Menuju konten utama

Refleksi Harkitnas 2024: Kebangkitan & Perjuangan Selalu Aktual

Sudah seharusnya momen kebangkitan dan perlawanan rakyat atau masyarakat sipil kembali bergema.

Refleksi Harkitnas 2024: Kebangkitan & Perjuangan Selalu Aktual
Pengunjung mengamati diorama Ruang Memorial Hall Boedi Oetomo saat peringatan Hari Kebangkitan Nasional di Museum Kebangkitan Nasional, Jakarta, Senin (20/5/2024). ANTARA FOTO/Reno Esnir/nz

tirto.id - Mei merupakan bulan peraduan nasib bagi bangsa Indonesia. Kebangkitan dan perjuangan melawan kekuasaan yang tiran dan sewenang-wenang di negeri ini menoreh sejarah pada Mei. Dua momen yang berkelindan dari dua zaman berbeda di bulan ini adalah pendirian organisasi perjuangan nasional Budi Utomo dan peristiwa Reformasi 1998.

Lahirnya Budi Utomo pada 20 Mei 1908 silam, kini diabadikan sebagai Hari Kebangkitan Nasional. Organisasi yang dibidani mahasiswa kedokteran STOVIA (School tot Opleiding van Indische Artsen) tersebut, dianggap sebagai tonggak kebangkitan nasional yang memantik semangat persatuan, kesatuan, dan nasionalisme di kalangan bumiputera kala itu.

Tokoh-tokoh kebangkitan nasional macam Sutomo, Gunawan Mangunkusumo, Suraji, Wahidin Sudirohusodo, Mangunhusodo hingga Tjipto Mangunkusumo merupakan beberapa orang yang berperan dalam pendirian dan perjalanan Budi Utomo.

Tahun 2024, menandakan sudah 116 kali Hari Kebangkitan Nasional (Harkitnas) diperingati. “Bangkit untuk Indonesia Emas,” diambil menjadi tema Harkitnas tahun ini sebagaimana tercantum dalam Penyampaian Pedoman Penyelenggaraan Harkitnas ke-116 Tahun 2024 nomor 1577/M.KOMINFO/HM.04.01/05/2024. Namun, sukar ada emas bagi generasi masa depan bila Harkitnas tidak menyadarkan kita bahwa situasi kiwari begitu mengancam demokrasi yang susah payah dilahirkan lewat Reformasi 1998.

Pelemahan terhadap demokrasi bukan omong kosong dan sensasi yang dibuat-buat pers belaka. Sederet pengamat dan aktivis pro-demokrasi sudah menyatakan bahwa demokrasi saat ini tengah dalam ancaman. Pasalnya, praktik lancung penguasa dan elit politik di DPR bersatu padu menjauhkan diri dari amanat reformasi.

Franz Magnis Suseno

Portrait tokoh kebudayaan Franz Magnis Suseno saat ditemui tim Tirto.id di ruangannya sebagai guru besar di Sekolah Tinggi Filsafat Driyakara, Jakarta pada Senin (26/8/19). tirto.id/Hafitz Maulana

Guru Besar Filsafat dari Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Franz Magnis-Suseno, menilai reformasi adalah suatu sukses luar biasa bagi bangsa Indonesia. Berkat reformasi, nilai-nilai demokrasi dan hak asasi manusia (HAM) dijamin dan bercokol dalam undang-undang dasar. Namun, dia menyatakan bahwa saat ini reformasi tersebut gagal atau dalam bahasa yang lebih halus, terancam.

“Saya sendiri masih berharap [pada] demokrasi. Karena demokrasi itu kemerdekaan, merdeka artinya bebas, setiap orang [dapat] ikut menentukan negara,” kata Magnis dalam diskusi terbuka yang digelar STF Driyarkara, Jakarta Pusat, Senin (20/5/2024).

Magnis menilai –seraya mengaminkan ucapan Wakil Presiden ke-10 dan ke-12 Jusuf Kalla beberapa waktu lalu– bahwa Pemilu 2024 merupakan pemilihan umum terburuk dalam sejarah Indonesia. Namun, Magnis menilai bukan berarti karena sebab itu rakyat harus terpecah belah dan terjebak dalam tragedi kekerasan. Justru, momen tersebut seharusnya memantik perjuangan rakyat dalam merebut kembali demokrasi yang sehat.

“Kita harus bertanya dan mampu bertanya, apa yang dapat kita perjuangkan? [menghadapi situasi ini],” seru Magnis.

Pertanyaan Magnis menjadi penting mengingat kondisi demokrasi Indonesia saat ini dan momen Harkitnas 2024 yang seharusnya memantik kesadaran rakyat atau masyarakat sipil untuk berkesadaran. Budi Utomo sendiri di masa lalu, memantik lahirnya organisasi atau perkumpulan yang memiliki cita-cita serta misi membebaskan diri dari belenggu kekuasaan kolonial dan mengilhami kesadaran kebangsaan. Zaman pergerakan saat itu pun diisi perjuangan dan perlawanan terhadap praktik kekuasaan menindas dan sewenang-wenang terhadap rakyat.

Lihat bagaimana salah satu tokoh pergerakan macam Cipto Mangunkusumo yang dengan berani melawan kekuasaan kolonial demi bertindak benar dan memihak rakyat. Dokter yang gagah berani turun langsung menangani wabah pes di Hindia Belanda pada 1911 itu bahkan mengembalikan lencana penghargaan dari pemerintah kolonial. Tak cuma mengembalikan penghargaan, Cipto menempelkan bintang emas itu di bokong sebagai bentuk penentangan terhadap pemerintah kolonial.

Keberanian Cipto tak ayal membuat pemerintah kolonial Hindia Belanda gerah dan geram. Cipto dibuang berkali-kali untuk membungkam perlawanannya, namun pengasingan justru dianggap sebagai suatu keniscayaan dalam jalan perjuangan baginya. “Kenikmatan bahwa aku dapat berbuat jasa bagi bangsaku. Tuntutlah aku, siksalah aku, aku tiada gentar!” kata Cipto.

Perjuangan Saat Ini

Jika Budi Utomo memantik zaman pergerakan dan kesadaran kebangkitan nasional, maka Reformasi 1998 melahirkan sistem demokrasi bagi Indonesia. Lengsernya rezim Orde Baru yang otoriter sebab perjuangan mahasiswa dan rakyat saat itu, melahirkan harapan terhadap pemerintahan yang menjunjung supremasi sipil dan demokratisasi. Artinya, saat mandat reformasi saat ini tidak dijalankan dan demokrasi terancam, sudah seharusnya momen kebangkitan dan perlawanan rakyat atau masyarakat sipil kembali bergema.

Salah satu tanda mundurnya demokrasi saat ini adalah munculnya rezim pemerintahan competitive authoritarian. Hal ini sebagaimana disampaikan oleh Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), Violla Reininda, dalam diskusi terbuka yang sama di STF Driyarkara.

Menurut Vio, sapaan akrabnya, dalam rezim competitive authoritarian pemerintahan memang dijalankan dengan asas demokrasi serta negara hukum sesuai UUD 1945. Namun, institusi demokrasi formal dan kanal-kanal demokrasi justru digunakan atau dimanfaatkan untuk penguatan akumulasi kekuasaan.

“Jadi kanal-kanal demokrasi yang kita kenal untuk memperjuangkan hak konstitusional warga negara dan membatasi kekuasaan itu, [justru] disalahgunakan untuk mengakumulasi kekuasaan,” jelas Vio.

Misalnya, terjadi ketika proses pembentukan Undang-Undang oleh DPR dan pemerintah lewat proses legislasi yang demokratis justru menjadi alat untuk menebalkan kekuatan penguasa, dalam hal ini petahana. Vio menilai pelemahan demokrasi ini sudah terjadi sejak pemerintahan Presiden Jokowi periode pertama dan terus terjadi hingga saat ini.

Seperti hadirnya berbagai revisi undang-undang yang tengah berproses di DPR saat ini, macam revisi UU MK, UU Kementerian Negara, UU Penyiaran, UU TNI, hingga UU Kepolisian saat ini yang dinilai membelakangi semangat reformasi dan mengancam demokrasi. Dalam kondisi saat ini, Vio memandang rakyat seakan hidup secara demokratis namun ternyata berada di ruang hampa, sebab konsolidasi elit politik tak terbendung dan aspirasi rakyat tidak didengar.

Menyambut Harkitnas 2024, Presiden Jokowi sendiri menyatakan momen ini mengingatkan pada titik awal kebangsaan Indonesia. “Hari ini selalu mengingatkan kita pada titik awal kebangsaan sebagai negeri Indonesia,” ujar Presiden dalam unggahan akun media sosial X @jokowi, Senin.

Jokowi mengajak masyarakat maju bersama, membangkitkan semangat nasionalisme, rasa kesatuan dan persatuan yang tinggi, serta kesadaran sebagai sebuah bangsa. “Selamat Hari Kebangkitan Nasional,” ucap Jokowi.

Kesadaran yang diserukan presiden, akan semakin baik bila ditambah dengan kesadaran menjaga amanat reformasi dan memperjuangkan demokrasi. Momen Harkitnas 2024 bisa menjadi pengingat bahwa perjuangan dan kebangkitan rakyat akan selalu aktual.

Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan bahkan tak segan-segan menyebut pemerintah saat ini mengkhianati reformasi. Sebab, DPR berencana membahas revisi UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI. Dalam draf terakhir yang diterima koalisi, sejumlah usulan perubahan pasal berpotensi membahayakan kehidupan demokrasi, negara hukum dan pemajuan HAM di Indonesia.

Misalnya, pasal soal perluasan fungsi TNI sebagai alat negara di bidang pertahanan dan keamanan negara. Di negara demokrasi fungsi militer adalah alat pertahanan negara yang dipersiapkan, dididik dan dilatih untuk perang. Oleh karena itu, meletakkan fungsi militer sebagai alat keamanan negara keliru dan membahayakan demokrasi karena militer dapat digunakan menghadapi masyarakat jika dinilai sebagai ancaman keamanan negara.

Selain itu disoroti pula pasal soal perluasan jabatan-jabatan sipil yang dapat diduduki oleh perwira TNI aktif. Adanya usulan perubahan yang memberikan ruang bagi TNI dapat menduduki jabatan sipil yang lebih banyak dan lebih luas sebagaimana tercantum dalam draf RUU Pasal 47 poin 2 dapat membuka ruang kembalinya Dwifungsi ABRI seperti yang pernah dipraktikkan di era rezim otoritarian Orde Baru.

“Penting diingat, pada masa Orde baru, dengan dasar doktrin Dwifungsi ABRI, militer terlibat dalam politik praktis dimana salah satunya dengan menduduki jabatan-jabatan sipil di kementerian, lembaga negara, DPR, kepala daerah dan lainnya,” kata anggota koalisi, Julius Ibrani, kepada reporter Tirto, Senin (20/5/2024).

Terpisah, Guru Besar Filsafat dari Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Franz Magnis-Suseno, menyerukan, saat ini perjuangan dapat dilakukan dengan bangkit merebut kebebasan-kebebasan demokratis. Masyarakat perlu curiga jika kebebasan berpendapat, berkumpul, dan berorganisasi mulai dibatasi.

Menurut dia, kebebasan berpendapat perlu terus dijamin dan diperjuangkan. Adanya reformasi sejatinya menjamin kebebasan berpendapat dalam koridor demokrasi, dan melarang pelontar kritik diancam penjara dengan tudingan pencemaran nama baik. Magnis berpandangan, kebebasan bersuara akan sangat menentukan nasib rakyat kecil yang papa dan marginal.

“Salah satu hal yang kita dapat dari Karl Marx dan tidak hanya dari dia, adalah kalau orang kecil tidak bisa bersuara dan memperjuangkan kepentingannya dia akan kelaparan,” ujar Magnis.

Selain itu, perjuangan bisa dilakukan dengan mengawasi praktik oligarki dan korupsi di negeri ini. Dia merasa miris dengan pelemahan KPK lewat revisi yang dianggapnya justru melindungi perilaku korup para pejabat. Terakhir, rakyat perlu terus menuntut keadilan sosial yang menempel dalam ideologi Pancasila agar tidak hanya sekadar slogan belaka.

Bukan keadilan, menurut dia, jika pemerintah gencar membangun proyek-proyek raksasa namun rakyat kecil miskin dan menderita. Bukan keadilan namanya, jika rakyat tidak saling bersolidaritas maju bersama dan senasib sepenanggungan. Terlebih, kata dia, saat ini partai politik pun dirasa gagal menjadi wakil rakyat di DPR.

Parpol-parpol di DPR malah berebut masuk ke pemerintahan hanya untuk kursi kekuasaan. Kelakuan tersebut otomatis melemahkan demokrasi dan membuat rakyat tak memiliki perwakilan yang mampu diandalkan. Semakin menggelikan jika DPR dan pemerintah malah bersatu membuat kebijakan secara diam-diam tanpa partisipasi bermakna dari rakyat atau masyarakat sipil.

Maka sudah semestinya dalam momen Harkitnas 2024, rakyat atau masyarakat sipil melahirkan kesadaran bahwa perjuangan dan kebangkitan akan selalu aktual. Terlebih ketika mandat reformasi sudah dibelakangi dan demokrasi perlahan-lahan layu akibat ulah penguasa yang sibuk mengakumulasi kekuatan.

“Bukan tanda itikad baik itu kalau [pemerintah dan DPR] harus bersembunyi [melahirkan kebijakan] terhadap mereka yang memilih, yang diwakili [rakyat],” ujar Magnis.

Baca juga artikel terkait HARKITNAS 2024 atau tulisan lainnya dari Mochammad Fajar Nur

tirto.id - Politik
Reporter: Mochammad Fajar Nur
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Abdul Aziz