tirto.id - Bagi orang Inggris abad ke-15, Joan of Arc alias Jeanne d'Arc adalah perempuan gila, sesat, dan penyihir. Ia dianggap lancang karena mengaku bisa mendengar suara orang-orang kudus yang sudah meninggal. Otoritas Inggris memutuskan ia layak dibakar.
Tak hanya itu, mereka tidak membakarnya sekali tetapi tiga kali untuk memastikan tubuhnya benar-benar jadi abu yang kemudian dibuang ke Sungai Seine, Prancis.
Jeanne adalah korban kejahatan Perang 100 Tahun, perang terbesar pada abad pertengahan yang terjadi pada 1337-1453. Perang ini melibatkan raja-raja Inggris dan Prancis yang memperebutkan daerah kekuasaan. BBC mencatat asal usul ketegangan Inggris dan Prancis bermula pada 1066 kala para raja Inggris ingin menguasai sejumlah daerah di Prancis.
Seiring waktu, proses perluasan kekuasaan ini dilakukan dengan berbagai cara. Sebelum perang meletus, pernikahan antarbangsawan di kedua negara adalah cara lazim untuk memperluas kekuasaan. Cara ini jadi tidak efektif kala Charles IV, yang saat itu berkuasa di Prancis, tidak memiliki keturunan.
Takhta pun jatuh ke tangan Raja Edward yang memiliki darah Inggris dari pihak ibu. Hal ini menimbulkan kontroversi, tetapi ia tetap berkuasa dan berupaya menguasai seluruh Prancis—tradisi yang diteruskan oleh raja-raja berikutnya.
Jeanne mulai terlibat dalam perang saat ia berusia 19 pada 1429. Ia berasal dari keluarga kelas menengah. Ayahnya adalah pemilik perkebunan dan peternakan yang juga bekerja sebagai pengumpul pajak dan penjaga keamanan di Domremy, Prancis. Perang 100 tahun membuat keluarga Jeanne harus berpindah-pindah tempat karena desanya dibakar musuh. Itu hanya salah satu bentuk kekerasan yang pernah ia alami.
Pada 1429, Jeanne memberanikan diri masuk ke istana untuk bertemu Raja Charles VII. Menyamar sebagai pria agar bisa diterima, Jeanne mengaku mendengar suara malaikat yang memintanya untuk ikut perang membela Prancis. Setelah melewati beberapa pemeriksaan untuk memastikan bahwa Jeanne bukan penyihir alih-alih Kristen tulen, Charles dan para penasihatnya mengizinkan Sang Perawan Orleans bertempur.
Mendengar Suara
Pada 1961, ahli sejarah asal Prancis dan pendiri Center Jeanne d’ Arc di Orleans, Regine Pernoud, menerbitkan buku Joan of Arc: By Herself and Her Witnesses (1962). Buku itu memuat berbagai dokumen asli seputar Jeanne, termasuk pengakuannya mendengar suara malaikat sejak usia 13.
“Awalnya aku ketakutan. Suatu siang di musim panas, aku sedang di taman dan suara ini terdengar dari sebelah kanan tubuhku. Suara itu disertai sinar terang. Aku yakin suara itu kiriman Tuhan dan aku tahu itu adalah suara malaikat,” katanya seperti dalam buku yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Edward Hyams.
Suara Tuhan terdengar dua sampai tiga kali dalam seminggu itu menyatakan Jeanne harus sering datang ke gereja dan kelak memperjuangkan daerah Orleans untuk kemenangan Prancis. Jeanne dihimbau untuk tidak memberitahu kedua orangtuanya tentang perintah ini. Tuhan akan menuntun jalannya.
“Santo Mikael juga berkata padaku bahwa aku benar-benar harus menyelamatkan Raja Prancis,” lanjutnya.
Pada usia 19, Jeanne akhirnya memutuskan pergi dari rumah. Ia hanya menjelaskan keinginannya tinggal bersama salah seorang pamannya. Tapi, ia menulis surat yang isinya memohon pengampunan karena pergi dari rumah tanpa alasan yang jelas.
Buku karangan Pernoud menunjukkan bahwa suara itu benar-benar menuntun Jeanne ke medan tempur dan memenangkan sejumlah wilayah Prancis dari Inggris.
Kemenangan pertama dan yang paling signifikan dari pertempuran Jeanne adalah perebutan kembali Orleans yang berlokasi di pinggir sungai dan paling dekat dengan Paris. Pada masa itu, Orleans adalah salah satu dari tiga daerah kaya di Prancis.
Jeanne tidak langsung menyerang orang-orang Inggris yang menduduki Orleans. Pada Maret 1429, ia membuat surat peringatan yang isinya meminta pemimpin Inggris untuk pergi dari Orleans dan membiarkan kota tersebut berada dalam situasi damai.
“Aku di sini bertindak sebagai utusan Tuhan. Andaikata kau tidak percaya kata-kata Tuhan yang disampaikan lewat mulutku, percayalah bahwa Ia, Raja Kerajaan Surga, akan mengirimkan kekuatan kepadaku yang lebih besar daripada kekuatan kalian.”
Adipati Bedford, bangsawan Inggris yang kala itu menguasai Orleans, mengabaikan surat Jeanne.
Jeanne kembali mengirim ultimatum. Dalam surat ketiga (dan yang terakhir) Jeanne memperingatkan Adipati Bedford akan ada pertumpahan darah dan korban jiwa jika ia tetap mengabaikan "peringatan halus ini".
Ancaman prajurit usia belasan tahun itu rupanya benar-benar dianggap angin lalu. Adipati Bedford malah mengejek Jeanne sebagai “pelacur”.
Mengetahui hal itu, Jeanne menangis dan berdoa agar diberi kekuatan untuk melawan Inggris yang sewenang-wenang.
Lalu dimulailah serangan selama dua hari. Pada hari pertama, setelah misa pagi, Jeanne memimpin pasukannya mengepung area pemukiman di Orleans. Mereka mengepung dan melakukan serangan dari seberang sungai dan menyerang Inggris dengan tombak.
Pada hari kedua, juga setelah misa, Jeanne menyerang Inggris dari jembatan-jembatan yang kerap mereka lalui. Di tengah pertempuran sengit itu, Jeanne menyempatkan diri menepi ke ladang anggur dan berdoa. Setelahnya ia kembali melakukan serangan dan akhirnya menang.
Satu bulan setelah memenangkan pertempuran di Orleans, Jeanne diutus untuk bertempur di tiga daerah lain seperti Patay dan Jargeau. Lagi-lagi, ia menang.
Tapi kemenangan itu ada batasnya. Suatu ketika ia ditangkap dan diserahkan ke pasukan Inggris di Burgundy yang masih dikuasai Inggris pada 1430. Ia diadili sebagai penipu karena berani mengklaim sebagai utusan Tuhan.
Di pengadilan, hakim bolak-balik bertanya apakah Jeanne benar-benar mendengar suara Tuhan dan merupakan utusan Tuhan? Jawabannya cukup diplomatis: "Jika aku bukan utusan Tuhan, maka izinkanlah aku jadi utusannya. Bila aku utusan Tuhan, maka mampukanlah aku untuk menjalaninya."
Tidak ada orang yang mau menjamin Jeanne. Padahal, biasanya, tahanan bisa dibebaskan apabila ada yang bersedia menjaminnya. Hakim kemudian memutuskan Jeanne harus dibakar hidup-hidup.
Tak sedikit teori konspirasi soal kematian Jeanne. Pada 2006, misalnya, Guardian mengabarkan antropolog asal Ukraina bernama Sergey Gorbenko mengklaim Jeanne masih hidup sampai usia 57. Pendapat itu akhirnya tidak terbukti.
Teori lain menyebut Jeanne dibakar bersama kucing karena kucing dianggap sebagai syarat mengantar arwah pemuja setan.
Antropolog forensik Philippe Charlier berusaha menjajaki peristiwa pembakaran itu. Penelitiannya menyebut Jeanne mengenakan jubah berbahan linen dengan kualitas terbaik.
Jeanne tewas di Rouen pada 30 Mei 1431, tepat hari ini 589 tahun silam, akibat menghirup asap pembakaran. Ia dibakar tiga kali karena seorang Kardinal Winchester ingin memastikan tubuh Jeanne habis tak bersisa.
Sebagian abu Jeanne kini disimpan di sebuah museum di kota Chinon.
Pada 1920, Paus Pius XI meresmikan Jeanne sebagai santa. Keputusan yang terbilang kontroversial, berawal dari sebuah perbincangan pada awal 1900. Saat itu Paus menolak mengangkat Jeanne sebagai santa karena pernah melancarkan serangan pada hari ulang tahun Bunda Maria. Selain itu, tindakannya untuk kabur dari penjara juga dipandang sebagai tindakan tidak terpuji. Alasan lain, Paus mempertanyakan keperawanan Jeanne.
Perdebatan alot soal layak atau tidaknya Jeanne sebagai santa berlangsung sampai 1904. Kesimpulannya, Jeanne tetap dipandang sebagai perempuan katolik yang heroik. Namun, pada akhirnya Paus memberikan pernyataan tertulis resmi soal kepahlawanan Jeanne.
Selama Perang Dunia I, para tentara Prancis menyimpan gambar Jeanne dan menjadikannya sumber semangat. Sejak sinema ditemukan pada 1895, Jeanne pun jadi salah satu orang kudus yang paling sering difilmkan.
Editor: Windu Jusuf