tirto.id - Pada dekade 2000-an, industri film Korea Selatan mengalami kebangkitan kreativitas. Popularitasnya di luar negeri, termasuk di Indonesia, menanjak dan menciptakan istilah “Gelombang Baru Sinema Korea”.
Di masa itu, ada tiga sutradara yang menjadi garda depan kebangkitan ini, yaitu Bong Joon-ho, Park Chan-wook, dan Kim Jee-woon.
Setiap penikmat sinema pasti punyai favoritnya masing-masing dan bagi saya adalah Jee-woon. A Tale of Two Sisters (2003), A Bittersweet Life (2005), The Good, The Bad, The Weird (2008), dan I Saw the Devil(2010) adalah karya-karya Jee-woon yang menetap dalam daftar tontonan wajib saya.
Film-film karya Jee-woon menawarkan kualitas tertentu yang mendalam dan agaknya hanya dapat ditandingi oleh sedikit sutradara.
Masing-masing dari mereka pada akhirnya mencoba peruntungan di Hollywood. Uniknya, mereka memulai debut Hollywood-nya pada tahun yang sama, 2013. Di antara mereka, Jee-woon bisa dibilang yang paling ironis.
Joon-ho dan Chan-wook mempertahankan gaya dan tema khas mereka dengan merilis Snowpiercer dan Stoker. Sementara itu, Jee-woon merilis The Last Stand, sebuah film yang dapat dikategorikan sebagai B movie.
Filmnyamemang beranggaran besar dan dibintangi aktor legendaris Arnold Schwarzenegger dan Johnny Knoxville. Namun, The Last Stand jatuh menjadi salah satu film terburuk yang pernah menghiasi layar lebar.
Banyak penggemar “berjuang” untuk menerima kenyataan ini. Saya sendiri mencoba merasionalisasi bahwa film itu adalah tindak lanjut Jee-woon usai menelurkan film laga I Saw the Devil. Namun, sisa dekade 2010-an tak bisa dipungkiri memang menjadi masa tersuram Jee-woon.
Selam itu, dia hanya menyutradarai beberapa produksi film panjang lagi, dengan The Age of Shadows (2016) yang diremehkan dan Illang: The Wolf Brigade (2018) yang diterima dengan buruk.
Dalam kurun 5 tahun belakangan, Jee-woon tampak mencoba mengejar ketertinggalannya. Pada 2021 lalu, Jee-woon menyutradarai thriller fiksi ilmiah 6 episode Dr. Brain (tayang di Apple TV+). Boleh dibilang serial itu merupakan karyanya yang paling ambisius.
Tahun ini, dia kembali memproduksi film panjang untuk layar lebar. Hal ini tentu disambut baik oleh para penggemarnya.
Melalui Cobweb—filmnya yang paling anyar itu, Jee-woon seakan ingin menebus masa kegagalannya di Hollywood dan setelahnya. Kini, dia kembali pada genre komedi seperti yang pernah dia lakukan dengan The Quiet Family (1998) dan film keduanya The Foul King (2000).
Kekacauan Berawal dari Mimpi
Selama ini, aktor Song Kang-ho lazim dikenal sebagai kolaborator Bong Joon-ho. Mereka telah berkolaborasi dalam banyak film. Sebutlah yang paling fenomenal seperti Parasite yang sukses memboyong empat piala Oscar dan dinobatkan sebagai film Asia pertama yang menyandang predikat Film Terbaik di ajang Academy Award (2020). Selain itu, mereka juga bekerja sama dalam Memoir Of Murder(2003), The Host(2006), Mother(2009), Snowpiercer(2013), dan Okja(2017).
Semuanya meraih sukses besar sehingga mereka sering disebut sebagai pasangan tersolid di belantara sinema Negeri Ginseng.
Namun, belum banyak yang tahu bahwa Kang-ho juga sering berkolaborasi dengan Jee-woon, bahkan jauh sebelum dengan Joon-ho. Kang-ho dan Jee-woon di antaranya bekerja sama dalam The Quiet Family, The Foul King, The Good, The Bad, The Weird, The Age of Shadows. Dan Cobweb adalah momen kolaborasi teranyar mereka.
Dalam film ini, Kang-ho berperan sebagai Kim, sutradara yang dianggap menjanjikan pada awal dekade 1970-an. Namun usai debutnya yang gemilang, Kim malah dicap sebagai sineas sampah oleh para kritikus film.
Gara-gara mimpi, Kim kerap mengubah ending filmnya, meski sudah siap rilis sekali pun. Dia bersikeras bahwa adegan yang dilihatnya dalam mimpi perlu direkam. Dia yakin betul bahwa ending baru yang dia mimpikan itu bakal bikin filmnya jadi mahakarya.
Yang bikin seru adalah bahwa Kim hanya punya waktu dua hari untuk syuting adegan baru. Berikutnya adalah 135 menit yang penuh kekalutan saat dia mencoba menyatukan kembali para pemain di tengah-tengah jadwal mereka yang saling bertentangan dan konflik di antara mereka sendiri.
Keruwetan itu masih ditambah pula dengan upaya Mi-do (Jeon Yeo-been) untuk menghindari lembaga sensor pemerintah yang telah menolak revisi film tersebut. Lembaga sensor menilai perubahan akhir film itu terlalu banyak mengandung unsur vulgar.
Terlepas dari kerumitan itu, syuting tetap dijalankan dan mereka merahasiakan pembuatan ending baru itu dari kepala studio.
Sepintas, adegan proses syuting di film ini bakal mengingatkan kita pada gaya komedi film Bowfinger dan One Cut of the Dead. Sebagian memang demikian, tapi Cobweb tetap menyajikan kekhasan tersendiri. Itulah “surat cinta” Jee-woon pada sinema Korea Selatan era 1970-an.
Latar studio tempat syuting dilakukan mempunyai kualitas nostalgik yang lebih kental. Ia sekaligus menjadi faktor introduksi bagi penikmat film Korea Selatan di luar Negeri Ginseng yang hanya mengenal dunia perfilman Korea Selatan pasca 1990-an.
Tampilan Minimalis dengan Beragam Konflik
Cobweb pada dasarnya adalah sebuah ruang dalam sebuah studio film, tempat keseluruhan narasi dan konflik terjadi di sekitar pemain dan kru. Batasan ruang itu menjadikan penonton merasa sangat dekat dengan para pemain dan kru yang terlibat didalamnya. Ini berberbeda dibanding film aksi nan epik yang biasa dibuat oleh Jee-woon sebelumnya.
Di dalam ruang itu, Jee-woon mengarahkan para aktornya untuk benar-benar mengeksplorasi narasi yang telah dibuatnya. Karena itulah, Cobweb tetap mampu membetot atensi dan tak lantas jadi membosankan.
Cobweb juga amat berbeda dari One Cut Of The Dead.Alih-alih memisahkan film dan proses produksinya, Jee-woon menerapkan pendekatanmetasinema untuk filmnya. Maka yang kita tonton adalah film dan proses pembuatan film di waktu bersamaan.
Selain plot sutradara Kim yang ingin merekam ulang bagian akhir filmnya, penonton tidak diberi petunjuk tentang seberapa banyak perubahan yang bakal dilakukan. Itulah yang membuat atensi penonton tetap terjaga.
Penonton mungkin tahu bakal ada kejadian, tapi mereka mesti menontonnya sampai habis untuk tahu bakal sekalut atau sekacau apa proses yang bakal terjadi. Dengan ini, Jee-woon berhasil membuat jembatan antara realitas dan film yang dibuat oleh Kim. Toh, penonton juga masih dibantu dengan pembedaan skema warna untuk realitas dan filmnya.
Sinema Korea Selatan Era 1970-an
Untuk mempertajam nuansa dekade 1970-an, Jee-woon juga memasukkan unsur khas dalam perfilman dekade itu, yaitu sensor.
Di bawah kediktatoran Park Jung-hee, lembaga sensor film Korea Selatan menerapkan aturan yang ketat pada produksi film, terlebih bagi yang dianggap mengandung pesan politik. Dalam Cobweb, Jee-woon meramu hal itu menjadi komentar sosial bergaya komedi.
Kita diperlihatkan bagaimana pejabat LSF bisa datang mendadak ke studio untuk menginspeksi. Yang terjadi selanjutnya adalah bagaimana para kru berkelit dari mereka dan kekacauan yang ditimbulkannya.
Sekuens macam itu cukup efektif menciptakan kesan sebuah karya dari era lain. Sebagai film penghormatan, ia telah berhasil memberikan suguhan nostalgia kepada penonton yang mengalami era 1970-an.
Namun, efek itu mungkin susah dijangkau oleh penonton yang tidak akrab dengan film-film dari era tersebut. Mereka mungkin akan menganggap gaya dan penggambaran komedinya terlalu berlebihan dan sulit untuk terhubung.
Terlepas dari hal itu, dalam banyak hal, Cobweb cukup aman untuk dilabeli sebagai film Jee-woon yang paling unik.
Penulis: Wiwid Coreng
Editor: Fadrik Aziz Firdausi