Menuju konten utama
31 Januari 1865

Abraham Lincoln dan Penghapusan Perbudakan di Amerika Serikat

Amerika Serikat melarang perbudakan tepat 157 tahun yang lalu. Peristiwa bersejarah ini terjadi berkat manuver politik Abraham Lincoln.

Abraham Lincoln dan Penghapusan Perbudakan di Amerika Serikat
Ilustrasi Mozaik Perbudakan di Amerika Serikat. tirto.id/Sabit

tirto.id - Perbudakan bukan sesuatu yang asing di Amerika Serikat selama ratusan tahun. Ia menjadi kelaziman khususnya setelah perkebunan dan koloni baru dibuka. Sejarahnya dimulai pada Agustus 1619, ketika kapal swasta asal Inggris membawa lebih dari 20 budak Afrika ke pelabuhan Virginia.

Selama ratusan tahun, para budak hidup dalam kenestapaan. Mereka dipaksa menggerakkan roda perekonomian, diperlakukan tidak adil, dan terserang penyakit mematikan hingga meninggal. Mereka hidup layaknya barang yang bisa diperjualbelikan. Singkatnya, kehidupan yang jauh dari standar kemanusiaan.

Beragam upaya telah dilakukan berbagai pihak untuk menghentikan perbudakan. Sayangnya, semuanya tidak membawa perubahan signifikan.

Titik balik perlawanan terhadap perbudakan terjadi pada Perang Saudara, berlangsung antara 1861 sampai 1865, melibatkan kubu Utara (Union) dan Selatan (Konfederasi). Sebagai pemimpin kubu Utara, Presiden Abraham Lincoln (menjabat 1861-1865) melontarkan isu perbudakan karena dianggap dapat menghambat ruang gerak kubu Selatan.

Di Selatan, tak ada aturan yang melarang perbudakan. Akibatnya, praktiknya sangat masif. Ditambah lagi di sana perbudakan juga memiliki legitimasi politik, sosial, dan bahkan agama.

Bagi pihak Union, membebaskan orang-orang yang diperbudak di Selatan akan membantu mereka memenangkan Perang Saudara. Dengan budak yang bebas, Konfederasi akan kesulitan menggerakkan roda perekonomian karena tidak ada lagi tenaga kerja. Selain itu, mengampanyekan penghapusan perbudakan akan menarik simpati pihak luar yang berujung pada naiknya citra Union dan pada saat yang sama menurunkan pamor Konfederasi.

Menurut Andrea Williams dalam American Slavery: A Very Short Introduction (2014), keinginan tersebut semakin kuat ketika masyarakat Afrika-Amerika dan kulit putih di Utara sepakat untuk menentang sistem perbudakan di Selatan atas dasar moral dan senantiasa menyatukan kekuatan untuk menghapuskannya.

Pada 1 Januari 1863, usai merayakan tahun baru bersama masyarakat, Lincoln menandatangani aturan tentang pembebasan semua orang yang dijadikan budak di daerah kekuasaan Konfederasi. Tentara Union yang berhasil menguasai daerah Konfederasi akan membebaskan mereka plus menjadikannya tentara sepanjang memenuhi kualifikasi.

Aturan yang dikenal sebagai Proklamasi Emansipasi tersebut menjadikan Lincoln sebagai Presiden pertama AS yang berani melawan perbudakan.

Harold Holzer dalam How Abraham Lincoln Ended Slavery in America (2012) menyebut Proklamasi Emansipasi tidak hanya menyudahi perang dengan Selatan, tetapi juga mewujudkan kebebasan hakiki. Peraturan ini membawa AS menjadi negara yang selangkah lebih maju dalam melawan perbudakan. Sekitar 3-4 juta budak menjadi manusia bebas berkat peraturan itu.

Meski progresif, Lincoln, Presiden ke-16 AS, menyadari bahwa Proklamasi Emansipasi memiliki kedudukan hukum yang lemah. Alasan inilah yang membuat beberapa negara bagian di luar Union enggan membebaskan budak. Selain itu, kehadiran Proklamasi Emansipasi pada dasarnya tidak bertujuan untuk menghapus total perbudakan, melainkan hanya mengakhiri perbudakan di negara-negara Konfederasi dan di beberapa wilayah yang belum dikuasai Union.

Maka dari itu, satu-satunya cara untuk membuatnya mengikat adalah dengan memasukkan pelarangan perbudakan dalam Konstitusi. Konstitusi mesti diamandemen. Pada 1864, Lincoln dan senator Republikan secara resmi mengajukan amandemen dalam sidang Kongres.

Untuk berhasil mengamandemen, diperlukan persetujuan dua pertiga senator AS, dua pertiga anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), dan tiga perempat suara dari badan legislatif negara bagian. Tentu dengan syarat seketat itu proses pengubahan Konstitusi tidak mudah.

Saat itu, Lincoln hanya mampu “mengamankan” suara Senat. Sementara di DPR, yang dikuasai politikus dari Partai Demokrat, tidak demikian. Mereka banyak yang menolak gagasan Lincoln. Alasan penolakan tidak terlepas dari iklim politik kala itu yang sedang memanas akibat pemilu. Sebagai partai pesaing, tentu saja Demokrat ingin menjegal Lincoln yang mencalonkan diri kembali sebagai presiden. Jika amandemen gagal, sudah pasti pamor petahana akan menurun.

Tapi Lincoln tak menyerah. Ia berusaha keras menyampaikan keinginannya dengan melakukan lobi-lobi politik. Melansir History, Lincoln tercatat mengundang perwakilan individu dari Demokrat dan beberapa pihak lain yang menentang ke kantornya. Tentu dengan membawa gagasan Proklamasi Emansipasi yang berhasil membebaskan ratusan ribu budak sebagai alat tawar-menawar.

Bagi para perwakilan tersebut, pilihan amandemen adalah hal yang sulit. Jika memilih setuju, dapat dipastikan mereka akan kehilangan pemilih pada pemilu berikutnya.

Infografik Mozaik Perbudakan di Amerika Serikat

Infografik Mozaik Perbudakan di Amerika Serikat. tirto.id/Sabit

Puncak dari proses ini terjadi tepat 157 tahun yang lalu, 31 Januari 1865. Pada hari itu, di gedung Kongres AS, dilaksanakan pemungutan suara amandemen ke-13 Konstitusi. Hampir seluruh anggota senat dan DPR hadir memenuhi ruangan. Saat itu kunci berhasil atau gagalnya amandemen dipegang oleh seluruh anggota DPR yang belum menentukan suara.

Hasilnya, dari 183 anggota DPR yang hadir, sebanyak 122 setuju amandemen, 56 menolak, dan sisanya abstain. Dengan demikian, Konstitusi AS resmi diubah.

Kongres sepakat mengesahkan amandemen ke-13 dengan mencantumkan kalimat: “Baik perbudakan maupun penghambaan paksa, kecuali sebagai hukuman untuk kejahatan yang pihak tersebut telah dihukum dengan sepatutnya, tidak akan ada di Amerika Serikat atau tempat mana pun yang tunduk pada yurisdiksi mereka.”

Meski pada hari itu disepakati berubah, baru pada penghujung tahun amandemen ke-13 resmi berlaku setelah diratifikasi oleh hampir seluruh negara bagian.

Perbudakan secara resmi berakhir setelah hampir 250 tahun. Meski demikian, bagi para budak, amandemen hanyalah awal dari perjuangan panjang selama beberapa tahun berikutnya untuk mendapatkan hak penuh sebagai warga negara AS. Bahkan hingga hari ini pun para kulit hitam masih diperlakukan diskriminatif. Rasisme, ideologi yang melegitimasi perbudakan, faktanya masih berurat berakat.

Baca juga artikel terkait PERBUDAKAN atau tulisan lainnya dari Muhammad Fakhriansyah

tirto.id - Humaniora
Kontributor: Muhammad Fakhriansyah
Penulis: Muhammad Fakhriansyah
Editor: Rio Apinino