tirto.id - Reformasi 1998 dan tragedi yang mengiringinya seumpama sumur yang tak habis-habisnya memberi inspirasi cerita, khususnya dalam konteks sinema Tanah Air. Dari satu tema besar itu, sineas-sineas kita mengembangkannya dengan ragam sudut pandang dan pendekatan sinematik yang nyaris tak terhingga.
Contoh terbarunya tersaji dalam serial Prime Video bertajuk Rencana Besar. Serial ini memang berlatar masa kini, tapi titik tolaknya terbentang panjang hingga 25 tahun ke belakang. Spirit dari peristiwa kelam itu sekaligus menjadi benang merah yang mempersatukan keempat protagonis serial ini, yaitu Rifad (Adipati Dolken), Ayumi (Prisia Nasution), Reza (Chicco Kurniawan), serta Amanda (Hanggini).
Ayumi dan Reza adalah saksi mata tragedi yang menandai kelahiran Reformasi 1998. Hanya saja, mereka kala itu ada di sisi orang-orang yang tergilas keadaan. Kakak Ayumi merupakan salah satu mahasiswa yang menjadi martir di kampusnya dan rutin dikenang lewat Aksi Kamisan. Sementara itu, keluarga Reza terjerumus sengsara lantara bank milik ayahnya pailit akibat krisis moneter.
Rifad mengetahui seluk beluk penderitaan batin Reza sebab mereka adalah teman lama dari SMA. Di antara mereka, hanya Amanda yang tidak punya persinggungan dengan 1998. Namun, adiknya termasuk korban kesekian dari perdagangan narkoba.
Kuartet ini dipersatukan oleh visi tunggal, yakni menjungkalkan Surya Nawasena (Arswendy Bening Swara) dari tampuk kejayaan perbankan di semesta mereka. Surya ditampilkan sebagai antagonis utama yang tampak tidak terkalahkan.
Jika dilihat sepintas lalu, premis tersebut sebenarnya sudah cukup menarik. Pantaslah membuat penonton melambarkan ekspektasi pada serial yang diangkat dari novel berjudul sama karya Tsugaeda ini. Namun, apakah eksekusi sinematiknya cukup mampu memuaskan ekspektasi tersebut?
Sasaran Sentral
Langsung saja saya jawab. Bagi saya, pendar ekspektasi itu lama-lama makin meredup seiring dengan perkembangan ceritanya. Setidaknya terdapat empat poin alasan yang bisa saya ajukan.
Alasan pertama, karakter Surya Nawasena dibebani terlalu banyak elemen “negatif”. Hampir di sepanjang serial, dia menjadi personifikasi tunggal yang mengusung peran oligark, koruptor, oportunis, dan kapitalis serakah sekaligus.
Seluruh elemen negatif tersebut sesungguhnya kerap hilir mudik di ruang publik kita. Namun, kita tidak pernah menemukan semuanya berkumpul dalam satu figur tertentu.
Membangun karakterisasi yang sedemikian evil sebenarnya sah-sah saja. Namun, konsekuensinya si karakter menjadi lebih berjarak dengan realitas sehari-hari. Alhasil penonton jadi susah untuk benar-benar relate dengan alam psikologis Surya sedari awal.
Latar belakang Surya pun minim penjelasan. Penonton hanya mengetahui jejak bisnis kotornya dari penuturan ayah Reza di penjara—seseorang yang lebih tepat disebut sebagai unreliable narrator.
Perkenalan Reza dengan Agung (Khiva Iskak), Direktur Utama Universal Bank of Indonesia (UBI) yang lalu merangkap tangan kanan Surya, pun terasa sumir. Hal itu ujung-ujungnya hanya mengeksploitasi stigma usang tentang relasi aktivis mahasiswa dan penyandang dana yang “memesan” aksi unjuk rasa.
Konyolnya lagi, dengan status dan reputasi mentereng selaku pemain kelas kakap di dunia hitam, Surya tidak memiliki pengawal jempolan. Hanya Agung-lah yang selalu terlihat di sampingnya ke mana pun pergi.
Fakta ini paling gamblang tersaji dalam sekuens puncak di episode terakhir. Penonton agaknya bisa merasakan kesan janggal mana kala rumah megah sang konglomerat bisa dibobol dengan begitu mudah oleh massa. Surya yang diperlihatkan sebagai “orang kuat” itu ternyata tak berkutik juga.
Lantas, apa gunanya pula penonton diberitahu bahwa Surya ternyata memiliki seorang istri dan anak perempuan remaja dalam sekuens invasi rumah itu? Toh, mereka tidak ngapa-ngapain.
Pada titik ini, keputusan kreatif untuk menampilkan personifikasi Surya yang begitu bombastis sebagai karakter antagonis justru bertabrakan dengan kekurangan-kekurangan ornamen kecil yang berada di sekelilingnya.
Ornamen-ornamen dimaksud mungkin tampak sepele, tapi hal-hal kecil semacam itu yang berperan besar mengokohkan fondasi sebuah karakter sehingga aktor yang membawakannya mampu tampil solid.
Alasan kedua, segala kejahatan hanya berpusat pada Surya Nawasena. Sepanjang serial berlangsung, dialah sumber dari segala yang negatif. Lingkaran terdekatnya tercemar begitu akut dengan sifat toxic sang bos, tak terkecuali algojo favoritnya yang dimainkan dengan begitu apik oleh Teuku Rifnu Wikana.
Hal itu memberi kesan bahwa sang Pemilik UBI-lah akar dari seluruh problematika yang mengudara dalam Rencana Besar. Dialah Bapak Segala Pendosa yang tengah bersiap-siap maju selaku bakal calon presiden.
Konsep entitas tunggal yang menjadi musuh utama seperti itu agaknya sudah menjadi amat usang dewasa ini. Di tengah ambiguitas psikologis dan dimensi karakterisasi yang kian kompleks, sungguh aneh mendapati penulisan tokoh yang begitu banal seperti itu.
Film-film Marvel Cinematic Universe yang jelas-jelas mengusung dikotomi “baik vs jahat” itu saja tidak melakukan simplifikasi berlebihan semacam itu. MCU setidaknya tetap memunculkan dimensi lain dari tokoh tertentu yang diasumsikan antagonis seperti Loki.
Di sini, progres narasi pun mulai limbung demi mencapai tujuan akhir. Lapisan kisah yang terkuak satu demi satu mulai kehilangan pegangan kuat. Maka narasi serial ini secara instingtif mencoba mencari jalan keluar dari potensi stuck tersebut.
Beban itu lalu dijatuhkan pada karakter Makarim (Dwi Sasono), seorang polisi berpangkat Komisaris Besar yang memimpin investigasi terhadap kasus besar yang terjadi di internal UBI.
Penonton mudah saja menebak bahwa kasus besar tersebut merupakan rekayasa dari kuartet protagonis serial. Pengembangan karakter Makarim pun lalu ditulis untuk mendukung rencana besar keempat orang itu.
Sejak penonton mengamati Makarim di pembukaan episode perdana, kesan yang melekat dari dirinya adalah pribadi yang teliti, rasional, serta pragmatis. Kehidupan personalnya dikisahkan kacau balau sehingga pekerjaan menjadi pelarian terbaiknya.
Makarim berbagi pengalaman yang mirip dengan Amanda. Anggota keluarga mereka sama-sama pemakai narkoba yang dikendalikan oleh jejaring bawah tanah Surya.
Titik Balik
Memasuki paruh kedua serial, Makarim memilih bergabung dengan proyek geng kuartet itu. Keputusannya terbukti berkontribusi signifikan memuluskan langkah memasuki babak final.
Pada episode penultimate, kejutan yang menimpa salah satu protagonis berhasil melambungkan ekspektasi. Petunjuk mengenai kejutan ini muncul di prolog serial, tapi masih dianggap sebagai false alarm hingga ia benar-benar terjadi.
Meski begitu, episode terakhirnya justru gagal menjaga ritme. Penyelesaian konflik sangat dangkal dan terkesan dipaksa untuk melaju lebih cepat agar segera mencapai katarsis yang diinginkan.
Inilah alasan ketiga yang berdampak cukup fatal. Kejutan sensasional sebelum episode puncak tidak terbayar lunas sehingga epilog bagi musim perdana ini terjun bebas sampai pada level “kentang”.
Terakhir, Rencana Besar tampak diniatkan menjadi metafora paralel bagi keruwetan lanskap sosial politik terkini dalam negeri. Upaya menyajikan kritik sosial terasa kuat, terutama menjelang pemilu tahun depan.
Rencana Besar turut menonjolkan ihwal pelanggaran HAM yang direpresentasikan oleh Tragedi Mei 1998. Penulis skenario beserta segenap tim produksi seakan ingin mengingatkan bahwa keadilan belum terwujud sepenuhnya.
Namun, tidak ada solusi tunggal dan sederhana bagi seluruh masalah di Republik ini. Dimensinya begitu rumit, rentang waktunya pun terbentang lama. Sayangnya, serial ini masih gagal memahami itu.
Penulis: Jonathan Manullang
Editor: Fadrik Aziz Firdausi