tirto.id - Saat berwisata ke Taman Bungkul, cobalah berjalan sekitar 1 km ke arah selatan. Di sana terdapat sebuah bangunan suci tua bernama Gereja Katolik Bebas St. Bonaficius. Sekilas gereja itu tampak tak ada yang berbeda dengan gereja katolik pada umumnya, dengan tiga atap yang meruncing berbentuk segitiga dan tanda salib yang terpacak di atasnya.
Namun, di saat umat Kristiani lain bersiap merayakan Natal, tak ada satu pasang kaki pun yang berlalu-lalang menyiapkan dekorasi dan hiasan natal. Saat saya berkunjung pada Senin (23/12/2024), pintu depan gereja tertutup rapat. Hawa sunyi nan senyap yang menyelimutinya, padahal “hari kemenangan” bagi umat Kristiani itu akan berlangsung kurang dari 48 jam lagi.
Penasaran, saya memandang ke arah pintu belakang gereja yang setengah terbuka. Ada sepercik cahaya lampu dari dalam gereja yang menyorot sepenggal tanah di luar pintu itu. Sesaat setelah saya masuk ke dalam gereja, terdengar suara bergema dari lantai atas. Mata saya seketika berkelibat menuju ke arah suara dan melihat seorang pria berperawakan jangkung di sana.
Usai menjelaskan tujuan dan keperluan saya datang ke sini, ia langsung turun untuk menemui saya. Setibanya di hadapan saya, ia menjabat tangan saya sembari memperkenalkan diri.
“Nama saya Gunarya. Posisi saya di gereja ini sebagai daikon, setelah presbiter dan uskup. Biasanya saya disuruh oleh Imam untuk menjadi guide bila ada tamu yang datang ke sini. Mungkin karena karakter saya yang suka nyerocos (cerewet) ya,” terang Gunarya ditutup dengan gelak tawa.
Ajaran Teosofi yang Mewanai Gereja Katolik Bebas
Gereja Katolik Bebas st. Bonaficius adalah satu dari tiga Gereja Katolik Bebas (GKB) yang masih eksis di Indonesia, selain di Jakarta dan Bandung. Gereja ini terletak di Bilangan Serayu No.11, Darmo, Kecamatan Tegalsari, Surabaya. Usia gereja ini sudah lebih dari seabad sejak didirikan pada tahun 1923.
Dalam skripsi berjudul Gereja Katolik Bebas: Suatu Kajian Historis dan Perkembangannya di Hindia Belanda 1926-1942 (2013), Yasmin Nindya Chaerunnisa menjelaskan bahwa awal mula pendirian gereja ini tak terlepas dari kebijakan politik etis yang dicetuskan oleh pemerintah kolonial Belanda pada akhir abad ke-19.
Kebijakan politik etis ini menjadi upaya balas budi kolonial Belanda kepada kaum pribumi karena telah memeras segala sumber daya Hindia Belanda saat itu. Salah satu program dari politik etis yakni edukasi yang memperluas bidang pengajaran dan pendidikan dengan membuat banyak sekolah demi meningkatkan kualitas sumber daya manusia kaum pribumi.
Bersamaan dengan itu, banyak paham baru yang bermunculan di Hindia Belanda dan salah satunya adalah paham agama Katolik Bebas yang merupakan perpecahan dari paham Katolik Roma. Untuk peribadatan, para penganut paham agama ini pun mendirikan gereja sendiri yang disebut dengan Gereja Katolik Bebas.
Ada tiga sosok sentral dalam pendirian gereja tersebut yakni, J. Weldgwood, C.W. Leadbeater, dan A.H. Mathew. Weldgwood adalah mantan penganut paham Katolik Kuno yang mendalami ajaran teosofi, sementara Leadbeater adalah penganut teosofi, dan Mathew adalah mantan penganut paham Katolik Roma dan Katolik Kuno yang berpindah haluan menjadi penganut paham Katolik Bebas.
Selain peribadatan, pendirian gereja juga dimaksudkan sebagai situs untuk menyebarkan paham Katolik Bebas. Walau demikian, pendirian gereja ini cenderung dilakukan hanya di kota-kota besar, dan salah satunya adalah Surabaya.
Gunarya menjelaskan bahwa ketika didirikan di Surabaya, uskup yang bertanggung jawab waktu itu bernama E.E Warow yang berasal dari Australia. Ia bukan saja dianggap sosok uskup pertama, melainkan juga penganut ajaran teosofi.
“Itu makanya kalau Anda lihat di sebelah selatan gereja ini ada Sanggar Penerangan Teosofi. Sebab, ya uskup pertamanya itu seorang teosof. Paham Katolik Bebas sama ajaran teosofi itu saling berdampingan. Kalau untuk misa di gereja ini, sementara untuk meditasi di sanggar sana. Untuk pengembangan spiritual di gereja ini, sementara untuk pengembangan intelektual di sanggar sana,” papar Gunarya panjang lebar.
Aliran teosofi yang dibawa oleh Madame Blavatsky itu memiliki pengaruh yang mendasar terhadap paham Katolik Bebas. Dengan lain kata, teosofi memberikan warna dalam memahami dan menginterpretasikan ajaran yang dibawa oleh Yesus Kristus.
Menurut Gunarya, teosofi adalah aliran yang berupaya untuk menggabungkan latihan intelektual dengan latihan spiritual guna memahami, menemukan, dan menghayati esensi ketuhanan yang termaktub dalam slogan “Satyan Nasti Paro Dharma”. Slogan tersebut bermakna, “Tidak Ada Agama yang Lebih Tinggi Daripada Kebenaran.”
Untuk mencapai apa yang disebut dengan kebenaran itu, seorang teosof harus menerapkan tiga inti ajaran dalam teosofi. Pertama, menjalin persaudaraan dengan berbagai manusia tanpa memandang ras, warna kulit, agama, dan sebagainya. Lalu, mempelajari filsafat, ilmu pengetahuan, dan agama. Terakhir, menyelidiki hukum-hukum alam yang dapat diterangkan dan menggali potensi ilahiah dalam diri manusia.
Itulah mengapa penganut Katolik Bebas cenderung tidak saklek dalam memahami dan menerapkan ajaran Kristiani. Misalnya, mereka membebaskan penganut atau jemaahnya untuk menafsirkan kitab suci tanpa mengekor pada Imam Vatikan di Roma dan membolehkan perempuan menjadi pendeta. Mereka juga membolehkan imam, uskup, dan diakon sebagai jajaran klerus untuk menikah.
“Ajaran kami ini memang berbeda dari katolik pada umumnya. Seorang imam itu bebas untuk menikah. Iya ini setidaknya dapat menanggulangi kekerasan seksual yang selama ini marak dalam institusi keagamaan,“ ucap Gunarya. Ia juga menambahkan, “Anda bisa masuk ke gereja ini dengan memakai sandal itu diperbolehkan. Kalau di gereja lainnya selalu saya tidak boleh.”
Perbedaan tersebut, menurutnya, karena ajaran GKB lebih menekankan pada substansi bukan pada ritus formal. “Yang penting dari ajaran kami ini bukan ritus-ritus formal, melainkan substansi dari ajaran Yesus Kristus yakni, mengajarkan kasih sayang,” jelas Gunarya.
Pengaruh teosofi itu akan semakin terlihat jelas ketika seseorang memahami tiga ajaran krusial dalam Katolik Bebas. Menurut Gunarya, mereka yang mendaku penganut Katolik Bebas harus mengakui hukum evolusi atau reinkarnasi. Sehingga, ia percaya bahwa kehidupan sekarang ini adalah hasil dari kehidupan sebelumnya.
Karena itu, tak bisa dipungkiri, mereka harus percaya pada ajaran kedua yakni hukum karma. Sebagai contoh, manusia yang kini memperoleh hidup sejahtera dan kedudukan yang terpandang dianggap hasil dari kehidupan ia sebelumnya yang selalu melakukan kebaikan. Sementara manusia yang kini hidup dalam kenestapaan dan penderitaan adalah hasil dari kehidupan ia sebelumnya yang melakukan kejahatan.
Menurut Gunarya, kedua ajaran itu jelas tak bisa diterima oleh paham Katolik Roma maupun Katolik Kuno. Sebab, dalam pemahaman keduanya, manusia hanya mengalami satu kehidupan karena setelah mati ia akan memperoleh penghakiman dari Tuhan. Akan tetapi, kedua ajaran itu dapat diterima dalam teosofi.
Ia juga menjelaskan bahwa mereka yang menganut paham Katolik Bebas tak boleh melupakan ajaran ketiga yakni menerima dan membolehkan penganut agama lain untuk mengikuti ritus Kristiani. Ini mengingat Yesus menerima semua manusia tanpa membedakan agama.
“Tak peduli seorang muslimah yang memakai hijab atau seorang muslim yang memakai kopiah, itu bisa mengikuti ritus keagamaan kita. Bahkan, mereka dapat menerima hosti pada saat menjalankan ritus komuni. Kalau anda mau nanti malam dapat ikut misa,” tawarnya pada saya.
Itulah mengapa kata “bebas” disematkan pada mereka dan dalam bahasa inggris gereja yang mereka gunakan dikenal sebagai Liberal Catholic Church (LCC). Dari sini, menurut Gunarnya, tak heran bila mereka dulu disebut Katolik Liberal.
Namun, karena kondisi politik pada era Soekarno yang riskan bila suatu kelompok memakai kata liberal, maka mereka kemudian menggantinya menjadi Katolik Bebas. “Zaman Sukarno dulu kata liberal itu konotasinya negatif. Makanya sejak saat itu kami memakai kata bebas biar lebih aman,” ujarnya.
Tak Ada Perayaan Natal Meriah di Sini
Senin sore, dua hari menjelang Natal 2024, tak ada gemerlap persiapan perayaan di Gereja Katolik Bebas st. Bonaficius. Tak ada dekorasi natal, tak ada hiasan natal, dan tak ada pohon natal. Gereja ini seolah tak perlu dihias lebih elok lagi demi menyambut perayaan sekali dalam setahun itu.
“Mau bagaimana lagi, Jemaat Katolik Bebas di Surabaya sekarang tinggal 30-40 saja. Sehingga, tak perlulah kami buat perayaan natal yang meriah. Tapi tetap ada misa kok,” ungkap Gunarya.
Gunarya melihat jemaat yang masih beribadah di gereja ini jumlahnya kian merosot. Kebanyakan dari mereka yang masih tersisa adalah orang yang ayah atau ibunya dulu adalah penganut Katolik Bebas.
“Biasanya, kalau hari minggu itu yang ikut peribadatan cuma 7-8 orang. kebanyakan sih sudah berpindah ke gereja yang lebih modern,” ujarnya.
Ia tak pernah membayangkan bahwa gereja yang dibangun dengan semangat pembebasan itu jemaatnya kini hanya sejumput yang tersisa di Surabaya. Ia hanya bisa meratapi kondisi tersebut dan berharap gereja ini dapat bernafas lebih panjang.
Walau demikian, ia merasa bersyukur dapat menjadi penganut Katolik Bebas. Sebab, ia dapat menghayati makna kasih sayang dan perbedaan.
“Bayangkan ya, Sang Surya itu menyinari alam dan seisinya. Tak ada satu spesies pun yang tak terkena oleh sinar itu. Bahkan tahi saja itu juga terkena sinarnya. Sebagaimana juga Tuhan yang menyinari kasih sayang bagi semua makhluk, sekalipun makhluk itu berbeda atau bahkan hina,” pungkas Gunarya.
Penulis: Muhammad Akbar Darojat Restu
Editor: Rina Nurjanah