tirto.id - Sejarah revolusi Amerika Serikat tak bisa dilepaskan dari perang selama tahun 1775-1783. Perang diawali ketegangan antara Inggris dengan 13 koloninya di Amerika Utara.
Ke-13 koloni penggagas revolusi Amerika itu bersikukuh memerdekakan diri dari Kerajaan Inggris. Puncaknya 13 koloni mendeklarasikan traktat kemerdekaan pada 4 Juli 1776.
Traktat yang lantas dikenal sebagai The Declaration of Independence ini tonggak awal kemunculan negara modern yang sekarang mendominasi politik dunia, United States of America.
Lebih dari satu dekade sebelum Perang Revolusi 1775-1783, Amerika Utara telah bergolak. Rakyat koloni tidak puas dengan aturan baru perpajakan yang diterapkan oleh Inggris.
Semenjak Seven Years’ War (1756-1763) berkobar, dampak konflik antara Prancis dengan Inggris menimpa 13 koloni. Besarnya pendanaan perang memaksa Inggris putar otak untuk mengisi lagi kas negara yang menipis.
Menurut Bernard Bailyn dalam The Ideological Origins of the American Revolution (1992), situasi akibat Seven Years’ War mendorong Inggris memberlakukan serangkaian maklumat pajak baru bagi koloni-koloninya di Amerika. Di antara aturan pajak itu adalah Stamp Act (1765), Townshend Act (1767), dan Tea Act (1773).
Pajak baru yang berkali-kali lipat jumlahnya membuat koloni-koloni protes keras. Apalagi, Inggris dinilai seenak jidat menetapkan undang-undang tanpa melibatkan perwakilan koloni di parlemen. Protes koloni dipertegas dengan slogan "No taxation without representation."
Kekecewaan itu membuat status kuasa Inggris atas koloni-koloni di Amerika Utara dipertanyakan. Berangkat dari hal tersebut, para aktivis pro-kemerdekaan Amerika mulai melancarkan protes dan aksi massa. Mengutip History.com,terjadi bentrok antara tentara Inggris dengan massa koloni di tahun 1770.
Bentrok di Boston, Massachusetts mengakibatkan 5 orang tewas tertembak. Insiden ini lantas dikenal dengan sebutan Pembantaian Boston (Boston Massacre).
Menurut Unggul Sudrajat dan Moh. Yatim dalam Merancang Masa Depan yang Gemilang (2018), konflik berlanjut pada 16 Desember 1773. Sekelompok revolusionis dari Boston menyusup ke kapal Inggris lalu membuang 342 peti teh ke Dermaga Boston selama pawai Boston Tea Party.
Hipotesis awal menunjukkan aksi ini ditunggangi oleh Sons of Liberty, organisasi yang menentang aturan pajak baru bagi 13 koloni. Parlemen Inggris merespons dengan mengecap insiden Boston Tea Party sebagai "tindakan yang tidak dapat ditoleransi." Parlemen mengeluarkan Intolerable and Coercive Act (1774) sebagai tanggapan serius terhadap upaya pemberontakan.
Kelompok revolusionis tidak tinggal diam. Mereka mengirim delegasi dari beberapa daerah federasi koloni. Di antaranya George Washington dan Patrick Henry dari Virginia, Samuel dan John Adams dari Massachusetts, serta John Jay dari New York. Para delegasi ini berangkat ke Philadelphia pada September 1774 guna menghadiri Kongres Kontinental I.
Dalam kongres tersebut, suara yang dominan baru penentangan pada undang-undang perpajakan dan rekonsiliasi. Inggris dituding tidak pernah melibatkan delegasi koloni di tiap ketetapan. Karena itu, deklarasi hak asasi dikumandangkan demi menggalang kesetaraan perlakuan. Perwakilan dari 13 koloni kemudian sepakat menggelar Kongres Kontinental II pada Mei 1775.
Namun, sebelum kongres kedua terjadi, pertikaian telah pecah pada malam 18 April 1775. Ratusan barikade tentara Inggris melucuti gudang senjata di Boston dan Concord. Seorang patriot revolusi bernama Paul Revere dari Boston, menunggangi kuda tunggal di malam hari, demi menggaungkan sirene tanda perang kepada rakyat. Salah satu memoar patriotismenya direkam dalam puisi Henry Wadsworth Longfellow yang berjudul Paul Revere's Ride (1860).
Pasukan revolusionis lokal akhirnya bentrok dengan tentara Inggris di Concord dan Lexington mulai 19 April 1775. Letupan tembakan, kobaran api, dan jeritan manusia menandakan perang revolusi dimulai.
Wacana Kongres Kontinental II Mei 1775 dipastikan pupus. Para delegasi koloni--termasuk Thomas Jefferson (Virginia) dan Benjamin Franklin (Pennsylvania) yang baru bergabung--tidak lagi punya niat mendukung rekonsiliasi dengan Inggris. Bisa dibilang, tujuannya beralih ke perjuangan untuk merdeka.
Koalisi koloni lantas membentuk Angkatan Darat Kontinental, dipanglimai oleh George Washington. Sepanjang musim gugur hingga dingin, pasukan revolusi bertikai dengan tentara resimen Inggris di Boston yang dikomandani Jenderal William Howe. Mereka berhasil memukul pasukan Howe yang mundur ke Kanada pada 1776.
Semakin lama perang berkecamuk, keinginan 13 koloni untuk merdeka bertambah kuat. Semangat itu terwujud dalam perundingan prakongres pada Juni 1776 guna menyiapkan rancangan Deklarasi Kemerdekaan.
Pauline Maier dalam American Scripture: Making the Declaration of Independence (1998) menulis, deklarasi itu disusun Komite Lima yang berasal dari delegasi koloni pro-revolusi. Mereka ialah John Adams dari Massachusetts, Benjamin Franklin dari Pennsylvania, Thomas Jefferson dari Virginia, Robert R. Livingston dari New York, dan Roger Sherman dari Connecticut.
Adapun 13 koloni yang bersepakat untuk mendeklarasikan kemerdekaannya ialah New Hampshire, Massachusetts Bay, Rhode Island dan Providence Plantations, Connecticut, New York, New Jersey, Pennsylvania, Maryland, Delaware, Virginia, North Carolina, South Carolina, dan Georgia.
Seusai pembahasan panjang lebar, The Declaration of Independence diterbitkan pada 4 Juli 1776. Deklarasi diedarkan dalam bentuk cetak secara masif. Upaya tersebut sekaligus untuk menegaskan pada Kerajaan Inggris bahwa tekad 13 koloni meraih kemerdekaan sudah tidak bisa ditawar lagi.
Proklamasi kemerdekaan ini segera dibalas oleh Inggris dengan menggencarkan aksi militer. Ketika Prancis turut memasuki arena pada 1778, perang melebar menjadi konflik internasional.
Tentara Prancis dipimpin oleh Jenderal Jean Baptiste de Rochambeau menjadi penyokong utama pasukan Angkatan Darat Kontinental di bawah komando George Washington. Mereka mengerahkan total 14.000 pasukan tempur dan 36 kapal perang lepas pantai.
Gagal melumpuhkan gabungan kekuatan AS-Prancis, pasukan Inggris di bawah pimpinan Jenderal Charles Cornwallis akhirnya menyerah di semenanjung Yorktown, Virginia pada 19 Oktober 1781. Satu per satu pertahanan Inggris segera padam hingga pasukan yang menempati Charleston dan Savannah bertekuk lutut pada 1782.
Akhirnya, gencatan senjata Inggris dan Amerika pada 3 September 1783 ditandatangani di Paris. Setelah itu, Inggris mengakui secara resmi kemerdekaan Amerika Serikat. Kekalahan Inggris di Amerika Utara juga memaksa imperium raksasa itu menyepakati perjanjian damai terpisah dengan Prancis dan Spanyol. Dua perjanjian ini menandai berakhirnya Perang Revolusi di Amerika Serikat yang sempat berlangsung 8 tahun.
Pengaruh Revolusi Amerika Serikat pada Dunia
Kalimat kedua Deklarasi Kemerdekaan AS berbunyi, "We hold these truths to be self-evident, that all men are created equal, that they are endowed by their Creator with certain unalienable Rights, that among these are Life, Liberty and the pursuit of Happiness."
Nukilan di atas dimaknai sebagai salah satu upaya AS menjunjung kebebasan dalam menegakkan hak asasi manusia. Abraham Lincoln, Presiden AS ke-16 menjadikannya landasan konstitusi yang menjunjung persamaan hak asasi bagi seluruh manusia, tanpa perbedaan terkecuali. Kalimat itulah yang juga digaungkan oleh Lincoln untuk menolak perbudakan orang kulit hitam.
Revolusi Amerika Serikat tidak hanya melahirkan negara AS, tetapi juga menumbuhkan kesadaran akan pentingnya persamaan hak termasuk bagi para budak. Pengaruh revolusi ini pun meluas ke belahan dunia lain, bahkan hingga daratan Eropa. Gaung kebebasan dan kesetaraan menerbitkan perubahan besar di berbagai tempat.
Di Prancis, api revolusi menjalar sedari 1789-1799. Yuliani dalam buku Pemikiran-Pemikiran yang Melandasi Revolusi-Revolusi Besar Dunia (2020) menjelaskan Revolusi Amerika memicu belokan sejarah yang mengubah Prancis untuk selamanya. Gerakan revolusioner Prancis lantas memaksa Raja Louis XVI turun takhta lantaran dinilai keji dan mengabaikan keselamatan rakyat.
Di Amerika Selatan, Argentina berhasil merdeka dari kolonialisme Spanyol pada 1816. Sementara di Haiti, revolusi koloni budak kulit hitam menumbangkan kolonialisme Prancis, yang diikuti dengan deklarasi kemerdekaan pada 1 Januari 1804.
Penulis: Abi Mu'ammar Dzikri
Editor: Addi M Idhom