tirto.id - Blue Eye Samurai ialah serial animasi laga produksi Netflix Animation. Dikreasi oleh Amber Noizumi dan Michael Green (juga menulis naskah Logan dan Blade Runner 2049), ia mulai tayang sejak November 2023. Animasinya ditangani studio Blue Spirit dengan visual karakter yang gayanya mengingatkan pada Mulan atau Avatar.
Blue Eye Samurai mengangkut latar Jepang masa lalu dan sedari mula tampak tak main-main menggarapnya. Desain fesyennya cukup akurat tak hanya soal fungsinya, tapi juga sebagai tengara strata sosial. Begitu pun detail budaya lainnya, semisal arsitektur bangunan, kaligrafi, makanan, hingga aspek etiket atau kelas sosial. Pun seluruhnya direkatkan rapi ke dalam cerita.
Kau hanya perlu duduk tenang menyaksikan bergulirnya kisah Mizu, seorang rōnin dengan misi pembalasannya. Suatu trope kisah yang selewat tampak standar, tapi juga memanggul ragam isu penting lain, mulai dari soal ras, gender, dan identitas.
Sarat Karakter Mencolok
Pada periode Edo, tepatnya 1633, perempuan dianggap tak ubahnya dekorasi dan komoditas. Di masa itu, Jepang pun menutup total perbatasannya sehingga hampir tak ditemukan orang asing tersisa. Di masa itu pula, anak ras campuran dianggap bukan manusia.
Mizu (disuarakan Maya Erskine) mencontreng berderet “syarat” sebagai golongan rentan. Dia perempuan, bermata biru—anak ras campuran dari orang tua Jepang-Eropa, dan berjuang seorang diri. Singkatnya, dia adalah total underdog. Mata biru yang ditinggikan derajatnya di banyak tempat malah berlaku kutukan bagi Mizu, alih-alih berkah.
Blue Eye Samurai juga agak mengingatkan pada Samurai Champloo. Keduanya berbagi periode, trope rekan-sekaligus-rival, hingga pengadeganan yang tak jauh beda. Satu kesamaan lain, sebagaimana banyak kisah samurai atau koboi, ialah format cerita kembara.
Mizu dikisahkan tengah memburu lelaki kulit putih yang menghamili ibunya—sekalian menjadikannya bermata biru dan dianggap monster. Di tengah perjalanannya, Mizu bakal bertemu dengan orang-orang baru dan orang-orang dari masa lalu yang belum selesai urusannya. Dari situlah kemudian narasi berlanjut ke bingkai yang lebih besar.
Hikayat pendekar pedang dan urusan revans jadi poros cerita. Kita juga disuguhi sekuens pembuatan pedang Jepang yang lumayan banyak alokasi screentime-nya. Tak berhenti di perkara teknis menempa logam jadi pedang, ia juga digunakan untuk menyampaikan pesan-pesan filosofis, terutama yang berkait dengan kodrat sang karakter utama.
Dinginnya perjalanan menuju Jepang utara yang beku dihangatkan kehadiran karakter yang jadi semacam sidekick-nya Mizu, yakni Ringo (Masi Oka). Dia adalah seorang pembuat ramen difabel.
Keunikan Ringo tak lain karena dia menguarkan kesan karakter yang “lebih modern” dari zamannya. Tak ada perlakuan keji berlebih yang dia terima. Kita bahkan diajak untuk tertawa bersama dia, alih-alih menertawakannya. Darinya, kita malah sulit untuk membayangkan perlakuan macam apa yang diterima golongan disabilitas pada masa empat abad silam.
Selebihnya, kita disuguhi karakter-karakter jadul atau bayangan para penulis hari ini tentang bagaimana orang-orang masa lalu bersikap. Taigen (Darren Barnet) sekilas sama degilnya dengan penggambaran samurai kebanyakan. Obsesinya jadi yang terbaik nyatanya tak menghilangkan penghormatannya pada rival.
Di dunianya para laki-laki tua konservatif, muncul sosok seperti Seki (George Takei). Sosok tua ini sejatinya adalah orang tua kebanyakan di zaman Edo, tapi rasionalitas dan setitik empati membuatnya jadi berbeda ketimbang orang-orang tua lain. Secara pemikiran, dia bisa dibilang agak lebih maju, tapi juga tidak sampai melampaui zamannya.
Blue Eye Samurai bersikeras bahwa akan selalu ada individu berbeda yang berdiri tegap menentang kekolotan zamannya. Dan bila membicarakan karakter yang mampu mencuat di tengah dunia yang sangat tertutup dan konservatif, tentu jangan lupakan karakter Putri Akemi.
Isu Perempuan di Dunia yang Sangat Kolot
Akemi (Brenda Song) adalah putri seorang bangsawan lokal. Dia berasal dari kutub yang berlawanan dari Mizu. Dia adalah representasi dari perempuan berdaya yang hidup di masa ketika perempuan hampir tak punya pilihan untuk kehidupannya sendiri.
Akemi digambarkan dengan banyak meminjam arketipe femme fatale. Sebagai perempuan berpendidikan, Akemi tak sebatas berkhayal untuk punya hak atas hidupnya sendiri. Demi mencapai kebebasannya, dia tak segan memanfaatkan situasi sekalipun mesti menyamar sebagai pekerja seks.
Di episode 4 (berjudul "Peculiarities"), penonton diajak memasuki bingkai kisah prostitusi untuk mengeksplorasi lebih jauh soal perempuan dan opsi yang mereka miliki. Ia menekankan kejinya patriarki yang berlaku saat itu.
Episode yang sama juga menyisakan misteri. Satu momen khusus saat penggunaan istilah bisa jadi teka-teki pemantik diskusi. Menariknya, dengan atau tanpa diskusi pun, momen yang sama bisa dikembalikan pada satu gagasan pokok: perkara perempuan yang tak punya pilihan atas hidupnya sendiri.
Bila Akemi dan sederet karakter pekerja seks tampak sudah cukup mengemban karakter sebagai perempuan berdaya, serial ini toh tak meminggirkan Mizu. Plot yang disingkap perlahan menunjukkan bahwa dia sempat hidup bahagia dalam pernikahan. Lebih banyak lapisan yang disingkap dengan gemilang justru kian menambah baluran luka dan beban segunung yang dipanggul sang karakter utama.
Serial menegaskan bahwa ini kisah seorang perempuan yang dicap khalayak sebagai onryō (hantu atau makhluk yang ditakuti) yang menjadi janda secara tragis. Si terbuang dengan kerentanan berlapis yang coba berdaya merebut kembali hidupnya.
Meski begitu, Mizu tidak digambarkan secara preachy. Label antiheronya Mizu, misalnya, bahkan dapat berubah jadi antivillainsaat dia membiarkan Akemi dinikahkan paksa. Si kalah ini juga seorang manusia yang kadung lelah, yang kisah dan keputusannya senantiasa kompleks.
Serial juga tak sungkan-sungkan menampilkan balutan erotisme. Satu festival penuh ketelanjangan ataupun panduan seks dengan art style ukiyo-e, barangkali sekadar jadi dekorasi untuk keterkaitan naratif pada latarnya. Namun, adegan seks atau erotis sering kali juga merupakan cara untuk unjuk keberdayaan, jadi pameran hasrat maupun sifat manusia sendiri.
Menjaga Mistika Kisah Samurai
Tak ada hal yang benar-benar baru dan orisinal. Ketimbang mengejar hal itu, yang lebih penting justru menjadi otentik. Blue Eye Samurai jelas bisa dibilang demikian. Ia sanggup bikin penonton bertahan sejak episode pertama.
Tentu akan butuh sejumlah sarjana sejarah Jepang, terutama para pakar periode Edo, untuk memverifikasi akurasinya. Namun, bagi penonton biasa seperti saya, kesan yang segera terbit justru hasil upaya keras para kreator serial menghormati aspek sejarahnya.
Seluruh elemen budaya Jepang era Edo ditampilkan cukup efektif, mulai dari referensi singkat untuk renga dan haiku, sumo, harakiri, ataupun ohaguro. Bahkan di episode 5 (The Tale of the Ronin and the Bride), ada bunraku (teater wayang) yang digunakan secara maksimal sebagai bentuk naratif untuk salah satu segmennya.
Yang tak mendarat dengan sempurna dari Blue Eye Samurai memang bukanlah akurasi sejarah dan budayanya, melainkan detail sepele atau perkara teknis. Perkara detail yang agak mengganggu itu di antaranya Ringo yang dapat memegang sumpit dengan tangannya yang buntung, tak adanya pembedaan warna atau suasana bagi kisah masa kini dan masa lalu di episode 4, juga pertempuran pada episode finale yang terkesan agak diseret durasinya.
Kekurangan-kekurangan itu untungnya dibayar dengan sekuens-sekuens lain yang seru. Kita bisa lihat kreativitas dalam adegan pertempuran dengan gore yang bermakna maupun perbedaan aliran bela diri yang kentara berkat arahan koreografinya, juga pilihan set kelahinya yang unik, atau intensitas aksi di kastil Abijah Fowler yang berdesain bak dungeon.
Sudut-sudut penangkapan gambarnya kerap kali menyerupai live-action, alih-alih animasi. Lebih dari soal bikin spektakel heboh, yang mungkin bisa dibicarakan sejajar Spider-verse atau Star Wars: Visions, visualnya pun membantu untuk cepat bikin terasa nyaman dalam mengikuti naratifnya.
Sound design serial ini secara keseluruhan juga menonjol, dari ihwal denting logam dan baja, hingga gema momen penempaan katana. Jangan lupakan pula music score arahan komposer Amie Doherty.
Bebunyiannya tentu bisa dikategorikan oriental, tapi juga tak berlebihan. Ia bisa terdengar heroik maupun penuh suspens ketika dibutuhkan. Ia serius, tapi juga tak lupa untuk jadi agak nyeleneh berkat pilihan lagu asik, seperti "For Whom the Bell Tolls"-nya Metallica versi Jepang hingga "Jeannie, Jeannie, Jeannie" versi rockabilly oleh The Stray Cats.
Saya jelas tak bisa mewakili pandangan perempuan, pun bias akan kegemaran pada karakter yang badass. Namun, Mizu sangat mudah dikategorikan sebagai karakter hero atau antihero paling keren yang hadir belakangan ini.
Salah satu faktor di baliknya jelas akting suara oleh Maya Erskine. Saya mengingat sang aktor sebagai wajah sekaligus orang di balik serial TV komedi PEN15. Karenanya, saya terkejut tatkala mendapati pembawaan dingin lagi dramatis dia sebagai Mizu.
Sebagian besar karakter juga ditopang akting suara yang sebenarnya tidak terlalu istimewa, tapi setidaknya nggak maksa. Beragam aksen Inggris hadir, meski beberapa di antaranya terasa agak janggal untuk dunia semacam ini.
Begitu pun bila pet peeve-mu adalah pelafalan kata Bahasa Jepang yang tak akurat. Secara umum, aktingnya tak cukup mengganggu, apalagi sampai mengurangi bobot dari dialog dan lines menohok.
Episode penutupnya bukanlah yang terbaik dalam serial, akibat twist lain lagi yang menyiratkan lebih banyak pertanyaan. Betul, ia bakal lebih mudah berlipat lebih mantap andai kisahnya paripurna di sini. Adapun para kreator serial tampaknya memang menyiapkan serial ini untuk berlanjut, dan menjadikan season perdananya ini sebagai fondasi.
Yang jelas, Blue Eye Samurai sejauh ini sukses menjaga mistika samurai dan pedangnya, serta kisah pembalasan dendam tetap tinggi derajatnya. Suatu kisah samurai yang baik, kisah yang baik, yang erat dengan kondisi dan situasi latarnya, seraya tetap membuatmu merindukan episode berikutnya kendati telah menyelesaikan episode finale.
Editor: Fadrik Aziz Firdausi