Menuju konten utama
Misbar

Mayflies dan Anomali Rasa Bersalah

Mayflies sebenarnya didukung oleh materi skenario yang kuat. Namun, eksekusinya gagal bikin ia bersinar.

Mayflies dan Anomali Rasa Bersalah
Header Misbar mayflies. tirto.id/Tino

tirto.id - Apa jadinya bila kegagalan menyelamatkan orang terkasih atau pengalaman pahit menyaksikan orang terdekat menderita justru memicu sistem pertahanan psikologis yang menghapus eksistensi orang tersebut di pikiran?

Demikianlah kira-kira premis yang diusung oleh Mayflies, film panjang arahan Edy Prasetyo yang tayang secara eksklusif di platform Klik Film sejak akhir September silam.

Kisah utama film ini berkutat pada relasi sepasang pengantin baru, Aksara (Dion Wiyoko) dan Aurora (Febby Rastanti), yang mengalami kecelakaan di hari pernikahan mereka. Tidak ada korban jiwa dalam kecelakaan itu dan luka yang diderita pun tergolong ringan adanya. Namun, hubungan mereka berubah sejak saat itu.

Aksara bisa mengingat segala sesuatu tentang kehidupan dan masa lalunya sebelum kecelakaan menimpa. Namun, satu memori penting ternyata hilang dari ingatannya. Trauma kecelakaan itu rupanya memicu otak Aksara untuk mengembangkan semacam disrupsi memori yang terstruktur.

Aksara ingat bahwa dia baru saja menikah dan sang istri pun berada di sampingnya saat peristiwa nahas terjadi. Namun, sosok istri dalam konstruksi memori barunya itu bernama Nada (juga diperankan Febby Rastanti), alih-alih Aurora.

Kondisi penyimpangan memori semacam itu lazim dikenal sebagai false memory. Itu adalah suatu skema pertahanan mental yang menolak eksistensi emosi negatif akibat trauma atau hal buruk yang terjadi, baik secara parsial maupun seluruhnya. Dalam kasus Aksara, false memory yang dialaminya mengimajinasikan kepribadian orang terkasihnya tanpa jejak terkait pengalaman pahit yang terjadi.

Ketika Aksara diminta melakukan rekoleksi memori, dia sanggup mengingat segala sesuatu tentang dirinya dari masa sebelum kecelakaan. Namun, dia memodifikasi ingatan tertentu yang menjadi sumber kenelangsaannya pascakejadian.

Maka ketika Aurora memperkenalkan diri kembali sebagai orang asing di hadapan suaminya, Aksara sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda bahwa dia amat familiar dengan perempuan ini. Pasalnya, dalam benak Aksara, istrinya bernama Nada dan sudah meninggal dalam kecelakaan itu. Dia pun tidak mampu mengingat secara terperinci bagaimana rupa wajah “mendiang istrinya” itu.

Secara ringkas, semesta kisah Mayflies punya daya tarik yang lumayan menjanjikan. Selanjutnya tergantung pada keputusan kreatif sutradara mengenai bagaimana mengeksekusi progresi plot yang berkutat di seputar upaya Aurora untuk mengembalikan ingatan sejati suaminya.

Pilihan Minimalis

Edy Prasetyo rupanya memilih desain produksi yang cukup minimalis. Set lokasi hanya berputar-putar di antara rumah Aksara, café milik sahabat Aksara, serta tampilan minor dari tempat tinggal Tiara (Eka Nusa Pertiwi) selaku adik ipar Aurora.

Karenanya, pengembangan plot cerita pun jadi berpusat pada satu atau dua set utama. Dengan kondisi minimalis ini, kelihaian para aktor dalam memanfaatkan ruang yang tersedia tentu sangat diuji.

Skenario yang ditulis oleh Ifan Ismail dan Ananda Galih Katresna sebenarnya memberi cukup kesempatan untuk berimprovisasi dengan ruang. Interior dan pernak-pernik perabot rumah Aksara juga sebenarnya cukup menarik untuk di eksplorasi.

Posisi ruang tamu dan pintu depan yang linear dengan dapur, keberadaan kotak-kotak kardus berisi kenangan Aksara dari masa-masa SMA hingga hari pernikahannya, sampai letak lemari berisi sendok-garpu dan aneka bumbu masakan sangat potensial untuk dieksplorasi. Itu semua agaknya bisa digunakan untuk memantik memori-memori relasi di antara dua tokoh utama.

Sayangnya, eksplorasi yang ditunggu-tunggu guna memperkaya interpretasi atas skenario film justru tampil minim. Dalam ruang yang sudah sempit itu, ternyata juga tidak banyak pergerakan dari kedua karakter protagonis. Arahan sutradara pun terkesan cenderung monoton dan bertumpu pada satu titik sentral saja.

Alhasil, progresi cerita terkesan datar-datar saja. Kehadiran Tiara dan kisah pribadinya pun tak banyak membantu sebab pengembangan karakternya turut mengalami stagnasi hingga akhir film.

Tahapan menuju klimaks film pun tampil tergesa-gesa sebelum ditutup dengan konklusi yang terlanjur tertebak. Sebagian besar penonton mungkin berekspektasi bahwa dialektika sepasang suami-istri ini akan bermuara pada happy ending, tapi sebaiknya hal itu tidak diwujudkan dengan cara yang terlalu banal.

Tatkala Aurora memutuskan membuka sebuah kardus kenangan yang ternyata berisi barang-barang yang bersifat “kotak pandora” bagi suaminya, transisi psikologis yang dialami Aksara kemudian berlangsung begitu cepat sehingga bisa membuat penonton tanpa sadar bergumam, “Beneran secepat itu? Apakah yang seperti itu memungkinkan?”

Maka Mayflies kemudian lebih terasa sebagai film pendek yang dipanjang-panjangkan. Bila memang konklusinya bisa tercapai hanya dalam durasi di bawah 30 menit, mengapa harus menyusun struktur naratif hingga lebih dari 60 menit?

Kontribusi Film

Pada 2021 silam, rancangan awal skenario yang kelak menjadi basis narasi Mayflies terpilih sebagai pemenang ajang Star Script Hunt. Dalam tempo singkat, skenario itu menarik perhatian penyandang dana dan produser. Secepat itu pula, ia lantas memasuki tahap pengembangan praproduksi.

Namun, hasil akhirnya yang kini bisa dinikmati secara luas melalui kanal streaming Klik Film agaknya belum menghidupi potensi maksimal dari skenario tersebut. Tak pelak, ini jadi contoh kesekian bagaimana sebuah film berakhir “nanggung”.

Padahal, dari segi tematik, cerita yang diusung Mayflies terbilang potensial untuk tahun ini. Setidak-tidaknya, ia bisa menambah keberagaman tematik dalam khasanah film Tanah Air. Namun, keterbatasan kreativitas penyajian dan estetika audio-visual sayangnya malah membuatnya gagal bersinar.

Mungkin itu pula alasan sesungguhnya mengapa film ini tidak direncanakan untuk rilis di layar lebar dalam jaringan bioskop arus utama. Ketiadaan faktor penguat secara komersial ikut membatasi ruang gerak distribusi Mayflies sebagai karya.

Bisa jadi, terdapat semacam rasa bersalah dalam benak para pembuat filmnya atas final cut yang mereka lempar ke ruang publik. Namun, karena kontrak telanjur diteken dan modal sudah digelontorkan, apa pun hasilnya, karya harus rilis sesuai tenggat waktu yang disepakati.

Tiga bulan dari sekarang mungkin banyak pelanggan setia Klik Film yang sudah lupa akan film ini. Premisnya mungkin masih terngiang-ngiang di kepala, tapi tidak dengan isinya.

Bagaimanapun juga, konten skenario yang mumpuni tidak akan bersinar jika dieksekusi dengan cara “standar”. Ia tak akan menghasilkan momen atau adegan yang membekas kuat.

Dan mungkin inilah epilog sesungguhnya dalam konteks Mayflies. Rasa bersalah yang melampaui kekuatan kisah.

Baca juga artikel terkait MISBAR atau tulisan lainnya dari Jonathan Manullang

tirto.id - Film
Kontributor: Jonathan Manullang
Penulis: Jonathan Manullang
Editor: Fadrik Aziz Firdausi