tirto.id - Akhir-akhir ini, hari-hari kita dipenuhi oleh persoalan serius tentang etika. Mulai dari tindakan para penyelenggara negara hingga ekspresi dukungan terhadap Palestina. Mulai dari pengabaian sistematis atas hak terhadap ruang hidup bersama sampai vonis nyeleneh dalam kasus pelecehan seksual yang menampar logika.
Hari-hari kita juga dicekoki dengan kegalauan tentang kondisi demokrasi kiwari, terutama yang berkaitan dengan kebebasan di semesta digital. Demokrasi tentu tidak tak terbatas ruang, tapi sampai mana batas etis berdemokrasi sesungguhnya?
Tatanan global di berbagai bidang sudah mustahil mengelak dari penetrasi teknologi dan perkembangan ruang-ruang interaksi digital. Dalam konteks ini, Indonesia konsisten tampil selaku salah satu pengguna terdepan.
Tolok ukurnya gampang. Data dari We Are Social menyatakan jumlah pengguna internet di Tanah Air telah menembus angka 213 juta orang per Januari 2023. Ini setara dengan 77 persen dari total populasi saat ini.
Secara lebih spesifik, menilik hasil riset dari Data Reportal, terdapat 167 juta orang pengguna media sosial di Republik ini hingga semester pertama 2023. 153 juta orang diantaranya berusia di atas 18 tahun.
Berkaca dari kuantitas yang luar biasa itu, menjadi wajar belaka jika muncul istilah “the power of netizen +62” atau “netizen do your magic!”. Kuasa berada di jempol sekelompok massa dunia maya yang—sadar atau tidak—menggaungkan esensi post-truth.
Netizen adalah kekuatan kolektif yang tak terbendung, tapi sayangnya juga mudah diombang-ambingkan oleh arus opini. Semua tergantung pada narasi mana yang lebih banyak pendukungnya dan tahan lama bergema di ruang-ruang digital yang mereka hinggapi.
Di saat bersamaan, jejak digital lambat laun berkembang menjadi sebuah elemen kunci yang semakin dilekatkan pada seseorang. Seolah-olah, ia merupakan label yang melekat erat dalam karakter seseorang di dunia maya. Sederhananya, konsistensi antara perilaku empirik dengan ekspresi digital kian menentukan penilaian atas kualitas integritas individu.
Fenomena sosial nan kompleks itulah yang coba ditangkap oleh Wregas Bhanuteja dalam film panjang terbarunya Budi Pekerti.
Viral
Sebelum rilis, film ini sudah mencatat rekor mengesankan dengan mengantongi 17 nominasi dalam perhelatan Festival Film Indonesia 2023.
Dalam Budi Pekerti, kita diajak untuk mengamati kehidupan keluarga Bu Prani Siswoyo (Sha Ine Febriyanti) yang (mulanya) biasa-biasa saja. Bu Prani sudah demikian lama bekerja sebagai guru di sebuah SMP. Kini, di tengah Pandemi Covid-19, dia hendak menggamit kesempatan untuk menapaki jenjang karir yang lebih tinggi.
Sementara itu di rumah, ada Pak Didit (Dwi Sasono), sang suami, yang jatuh depresi gara-gara usahanya hancur akibat pandemi. Ada pula sepasang anaknya, Tita (Prilly Latuconsina) dan Muklas (Angga Yunanda), yang aktif menjadi aktivis lewat jalur musik dan kreator konten seputar metode healing.
Ada tantangan memang, tapi secara umum kehidupan Bu Prani berjalan tenteram belaka.
Namun, ketenteraman itu rupanya bakal segera berbelok tajam ke arah yang tak lazim. Pangkalnya adalah kejadian Bu Prani menegur seseorang yang mencoba mengakali antrian pembelian kue putu. Keduanya terlibat pertengkaran dan kemudian seseorang merekam kejadian itu.
Kamera menyorot Bu Prani yang emosional, tapi sejatinya itu hanyalah potongan kecil kejadian yang tak utuh. Potongan rekaman itu lantas diunggah di media sosial dan kemudian memantik butterfly effect yang akan mengubah jalan kehidupan keluarga Bu Prani untuk selamanya.
Predator Digital
Acapkali, dinamika relasi antara kebebasan berpendapat di ruang digital dan pengendalian penyebaran informasi oleh pihak berwenang menjadi faktor yang paling susah diterka.
Di satu sisi, kebebasan begitu luas diberikan sehingga turut mengakomodasi lontaran opini yang tidak bertanggung jawab. Dampaknya bisa saja negatif dan itu sulit diantisipasi. Alhasil, pihak berwenang memilih melakukan pembatasan hingga batas tertentu. Meski begitu, tindakan seperti itu dengan cepat memicu ketidakpuasan publik.
Dalam semesta Budi Pekerti, relasi kuasa digital ditampilkan amat telanjang. Potongan video Bu Prani yang nirkonteks itu viral dan menyulut reaksi negatif netizen. Bu Prani merespons dengan membuat video klarifikasi.
Perbantahan pun bergulir. Klarifikasi Bu Prani dibalas kembali dengan video bantahan dan bahkan somasi, dilanjutkan dengan deklarasi dukungan, lantas muncul backlash, dan seterusnya.
Pembaca pastilah paham karena hal itu adalah realitas yang umum kita dapati di media sosial kiwari.
Tarik menarik relasi kuasa semacam itu melahirkan siklus interaksi yang toxic. Setiap pengguna media sosial memegang kebenaran masing-masing. Asumsi dan prasangka bergerak liar. Secepat kilat, chaos pun tiba.
Perang narasi di dunia maya berimbas pada reputasi Bu Prani di dunia nyata. Pencalonannya sebagai wakil kepala sekolah dipertaruhkan dan kepercayaan terhadapnya pelan-pelan tergerus. Puncaknya, bekas muridnya sendiri mengutarakan kekecewaan pada dirinya.
Jika mundur sejenak, kita bisa mempertanyakan beberapa hal. Bu Prani pada dasarnya hanya menegur orang yang menyerobot antrian, apakah itu salah? Bukankah dengan begitu Bu Prani sedang membela budaya tertib dalam mengantri? Apakah cara Bu Prani menegur salah?
Nyatanya, nilai budi pekerti yang beliau perjuangkan musnah begitu saja di hadapan kuasa para predator digital. Bahwa yang benar adalah mereka yang paling banyak massanya.
Begitulah sebuah bingkai audio-visual singkat tanpa penjelasan memadai sanggup meluluhlantakkan prinsip yang telah dibangun bertahun-tahun. Parahnya, bingkai itu bahkan didistribusikan tanpa seizin orang yang terlibat langsung!
Bila demikian, apakah Bu Prani sepenuhnya individu yang tidak bercela? Bahwa dia adalah sebenar-benarnya guru penuh integritas yang memberi refleksi, alih-alih hukuman?
Di sini, kejelian Wregas memainkan peran penting. Penonton dituntun menyelami rekam jejak refleksi Bu Prani satu demi satu melalui video testimoni para mantan muridnya. Bu Prani hampir saja mendapat dukungan yang dia butuhkan hingga sebuah video dari Gora (Omara Esteghlal) mengubah kembali konstelasi.
Sedari awal, penonton dipancing untuk bersimpati kepada Bu Prani. Pasalnya, kita sebagai pengamat bisa mengobservasi secara runtut dan gamblang duduk perkara percekcokan di lapak kue putu. Namun, Wregas menunjukkan bahwa pengamatan kita pun sebenarnya juga parsial.
Karenanya, testimoni Gora terang merupakan suatu guncangan atas hasil pengamatan kita. Sekali lagi, penonton diajak untuk mempertanyakan.
Bagaimana kita mesti memandang testimoni Gora? Akankah kita juga harus mengambil sikap, berpihak atau justru mempertanyakan metode Bu Prani?
Ambiguitas moral semacam ini sesungguhnya adalah elemen berharga yang semakin memperkaya kompleksitas narasi film. Tidak ada yang mutlak benar, terlebih jika sudah terjebak dalam subjektivitas.
Namun, saya agak menyayangkan keputusan Wregas terkait titik penempatan pengakuan Gora. Pasalnya, ruang samar dan sumir tentang Gora sebenarnya bisa pula memancing dialektika pemaknaan yang mendalam serta meluas.
Terlepas dari elemen minor itu, pernyataan Wregas sungguh bernas. Budi pekerti adalah konsep liyan di ekosistem digital. Sesuatu yang memanusiakan justru merupakan alien yang mengancam kehampaan dunia maya.
Simbol Binatang
Saya menikmati betul eksplorasi estetik yang diusung Wregas di sepanjang film. Tema besarnya tunggal: perihal kebinatangan. Seluruh metafora yang tampil di layar berpusat pada perihal tersebut.
Perhatikan bagaimana Pak Didit, Bu Prani, Tita, serta Muklas meniru beberapa ciri binatang tertentu dalam gestur atau perilaku mereka masing-masing. Secara singkat, tiap karakter mewakili seekor hewan yang eklektik.
Wregas juga konsisten menggunakan masker dengan tekstur dan warna tertentu yang memiliki asosiasi kuat dengan salah satu binatang yang pernah menjadi simbol sebuah aplikasi media sosial. Bahkan, corak serupa turut mencuat pada seragam para guru SMP serta outfit anggota komunitas lompat tali Bu Prani.
Metafora paling kuat sesungguhnya berada pada bagian yang tidak kasat mata. Dalam semesta film, netizen adalah binatang berkulit manusia. Hal ini sebetulnya bukan sesuatu yang aneh.
Dunia maya yang bebas dari nilai-nilai kemanusiaan sudah barang tentu menghasilkan pola interaksi yang kerap bertentangan dengan budaya manusia penggunanya. Paradoks itu lantas dieksploitasi sedemikian rupa, entah menjadi kanal eskapisme dari dunia nyata, sumber kenyamanan personal, pelampiasan obsesi banal, dan lain sebagainya.
Kungkungan norma di dunia nyata sontak lenyap tatkala memasuki teritori digital. Maka sifat kebinatangan pun merajalela, disokong oleh kesadaran bahwa masing-masing pengguna bisa berpura-pura menjadi tuhan-tuhan kecil.
Binatang pun tidak mengenal integritas, apalagi etika. Ia hanya mengetahui bagaimana bertahan hidup secara pragmatis tanpa peduli pada eksistensi entitas lainnya, terutama yang dianggap berposisi lebih rendah.
Bu Prani menjelajahi ruang digital yang sama sekali asing dengan akal budi. Dan kemudian, Dia bersama keluarganya harus menanggung segala beban yang timbul sebagai akibat dari keteguhannya memegang prinsip.
Setelah film berakhir, entah kenapa pikiran saya tertuju pada mantan gubernur Jakarta Basuki Tjahaya Purnama alias Ahok. Buat saya, Bu Prani adalah beliau di semesta paralel nun jauh di sana.
Penulis: Jonathan Manullang
Editor: Fadrik Aziz Firdausi