tirto.id - Kenapa memilih kuliah di jurusan film? Berapa sih gajinya kalau kerja di production house? Bagaimana prospek karirnya, apa bisa bikin mapan? Bonusnya setinggi tunjangan PNS kagak? Kenapa bukan jadi aktor saja sekalian yang lebih punya jaminan terkenal?
Begitulah kira-kira pertanyaan-pertanyaan skeptis yang kerap kali menyerang benak para mahasiswa perfilman. Itu terlontar bahkan sejak momen perdana mereka memutuskan menggantungkan asa masa depan di ekosistem profesi tersebut.
Saya teringat sebuah obrolan santai barsama seorang sinefili muda beberapa tahun silam. Dia bilang bahwa Indonesia sebetulnya belum punya industri film. Pasalnya, geliat yang tampak saat ini sebenarnya hanyalah gejala sporadis yang belum sepenuhnya sustain.
Kawan tersebut kini telah bertransformasi menjadi sineas pendatang baru yang karyanya mendapat cukup banyak apresiasi. Meski demikian, filmnya masih kesulitan menembus pasar arus utama.
Inti perbincangan kami kemudian mewujud kembali tatkala saya iseng-iseng menonton miniseri Cinlock: Love, Camera, Action! yang tayang secara eksklusif di Vision+.
Serial ini dibesut oleh dua entitas kreator. Yang pertama adalah Studio Antelope yang turut digawangi oleh Jason Iskandar, sutradara muda yang telah satu dekade malang melintang di jagat film pendek dan web-series lokal.
Selaku co-producer, Jason mempercayakan kursi sutradara pada Andrew Kose yang ikut berbagi kredit penulisan naskah bersama Anggita Puri, Melarissa Sjarief, serta Widya Arifianti.
Entitas kedua adalah keluarga Tanoesoedibjo yang tentu saja menyokong pendanaannya. Di kredit film, nama Clarissa Tanoesoedibjo tertera sebagai salah satu produser eksekutif.
Premis yang diusung Cinlock cukup sederhana: seorang mahasiswi pencinta sinema bernama Lala Ardianto (Tissa Biani) diam-diam pindah jurusan dari Manajemen ke Film demi merealisasikan mimpinya. Tentu saja, ada harga mahal yang harus dia bayar usai mengambil keputusan drastis itu.
Setelah serial Hubungi Agen Gue! menyambangi jagat hiburan lokal bulan lalu, kehadiran Cinlock memang patut dinanti. Keduanya mengusung fondasi serupa, bahwa di balik layar karya sinema sejatinya selalu ada keringat, air mata, dan juga kebahagiaan.
Daftar Menu
Dalam delapan episodenya, Cinlock mengajak penonton menelusuri keseharian Lala mengarungi pergumulan pribadinya di Fakultas Film dan Animasi. Pilihan kuliahnya bukan urusan main-main lantaran dia rela berbohong pada ibunya (Jenny Zhang) tatkala memutuskan pindah.
Pada mulanya, hanya sahabatnya Jessica (Diandra Agatha) dan ayahnya (Dicky Chandra) yang tahu tentang rahasia itu. Di kampus, Lala mengagumi sosok kakak angkatan berprestasi bernama Reyhan Dewantoro (Omara N. Esteghlal).
Reyhan tergabung dalam sebuah rumah produksi independen bernama Akar Semesta. Line-up asli rumah produksi itu terdiri dari Gepeng (Nagra Kautsar Pakusadewo), Ical (Byu Young), serta Ance (Adam Farrel).
Sang idola adalah anak tunggal dari sineas terkemuka tanah air, Jagad Dewantoro (Gilbert Pattiruhu). Karena pertalian darah itu, Reyhan sering diterpa isu miring dan selalu terganggu akibat omongan-omongan tersebut.
Film-film Reyhan kerap dibintangi oleh Ute (Wavi Zihan), influencer kampus yang juga mantan pacarnya. Kehadiran Lala kemudian menjadi semacam disrupsi bagi struktur personel Akar Semesta.
Di lain pihak, muncul pula karakter Jun Pradana (Yusuf Mahardika), kakak tingkat Lala yang cukup misterius. Dia adalah pemegang beasiswa, tapi jarang terlihat di kampus akibat kesibukannya mengambil freelance job sebagai tim artistik di luar.
Berdasarkan layout yang kini terpampang, kita dapat mendedah beragam isu yang mengudara dalam Cinlock. Pertama, ketidakpercayaan pada daya tahan ekosistem perfilman Indonesia guna membangun industri yang berkelanjutan.
Kedua, skeptisisme terhadap jaminan kemapanan dari profesi perfilman. Terkesan bahwa porsi insentif, terutama dari pemerintah atau negara, belum banyak terdistribusi ke para pelaku ekosistem ini.
Ketiga, pemujaan berlebihan terhadap sirkuit festival hingga seakan-akan keberhasilan menembus festival film tertentu merupakan ukuran tunggal bagi para sineas. Paradigma overworshipping tersebut lantas melanggengkan praktik kolusi dan nepotisme dalam upaya menembus seleksi ketat festival-festival bergengsi. Nuansa ini cerkas terlihat dari bisikan-bisikan miring atas status Reyhan.
Lala kemudian menjadi orang pertama yang mampu melepaskan diri dari manipulasi paradigma itu. Adegan dialog Lala dan sang ibu di malam usai penganugerahan Festival Saskara sangat tepat menggambarkan kenihilan yang dia rasakan.
Pelan-pelan, Lala menularkan pencerahan anyar yang dia temukan kepada teman-teman sekerja di Akar Semesta, walau itu bukan pekerjaan gampang. Konflik semakin runyam tatkala dia mengetahui ada keganjilan di antara Jun dan Reyhan yang belum tuntas dari masa lalu mereka.
Kerumitan yang timbul mulai menemukan titik balik setelah rahasia kelam Jessica terkuak sedikit demi sedikit melalui draf skenarionya yang, seperti biasa, ciamik. Topik ini pula yang berperan sebagai isu krusial keempat.
Sinema ternyata menjadi pelarian Jessica dari situasi broken home yang dialaminya. Pengalaman pahitnya pula yang terbukti menjadi katarsis bagi kesemrawutan hubungan internal para personel di Akar Semesta.
Proses penuangan skenario Jessica menjadi karya audio-visual lantas mengantarkan Lala dan kawan-kawannya pada revelasi pamungkas: bahwa ibu Lala sejatinya adalah mantan aktor yang mengalami pelecehan seksual di area shooting.
Pengungkapan terakhir itulah yang sesungguhnya paling signifikan dan menohok tajam. Di tengah lanskap perfilman nasional yang belum sepenuhnya pulih dari terpaan beberapa kasus pelecehan seksual, baik di lingkup komunitas maupun set profesional, pengakuan ibu Lala jelas punya daya ledak tersendiri.
Nilai Utama
Cinlock tentu saja bukan serial yang sempurna. Terdapat beberapa kekurangan di sana-sini dan tak terkecuali pada bagian finale. Namun, terlepas dari kelemahan teknis itu, substansi yang ia tawarkan sungguh sangat relevan.
Delapan episode mungkin terlalu singkat guna menggali potensi kedalaman dan mengembangkan personifikasi masing-masing karakter. Namun, itu cukup sekali untuk menyampaikan otokritik terhadap geliat “industri” perfilman dalam negeri dewasa ini.
Seringkali, atas nama profit, kebebasan berkreasi dikesampingkan. Penulis hingga sutradara kehilangan independensinya dalam menyajikan sebuah karya, sementara produser tak berdaya di hadapan para penyandang dana.
Itu baru dari satu aspek dan kita bahkan belum mengulik pengaruh politik yang sudah jadi rahasia umum. Tim produksi, bioskop, kurator, hingga kritikus film pun tak luput dari intrik tersebut.
Alhasil, banyak sineas berbakat yang tidak betah mencari nafkah dalam pusaran ekosistem semacam itu. Mereka lalu bertahan dengan mengarungi moda produksi berbasis komunitas yang mengandalkan skema co-financing lintas negara.
Pilihan tersebut sangat bisa dimaklumi. Banyak orang tidak mencari materi semata dari karya film yang dia hasilkan. Kebahagiaan melahirkan karya itu jauh lebih bermakna, baik bagi pribadinya, rekan sekerja, maupun orang-orang terdekat mereka masing-masing.
Sukacita serupa takkan tumbuh pula bila lingkungan produksi yang bersifat toxic. Karenanya, membangun wilayah kerja yang egaliter, sadar gender, dan inklusif merupakan tantangan yang mesti diretas. Ingat pula bahwa ini adalah tugas kolektif insan perfilman dan kerja jangka panjang.
Serial Cinlock memotret kegalauan dan aspirasi itu dengan baik. Pada akhirnya, apalah gunanya membuat 100 film atau serial dalam setahun, bolak-balik menghadiri agenda gala premiere nyaris setiap hari, tapi terus merasakan kekosongan batin?
Penulis: Jonathan Manullang
Editor: Fadrik Aziz Firdausi