tirto.id - Cerita-cerita dari balik layar (behind the scene) adalah sumber materi yang masih jarang dieksplorasi dalam khazanah sinema Tanah Air. Para produser maupun penyandang dana tampaknya belum memahami betul potensi naratifnya. Padahal, banyak cerita di balik layar yang sebenarnya esensial, meski dipermukaan terkesan remeh-temeh.
Dinamika pembuatan karya audio-visual, juga profesi-profesi yang terlibat di dalamnya, jelas kaya akan potensi dramatik jika dielaborasi dengan seksama. Nyaris satu dekade lampau, misalnya, muncul sebuah film pendek monumental bertajuk Indie Bung! garapan Yuleo Rizki. Ia merayakan keseruan berimajinasi sembari menertawakan kebebasan selama melakoni proses shooting.
Maka beruntunglah kita pada tahun ini disuguhi sepasang serial pop yang merekam dinamika di balik layar. Serial pertama berjudul Cinlock yang tengah tayang di platform Vision+. Dan satu produksi lainnya adalah Hubungi Agen Gue!.
Serial yang disebut terakhir digawangi oleh duo sineas legendaris Mira Lesmana dan Riri Riza melalui rumah produksi mereka Miles Films. Sutradaranya pun sama ikoniknya, Teddy Soeriaatmadja.
Hubungi Agen Gue! merupakan adaptasi serial Prancis Dix Pour Cent (Call My Agent dalam rilisan Amerika Serikat, 2015-2020). Sebelum digarap Miles Films, adaptasi serial ini sudah lebih dulu hadir di India (Call My Agent: Bollywood, 2021), Turki (Menajerimi Ara, 2020-2021), Inggris (Ten Percent, 2022), hingga Korea Selatan (Method Ent, 2022).
Miles Films melibatkan tiga penulis skenario senior untuk mengadaptasinya. Mereka adalah Prima Rusdi, Titien Wattimena, serta Tumpal Tampubolon. Hasil akhirnya kemudian tayang secara eksklusif di laman streaming Disney+ Hotstar.
Kehadiran Hubungi Agen Gue! bisa dibilang merupakan sebentuk kesegaran di tengah serbuan produk alih wahana dari teenlit khas Wattpad dan drama romantis jadul yang didaur ulang spesifik untuk konsumsi Gen Z.
Agensi Selebritas yang Asing
Semesta entertainment di Indonesia sebenarnya belum cukup familier dengan institusi agensi untuk menaungi para aktor. Mayoritas talent mapan maupun yang baru naik daun umumnya mempekerjakan seorang manajer atau asisten untuk mengurus segala aktivitas dan kebutuhan profesionalnya.
Hubungan aktor atau artis dengan manajernya pun tak selamanya akur. Media kita beberapa kali pernah mengabarkan perselisihan antara sang figur dan manajer atau asistennya. Dua fenomena tersebutlah yang kerap disinggung Hubungi Agen Gue!.
Serial ini mengajak penonton mengikuti keseharian profesional empat agen dari agensi ASA+ (Agensi Surya Adhiwangsa). Mereka adalah Lydia (Lydia Kandou), Ricky (Donny Damara), Amel (Hannah Al Rashid), dan Yudhis (Yoga Pratama). Melalui perspektif keempat karakter utama itulah, kita bakal menyelami seluk-beluk balik layar dunia selebritas.
Penonton lalu di bawa mondar-mandir mengikuti para agen yang berjibaku mengelola para artis yang menjadi kliennya. Mulai dari mencari proyek untuk sang klien, menegosiasikan kontrak kerja, memilih skenario, menyusun jadwal, mengerek popularitas klien, hingga menyelesaikan segala masalah yang timbul.
Pun para agen ini juga masih harus menghadapi “politik kantor” tempatnya bekerja. Persaingan dan konflik internal adalah makanan mereka sehari-hari, selain kerewelan dan ulah para selebritas yang jadi kliennya.
Para kreator serial ini menunjukkan betapa masih asingnya orang Indonesia dengan agensi melalui adegan-adegan miskomunikasi. Beberapa calon klien potensial kerap kali salah menyebut para agen ASA+ sebagai manajer artis.
Selain konteks Indonesia yang cukup kuat,Hubungi Agen Gue! juga menghadirkan para agen dengan karakter yang variatif. Ada yang oportunis dan ambisius, ada yang cerdik memanipulasi kondisi emosional klien demi kepentingan perusahaan, ada yang menganggap dirinya menikahi profesinya secara literal, serta ada pula yang menjadi representasi nilai-nilai tradisional.
Terlepas dari konteks dan karakterisasi, struktur naratif adalah elemen signifikan yang memperkuat daya tarik serial ini. Di setiap episode, seorang artis bakal jadi cameo dengan memerankan dirinya sendiri. Penonton seakan digiring untuk menerka apakah yang mereka saksikan merupakan fragmen dari kepribadian si artis yang sebenarnya atau sekadar tuntutan skenario belaka.
Poin menarik selanjutnya terletak pada penyajian konflik di setiap episode. Seluruh konflik selalu menemukan solusi pada momen puncak. Namun, solusi tersebut ditampilkan secara sungsang/terbalik sehingga kehadirannya menjadi plot twist tersendiri.
Cermin Realita
“Dunia perfilman Indonesia itu kejam!” demikian cetus Amel dalam salah satu kesempatan. Apa yang dia sampaikan itu banyak benarnya.
Seorang aktor mesti menghadapi begitu banyak tantangan demi memenuhi ekspektasi profesi yang kompleks. Beberapa diantaranya bahkan tergolong tak masuk akal atau berbahaya dalam jangka waktu panjang.
Di sisi lain, aktor juga bukan pemain tunggal kendati perannya krusial dalam industri hiburan. Masih terdapat elemen-elemen lain dalam ekosistem produksi hiburan dan masing-masing elemen itu berkelindan serta saling memengaruhi.
Maka seorang aktor wajib memperhatikan posisi mereka dalam ekosistem itu sembari memastikan segala ekspektasi yang disematkan pada merek terpenuhi. Semua itu demi menjaga rating pencitraan tetap tinggi.
Alhasil, berbagai metode kerap dilakukan tanpa memperhatikan konsekuensi dan implikasi yang muncul kemudian. Contoh terbaik bagi kasus ini terdapat pada episode Luna Maya dan Tara Basro. Perbedaannya, Luna menolak tunduk sekaligus berani membongkar manipulasi yang dia terima, sementara Tara tidak sanggup keluar dari himpitan psikologis yang mendera.
Refleksi berikutnya bisa dijumpai pada Lydia Kandou yang memerankan dirinya sendiri. Dia dulu adalah seorang selebritas, tapi kemudian masa jayanya berlalu. Sebagai seorang aktris yang telah merasakan kondisi “tidak laku”, dia mengambil keputusan cepat beralih profesi menjadi agen.
Namun, kenyataan sehari-hari tentu tidak sesederhana kondisi Lydia. Banyak sekali sosok entertainer lintas medium seni yang mengalami kondisi lebih mengenaskan, baik secara ekonomi maupun kesehatan fisik dan mental. Mereka terabaikan begitu saja tatkala sorot lampu kepada pribadinya kian redup.
Hadir pula sebentuk alegori menggelitik tentang situasi politik negeri belakangan ini serta korelasinya dengan keberpihakan personal selebritas. Kita mafhum belaka bahwa selain sebagai penghibur, mereka juga bagian dari warga negara yang memiliki preferensi politik.
Episode Pandji Pragiwaksono dan Soleh Solihun dengan tajam menyentil perihal pembelahan masyarakat tersebab kontestasi politik beberapa tahun belakangan. Keduanya digambarkan mewakili kubu politik yang saling berseberangan.
Namun, episode tersebut sebenarnya tak berlaku selempang itu. Bila jeli menelaah melampaui gesekan sarkas antara Pandji dan Soleh, kita bakal menyadari bahwa episode itu secara utuh sesungguhnya merupakan suatu pernyataan politis dari para kreatornya. Sebutan canggihnya: meta alegori.
Di atas semuanya itu, keberlanjutan bisnis ASA+ turut menjadi materi konflik yang bernilai penting. Belum selesai menghadapi godaan kompetitor yang seakan tak ada habis-habisnya, eksistensi perusahaan turut terancam akibat ketiadaan modal pendukung. Lebih peliknya lagi, calon investor baru yang diundang justru berbalik menjadi sumber masalah baru.
Epilog yang ngambang untuk musim perdana ini agaknya memang disengaja untuk mengail rasa penasaran penonton. Dan lagi, masih banyak cerita-cerita seru di balik layar dunia hiburan yang layak diangkat untuk penayangan musim selanjutnya.
Dix Pour Centyang menjadi sumber adaptasinya tuntas dalam 4 musim. Menilik suguhan di musim pertamanya ini, Hubungi Agen Gue! pun berpeluang besar menyamai pencapaian tersebut. Syaratnya: mampu mengelaborasi kedalaman karakter agen maupun aktor.
Penulis: Jonathan Manullang
Editor: Fadrik Aziz Firdausi