Menuju konten utama

Apa Itu Nafkah Mut'ah dan Nafkah Iddah setelah Bercerai?

Nafkah iddah dan mut'ah adalah hak perempuan yang didapat dari mantan suami setelah bercerai. Berikut cara menghitung nafkah mut'ah dan iddah sesuai hukum.

Apa Itu Nafkah Mut'ah dan Nafkah Iddah setelah Bercerai?
Ilustrasi Cerai. FOTO/iStockphoto

tirto.id - Nafkah mut'ah dan nafkah iddah adalah pemberian dari suami kepada istri setelah terjadinya perceraian. Kedua nafkah ini pun memiliki besaran atau jumlah yang berbeda-beda. Lalu, apa sebenarnya yang dimaksud nafkah mut'ah dan nafkah iddah?

Dalam sebuah pernikahan, seorang suami wajib memberikan nafkah kepada istri dan anak-anaknya. Namun, ketika pasangan suami istri bercerai, pihak perempuan tetap memiliki hak-hak yang harus ditunaikan oleh pihak laki-laki atau mantan suami.

Dua di antara hak-hak tersebut adalah nafkah mut'ah dan nafkah iddah. Di Indonesia, praktik pemberian nafkah mut'ah dan nafkah iddah sudah bukan hal asing, terutama bagi kalangan umat Islam.

Sejumlah selebriti di Tanah Air pun diketahui pernah meminta maupun menerima nafkah mut'ah setelah bercerai dari pasangannya. Mulai dari Inara Rusli, Natasha Rizky, hingga Paula Verhoeven yang bercerai dari Baim Wong.

Apa Itu Nafkah Mut'ah dan Nafkah Iddah?

Ilustrasi Nafkah Mut'ah

Ilustrasi Nafkah Mut'ah. foto/istockphoto

Nafkah iddah dan mut’ah adalah dua jenis nafkah yang diberikan oleh suami dan menjadi hak istri setelah perceraian. Dalam Islam, kedua nafkah ini merupakan bentuk perlindungan sekaligus penghormatan kepada pihak perempuan pasca perceraian.

Baik nafkah mut'ah maupun nafkah iddah, keduanya memiliki landasan hukum dalam syariat Islam dan telah diakomodasi dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia.

Nafkah mut'ah adalah pemberian berupa harta benda, uang, atau barang dari suami kepada istri yang diceraikan. Nafkah mut'ah bersifat hadiah, pemberiannya pun dimaksudkan sebagai penghiburan atau setidaknya dapat mengobati luka hati sang mantan istri yang diceraikan.

Nafkah ini diberikan kepada istri yang dicerai secara talak, terutama jika perceraian itu bukan karena kesalahan istri. Tujuan dari nafkah mut'ah adalah untuk meringankan beban psikologis dan ekonomi yang mungkin dialami oleh istri setelah perceraian terjadi.

Perintah tentang nafkah mut’ah pun telah tercantum dalam Al-Qur’an, tepatnya pada surah Al-Baqarah ayat 241 yang artinya:

“Bagi istri-istri yang diceraikan terdapat hak mut‘ah dengan cara yang patut. Demikian ini adalah ketentuan bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al-Baqarah: 241).

Sementara itu, nafkah iddah adalah nafkah yang wajib diberikan suami kepada istri selama masa iddah. Masa iddah sendiri adalah masa tunggu bagi seorang istri setelah perceraian atau ditinggal wafat suaminya sebelum diperbolehkan menikah lagi.

Masa iddah untuk istri yang dicerai biasanya berlangsung selama tiga kali suci dari masa haid (jika masih haid) atau tiga bulan kalender (bagi yang tidak haid, baik karena usia maupun yang belum haid).

Nafkah iddah menjadi kewajiban dan bentuk tanggung jawab seorang laki-laki agar mantan istrinya tetap mendapatkan dukungan finansial setelah perceraian. Namun, hak nafkah iddah ini bisa hilang apabila istri dianggap nusyuz (membangkang atau melakukan pelanggaran saat menikah).

Ketentuan nafkah iddah juga diatur dalam Al-Qur’an di surah At-Talaq ayat 6:

“...Jika mereka (para istri yang dicerai) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya sampai mereka melahirkan, kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)-mu maka berikanlah imbalannya kepada mereka; dan musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu) dengan baik…” (QS. At-Talaq: 6).

Kewajiban memberikan nafkah mut’ah dan nafkah iddah juga diatur oleh hukum negara, salah satunya Undang-undang (UU) Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Dalam Pasal 41 huruf c disebutkan bahwa:

“Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas isteri.”

Cara Menghitung Besaran Nafkah Mut'ah dan Nafkah Iddah

Ilustrasi Menghitung Nafkah Mut'ah

Ilustrasi Menghitung Nafkah Mut'ah. foto/istockphoto

Dalam hal jumlah, nafkah mut’ah dan nafkah iddah tentunya akan berbeda dari nafkah wajib suami terhadap istri saat masih dalam ikatan pernikahan. Namun, banyak pihak yang masih bingung mengenai bagaimana cara menghitung besaran nafkah tersebut secara adil dan sesuai hukum yang berlaku.

Berikut ketentuan dan cara menghitung nafkah mut'ah dan nafkah iddah yang patut diketahui:

1. Cara Menghitung Nafkah Mut’ah

Besaran nafkah mut’ah bisa dipengaruhi oleh beberapa hal, salah satunya kondisi finansial dari sang mantan suami. Dalam surah Al-Baqarah ayat 236 juga disebutkan bahwa nafkah mut’ah harus disesuaikan dengan kemampuan pihak laki-laki.

“...Berilah mereka mut‘ah, bagi yang kaya sesuai dengan kemampuannya dan bagi yang miskin sesuai dengan kemampuannya pula, sebagai pemberian dengan cara yang patut dan ketentuan bagi orang-orang yang berbuat ihsan.” (QS. Al-Baqarah: 236).

Sementara untuk jumlah konkretnya, Abu Zahrah dalam kitab Ahwalu Syahsyiyah menjelaskan bahwa nafkah mut’ah adalah sebesar nafkah suami kepada istri (saat masih rukun) dikalikan satu tahun atau 12 bulan.

Jumlah nafkah mut’ah juga bisa dipengaruhi oleh lama waktu atau durasi pasangan suami istri berumah tangga dengan rukun. Dikutip dari laman Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama Mahkamah Agung, berikut rumus untuk menentukan nafkah mut’ah:

m = p x n x 12

Keterangan:

m = nafkah mut’ah

p = kelipatan persentase angka 8 dalam setahun (8% dikalikan waktu rukun)

n = nafkah yang diberikan oleh suami saat masih rukun

12 = jumlah bulan dalam setahun

Contoh kasus:

Sebelum cerai, suami istri diketahui hidup rukun selama 5 tahun dengan nafkah sebesar Rp 1.000.000. Maka nafkah mut’ah yang wajib dibayarkan suami adalah:

m = p x n x 12

m = (8% x 5) x Rp1.000.000 x 12

m = Rp4.800.000

Sementara menurut buku Pengantar Jurimetri dan Penerapannya karya M. Natsir Asnawi, menentukan besaran nafkah mut’ah juga bisa menggunakan rumus berikut:

m = ...% x p x h

Keterangan:

m = nafkah mut’ah

…% = besaran persentase yang disesuaikan dengan rasa keadilan hakim berdasarkan pada jumlah anak dan pemenuhan nafkah wajib oleh suami ketika masih berumah tangga)

p = penghasilan suami yang dapat disisihkan atau penghasilan setelah dikurangi kebutuhan

h = lama waktu suami istri tinggal bersama secara rukun

Contoh kasus:

Sebelum bercerai, sepasang suami istri memiliki 4 anak dan telah hidup bersama selama 50 bulan. Jumlah penghasilan yang dapat disisihkan adalah Rp1.000.000 dan besaran persentase ditetapkan 15%. Maka, jumlah nafkah mut’ah adalah sebagai berikut:

m = ...% x p x h

m = 15% x Rp1.000.000 x 50

m = Rp7.500.000

2. Cara Menentukan Nafkah Iddah

Kewajiban membayar nafkah iddah diatur dalam Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 7 Tahun 2012. Penentuan besaran nafkah iddah memiliki kriteria tersendiri.

Kriterianya adalah dengan mempertimbangkan kemampuan suami dan kepatutan, seperti lamanya masa perkawinan, besaran take home pay suami. Jadi, pada dasarnya tidak ada patokan atau rumus baku untuk menghitung jumlah nafkah iddah.

Namun, hakim akan mempertimbangkan kemampuan ekonomi suami dan kebutuhan dasar hidup istri. Nafkah iddah sendiri nantinya akan mencakup kebutuhan pangan, sandang/pakaian, serta tempat tinggal

Kapan Nafkah Iddah dan Mut'ah Dibayarkan?

ilustrasi Membayar Nafkah Mut'ah

ilustrasi Membayar Nafkah Mut'ah. FOTO/iStockphoto

Nafkah mut’ah dan nafkah iddah adalah hak mantan istri yang juga menjadi kewajiban pihak laki-laki. Lalu, kapan nafkah iddah dan mut'ah dibayarkan?

Baik dalam kitab suci Al-Qur’an, sunah, hingga Kompilasi Hukum Islam, tidak ditemukan patokan jelas tentang batas atau kapan pembayaran nafkah mut’ah dan iddah harus dilakukan.

Oleh karena itu, berpatokan pada asas keadilan, kepastian hukum, serta kemanfaatan, para hakim di Indonesia biasanya menyarankan pihak suami untuk membayar nafkah mut’ah dan iddah sebelum ikrar talak diucapkan.

Demikian penjelasan tentang nafkah mut'ah dan nafkah iddah serta cara menghitungnya. Penting untuk diingat bahwa meskipun ada pedoman umum, besaran nafkah tersebut tetap bergantung pada berbagai faktor seperti kemampuan suami, lamanya pernikahan, dan kondisi masing-masing pihak.

Oleh karena itu, setiap keputusan yang diambil haruslah mempertimbangkan keadilan dan kesejahteraan bersama. Dengan pemahaman yang baik tentang hak-hak yang harus dipenuhi, diharapkan proses perceraian dapat berjalan dengan baik dan tidak menambah beban bagi pihak yang terlibat.

Baca juga artikel terkait PERCERAIAN atau tulisan lainnya dari Erika Erilia

tirto.id - Edusains
Kontributor: Erika Erilia
Penulis: Erika Erilia
Editor: Erika Erilia & Yulaika Ramadhani