tirto.id - Bertempat di Plymouth, Massachusetts, adegan awal Thanksgiving menceritakan sekelompok remaja yang dipimpin oleh Jessica (Nell Verlaque) melompati pintu barikade massa di sebuah supermarket lokal bernama Right Mart sebelum Black Friday Sale resmi dibuka.
Beberapa jam sebelumnya, terjadi ketegangan antara pihak keamanan dan ratusan pengunjung yang sudah lama memadati halaman parkir supermarket. Mereka memaksa masuk karena ingin segera memborong barang-barang yang ditawarkan dengan harga murah.
Aksi Jessica dan teman-temanya menerobos pintu karyawan rupanya dilihat oleh seorang warga. Sontak, orang itu memprovokasi pengunjung lain untuk mendobrak pintu barikade.
Keamanan supermarket hanya ditenagai empat 4 orang. Tentu saja, mereka tidak mampu menahan serbuan massa. Situasi segera menjadi kacau dan tak terkendali. Black Friday Sale yang semula dimaksudkan untuk merayakan momen liburan thanksgiving pun berubah menjadi pertumpahan darah.
Kerusuhan tersebut menyebabkan tiga orang tewas dan puluhan lainnya terluka. Peristiwa tersebut tak ayal meninggalkan jejak kelam di benak warga Plymouth.
Satu tahun kemudian, Right Mart tetap buka dan mengadakan kembali Black Friday Sale seperti biasa. Thomas Wright (Rick Hoffman), sang pemilik supermarket, seolah tidak punya empati atas duka warga Plymouth yang belum sepenuhnya hilang.
Hal itu kemudian memancing reaksi penolakan dari warga setempat. Mitch Collins (Ty Olsson), salah satu staf keamanan Right Mart yang istrinya menjadi korban dalam insiden tersebut, memimpin aksi boikot Black Friday Sale bersama warga lainnya.
Sementara itu, Jessica dan teman-temannya berusaha untuk terhubung kembali setelah peristiwa berdarah itu. Mereka ingin membuat acara liburan di hari thanksgiving kali ini untuk melupakan insiden Black Friday Sale.
Namun, seorang pembunuh berantai bernama John Carver mengincar mereka dari kejauhan. Lewat pesan media sosial, dia mengancam mereka dengan menampilkan foto korban pembunuhan yang disajikan di tengah meja hidangan thanksgiving. Di sekelilingnya, tertulis nama Jessica dan kawan-kawan.
Bermula Grindhouse
Kisah Thanksgiving sebenarnya bermuala kala film kultus berjudul Grindhouse rilis pada 2007. Film besutan duet Roberto Rodriguez dan Quentin Tarantino itu merupakan bentuk penghormatan terhadap estetika film bergenre grindhouse yang sangat populer di dekade 1970-an dan 1980-an.
Film jenis ini mengacu pada film-film yang mengeksploitasi kekerasaan. Genre ini umumnya digolongkan sebagai film B dan sebagian besarnya diproduksi dengan anggaran rendah pun teknik yang buruk. Namun, uniknya, ia justru disukai dan menjadi populer.
Grindhouse sendiri berisi dua film berbeda, Planet Terror dan Deathproof, yang masing-masing disutradarai oleh Roberto Rodriguez dan Quentin Tarantino. Kedua film ini dirilis secara bersamaan dengan kemasan double featured.
Dalam proyek ini, mereka juga mengajak sejumlah sutradara tamu untuk menyumbangkan trailer parodi bergaya film horor imajiner 1970-an. Salah satu yang menjadi favorit adalah trailer dari Eli Roth berjudul Thanksgiving.
Selang 16 tahun, Eli Roth yang dikenal sebagai pembuat film-film slasher akhirnya mengembangkan trailer parodinya itu menjadi film panjang dan merilisnya tepat di hari perayaan thanksgiving pada November kemarin.
Bersama penulis Jeff Rendell, Roth telah membuat terobosan baru dalam film hororjenis slasher. Thanksgiving menunjukkan perhatian khusus dalam memadukan sensasi classic-horrorgrindhouse dengan sentuhan modern.
Sementara banyak filmmaker berupaya memberikan sentuhan drama dalam kisah horornya ketika ponsel pintar menjadi bagian tema dari filmnya, Roth justru sebaliknya. Dia secara langsung menggabungkan teknologi tersebut dengan perkembangan yang cerdas.
Mulai dari si pembunuh yang memperkenalkan dirinya dalam serangkaian postingan Instagram dan semakin mengganggu hingga akhirnya menggunakan layanan video call untuk memungkasi terornya yang dipenuhi dengan darah.
Sepanjang babak kedua film ini, konten komedi dan horornya tidak hanya meningkat, tapi juga saling mengangkat satu sama lain dengan cara yang sangat efektif.
Seperti beberapa momen terbaik dalam waralaba film Scream, berbagai adegan dalam Thanksgiving secara lihai menyeimbangkan keseruan yang bisa memberikan inspirasi.
Lensa sinematografer Milan Chadima mampu memberikan keheningan yang mencekam dengan mengandalkan pencahayaan alami. Penataan kamera yang sangat menawan ini terus dipertahankan sepanjang alur film, terutama saat menampilkan momen-momen provokatif. Bahkan ketika tempo yang dengan sengaja diturunkan untuk memberikan ruang kepada hubungan cinta segitiga Jessica dan dua teman prianya, tidak membuat tensi ketegangannya menurun.
Jika penonton merasa penggambarannya hambar dan mengaburkan cerita si pembunuh psikopat, ingatlah bahwa Thanksgiving bukan film thriller detektif yang rumit. Ia adalah film eksploitatif tentang pembantaian dengan plot yang sederhana.
Hal ini menunjukkan fokus yang luar biasa dari film ini. Roth dan Rendell tidak pernah menyia-nyiakan satu pun dari narasinya. Mereka selalu memastikan semuanya dilakukan dengan baik, dari adegan berskala besar di Right Mart hingga detail paling halus seperti cinta segitiga yang jauh dari kesan romansa.
Berbagai karakter pendukung, di antara teman-teman Jessica, juga tidak sekadar jadi elemen fungsional. Gabby (Addison Rae), Yulia (Jenna Warren), Evan (Tomaso Sanelli), dan Scuba (Gabriel Davenport) memberikan penampilan yang terbaik untuk menguatkan karakter Jessica sebagai target utama psikopat John Carver.
Thanksgiving juga membawa ide orisinal yang pernah dimunculkan dalam trailer parodinya dalam feature-film bergaya kontemporer. Semua scene dari trailer parodinya dijalin dan digunakan kembali dengan cara yang organik. Namun, Roth lebih menghaluskannya, terutama pada adegan trampolin di ruang basket.
Bagi saya, hal tersebut cukup mengejutkan, mengingat Eli Roth adalah seorang sineas yang setia dengan genrenya. Dia pernah muncul dalam Bravo’s 100 Scariest Movie Moments, sebuah serial dokumenter yang menceritakan momen-momen paling mengerikan dalam sejarah sinema horor berdasarkan penuturan dari pembuat film, aktor, pengamat dan penggemar.
Dia juga pernah mengajak sutradara film horor legendaris Italia, Ruggero Deodato(Cannibal Holocaust), menjadi cameo dalam film Hostel Part II.
Yang agak mengganggu kenikmatan menonton film ini adalah sensor. Lembaga Sensor Film (LSF) sebenarnya memberi rating 17+ untuk Thanksgiving. Meski begitu, mereka masih memotong beberapa adegan untuk penayangan di bioskop.
Itu tak menjadi masalah besar karena Thanksgiving kini bisa bersanding dengan trailer parodi lain, seperti Machete (2010) dan Hobo With A Shotgun (2011), yang sudah lebih dulu dibuat sebagai spin-off dari Grindhouse.
Penulis: Wiwid Coreng
Editor: Fadrik Aziz Firdausi