaknya cukup sukses dirakit dengan rapi, diarahkan dengan baik oleh Flanagan sendiri dan sutradara Michael Fimognari. Meskipun bobot antara satu alur dengan yang lain tak setara, tapi masih terbilang konsisten. Dengan ragam tema penunjang berhasil diselesaikan, bahkan membuatnya lebih menarik untuk disaksikan ulang bila ingin mendalami lebih banyak reaksi maupun ekspresi yang hadir tatkala misteri belum terungkap dalam struktur penceritaan yang terbalik.
Kreativitas kengeriannya, baik yang didasarkan pada Poe atau yang benar-benar baru, pada akhirnya turut melengkapi kesolidan. Tampak adanya penghormatan mendetail untuk sang pengarang yang besar berkat gothic, macabre, dan misteri itu, bukan sekadar membonceng namanya agar serial bisa meraup lebih banyak penonton. Kombinasi beragam kengerian berlapis, baik yang natural maupun supranatural pun, dengan pengisahan merinci, tampaknya bisa dinikmati banyak kalangan bahkan untuk mereka yang tak betul-betul gemar ditakut-takuti.
Editor: Fadrik Aziz Firdausi