tirto.id - Awan kelabu menyelimuti Mesir pada siang hari 25 Januari 2011 itu. Protes terhadap pemerintah, terjadi di tengah ibu kota Mesir. Mahmoud Salem, seorang blogger Mesir berkicau melalui akun pribadinya: “Suasana di Mesir hari ini berbeda. Terlalu banyak orang yang masih berkutat dengan mentalitas budak. Ini sangat membuat frustrasi.”
Demonstran pro perubahan, berhadapan dengan demonstran pro Hosni Mubarak, sang presiden Mesir yang berkuasa kala itu. Aksi massa pro perubahan didukung oleh netizen di Facebook dan Twitter, akhirnya berhasil menggulingkan Hosni Mubarak. Apa yang terjadi di Mesir kala itu dikenal sebagai Arab Spring, gerakan massa melawan rezim otoriter korup dan berantai terjadi di negara-negara Timur Tengah--selain Mesir, terjadi di Tunisia, Libya dan lainnya.
Media sosial, yang awalnya hanya digunakan sebagai sarana informasi dan komunikasi, berubah menjadi medium perubahan yang sangat kuat. Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UGM 2014 yang bertajuk Media Sosial dan Revolusi Politik: Memahami Kembali Fenomena “Arab Spring” dalam Perspektif Ruang Publik Transnasional, menyimpulkan revolusi Arab Spring sangat dipengaruhi oleh warga negara yang aktif menginisiasi gerakan politik dan perkembangan media sosial sehingga menyebarnya wacana tentang revolusi.
Aktivitas dengan media sosial sudah umum digunakan masyarakat di era gadget ponsel pintar jadi milik banyak orang. Misalnya di Google Play, pasar aplikasi Android untuk aplikasi Facebook telah dipasang di lebih dari 66,8 juta perangkat. Sedangkan jumlah pengguna media sosial pun makin bertambah, pengguna media sosial tahun ini ditaksir akan mencapai angka 2,51 miliar pengguna. Angka yang meningkat cukup drastis dibandingkan 2010 lalu yang saat itu belum mencapai 1 miliar pengguna. Pada 2020 diperkirakan nyaris akan ada 3 miliar pengguna media sosial atau kurang dari separuh manusia di Bumi.
Penetrasi masif media sosial tak terpisahkan dari manfaatnya. Beragam manfaat yang bisa diperoleh masyarakat dalam bermedia sosial. Mulai dari menjalin pertemanan, berjualan secara daring, mengekspresikan pandangan politik, hingga memperoleh berita. Menurut data yang dipublikasikan Pew Research, 6 dari 10 orang Amerika Serikat, memperoleh berita dari media sosial.
Media Sosial dan Massa
Selain manfaat secara umum, media sosial punya peran untuk menggerakkan massa. Pada 6 April 2009 di Moldova, demonstran memprotes hasil pemilihan legislatif di Moldova yang dimenangkan oleh Partai Komunis Republik Moldova. Kemenangan partai tersebut, dianggap palsu. Demonstran menghendaki adanya perhitungan ulang pada proses demokrasi itu. Sebagian besar demonstran, memanfaatkan Twitter untuk berdiskusi dan mengorganisir massa dan perjuangan mereka.
Pemanfaatan media sosial seperti Twitter, Facebook hingga YouTube untuk skala yang lebih besar sebagai wadah menggalang massa untuk perlawanan politik terjadi pada 2010. Masyarakat Tunisia tergerak hatinya saat ada aksi bunuh diri dengan cara membakar diri seorang pemuda penjual sayur yang barang dagangannya dijarah aparat polisi.
Masyarakat pro perubahan memanfaatkan Facebook dan Twitter untuk menggalang kekuatan melawan rezim Presiden Zine El Abidine Ben Ali, yang berbuah “Revolusi Tunisia”. Ini persis yang terjadi di Mesir sesudahnya, ribuan orang menyemut di Tahrir Square, Kairo, Mesir untuk menurunkan Presiden Hosni Mubarak yang telah berkuasa sejak lama. Salah satu pemicu aksi massa saat itu karena sebuah laman di Facebook yang bernama “Simple, Anonymous”.
Laman Facebook itu dibuat oleh seorang aktivis sekaligus pekerja Google bernama Wael Ghonmin. Ghonmin memberikan keterangan dalam halaman Facebook “Kami semua adalah Khaled Said”. Khaled Said, merupakan sosok yang mirip dengan Mohamed Bouazizi, pemuda yang membakar diri dan memicu revolusi di Tunisia. Sedangkan Khaled Said merupakan seorang pemuda yang disiksa hingga mati oleh polisi Mesir. Kematiannya, menjadi salah satu pemicu kemarahan masyarakat yang sudah muak dengan pemerintahan rezim Hosni Mubarak.
Dalam aksi revolusi yang terjadi di Mesir enam tahun lalu, The Guardian menuliskan terjadi lonjakan Tweet yang sangat besar. Kicauan di Twitter dengan tagar #Jan25, yang semula hanya berjumlah 2.300 Tweet, melonjak menjadi 130.000 Tweet per hari selama seminggu sebelum pada akhirnya Presiden Hosni Mubarak mundur dari Jabatannya. Fawas Rashed, salah satu demonstran mengungkapkan, “kami menggunakan Facebook untuk penjadwalan aksi protes, (menggunakan) Twitter untuk (menentukan) koordinat (lokasi protes), dan (menggunakan) YouTube untuk mengabarkan pada dunia.”
Peran media sosial dalam menggerakkan massa tak hanya terjadi pada Arab Spring. Di Hong Kong, wilayah independen Cina, aksi protes dengan memanfaatkan media sosial terjadi pada 2014. Kala itu, masyarakat Hong Kong marah atas dihapuskannya pemilihan kepala Pemerintahan Hong Kong secara langsung.
Masyarakat Hong Kong, yang dipelopori oleh para pemuda, memanfaatkan media sosial untuk menggalang kekuatan aksi massa. Aksi massa mendapat balasan yang cukup kuat dari aparat setempat dengan menyemprotkan air, gas air mata, serta bubuk merica. Para demonstran membekali diri mereka dengan payung sebagai alat perlindungan. Payung yang dibawa tersebut, kemudian menjadi simbol perlawanan mereka.
Mark Pfeifle, mantan penasihat keamanan Amerika Serikat, sebagaimana dikutip dari The Newyorker mengungkapkan, “tanpa Twitter rakyat Iran tidak akan merasa berdaya dan percaya diri untuk berjuang atas kebebasan dan demokrasi (mereka). James K. Glassman, mantan pejabat departemen luar negeri Amerika Serikat mengungkapkan bahwa kini para aktivis terbantu dengan adanya Facebook, A.T. & T., Howcast, MTV, dan Google.
Saat banyak orang menganggap peran media sosial sudah lazim dan sarana yang efektif dalam sebuah perubahan politik dan sosial. Namun ada yang menganggap sebaliknya. Leil Zahra mengungkapkan, “gerakan massa tersebut yang memanfaatkan media sosial terjadi karena lebih banyak (orang-orang yang terlibat) memiliki akses ke Twitter dan Facebook. Jika bukan karena kelas pekerja dan ribuan orang terpinggirkan revolusi tidak akan terjadi.” Zahra seperti dikutip dari The Guardian.
“Media sosial hanya sebuah alat, dan alat yang sangat baik, tapi (media sosial) bukanlah alternatif bagi (gerakan) fisik mengekspresikan kebebasan di ruang publik.”
Setali tiga uang dengan Zahra, Thomas L. Friedman, seorang jurnalis yang memperoleh 3 Pulitzer, melalui opini di The New York Times mengungkapkan bahwa sesungguhnya ada masalah dari revolusi tersebut. Revolusi yang digerakkan media sosial memang berhasil meruntuhkan suatu rezim, tapi gagal membentuk konsensus baru bagi negeri bersangkutan.
Opini Friedman tersebut, diperkuat oleh pernyataan Wael Ghonim yang ia kutip. Ghonim mengungkapkan, revolusi yang didukung oleh media sosial memang berhasil menggulingkan Hosni Mubarak, tapi gagal menghasilkan demokrasi yang sesungguhnya--setelah revolusi Januari 2011 Mesir dilanda revolusi kembali saat Presiden Mesir Muhammad Mursi yang terpilih melalui Pemilu tumbang dengan cara kudeta militer di 2013.
Ghonim, dalam gelaran TED Talk mengungkapkan, “saya pernah berkata, ‘jika kamu menginginkan masyarakat yang bebas, yang kamu butuhkan hanyalah internet.’ Namun (ternyata) saya salah.” Ia kemudian mengatakan, “Arab Spring (terbukti) mengungkap potensi besar dari media sosial, tapi hal tersebut juga mengungkap kekurangan terbesarnya. Alat yang sama yang menyatukan kita untuk menggulingkan diktator pada akhirnya justru membuat kita terpisah.”
Apa yang dikatakan Ghonim tak meleset, media sosial yang seharusnya jadi diskusi yang membangun, bisa berubah menjadi ajang saling menjatuhkan. Parahnya lagi, mudah menyebarnya berita palsu alias hoax di media sosial dimamah begitu saja oleh para penggunanya.
Helen Mergetts, dalam bukunya berjudul Political Turbulence: How Social Media Shape Collective Action mengungkapkan bahwa media sosial turut membuat aksi kolektif menjadi lebih kacau. Zeynep Tufekci, asisten profesor pada University of Nort Carolina, sebagaimana dikutip dari Motherboard mengungkapkan, “dengan menekan (media sosial) pada lampu sorot (arena pertarungan) tanpa infrastruktur (perubahan politik), media sosial memungkinkan mereka meningkat tanpa bersiap untuk apa yang terjadi selanjutnya."
Kritik terhadap pemanfaatan media sosial sebagai salah satu alat penggerak aksi massa, juga muncul dalam jurnal berjudul Effective or Overrated? Role of Social Media in Iranian Mass Demonstration of June 2009 yang ditulis oleh Cora Werwitzke dan Jurge Wilke. Dalam jurnal tersebut, Werwitzke memaparkan beberapa kelemahan media sosial dalam hal penggerakan aksi massa. Salah satunya adalah pemanfaatan teknologi tersebut, hanyalah euforia dari media-media barat semata. Selain itu, ia pun menulis bagaimana revolusi Iran yang terjadi 30 tahun lalu, hadir tanpa bantuan Facebook maupun Twitter. Hingga pada akhirnya media sosial punya sisi lain di luar kemampuan mampu menggalang massa.
Di Indonesia, pemerintah belum lama ini membentuk sebuah badan bernama Badan Siber dan Sandi Nasional atau BSSN. Pembentukan badan tersebut, merujuk pada Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 53 Tahun 2017. Dalam Perpres tersebut, sebagaimana dikutip dari Antara, BSSN bertugas untuk melaksanakan keamanan siber dengan memanfaatkan, mengembangkan dan mengonsolidasikan semua unsur terkait dengan keamanan siber.
Dalam penjelasan resmi pemerintah melalui Badan Sandi Negara pada 2 Juni 2017, pemerintah mengakui interaksi di media sosial merupakan sebagai arena demokrasi publik tapi bukan berarti jadi hal yang dianggap remeh terhadap potensi ancaman yang bisa ditimbulkan oleh media sosial.
"Dalam aspek sosial budaya, saat ini peran ranah siber tidak bisa dipandang remeh karena ranah siber merupakan saluran interaksi dan komunikasi yang cepat dan mampu menyentuh individu secara personal."
Penulis: Ahmad Zaenudin
Editor: Suhendra