Menuju konten utama

Sejarah Hari Peringatan Pembebasan Irian Barat & Latar Belakangnya

Berikut adalah sejarah Hari Peringatan Pembebasan Irian Barat pada 1 Mei dan latar belakangnya. 

Sejarah Hari Peringatan Pembebasan Irian Barat & Latar Belakangnya
Penandatanganan Perjanjian New York, 15 Agustus 1962. FOTO/Istimewa

tirto.id - Hari Peringatan Pembebasan Irian Barat diperingati setiap tanggal 1 Mei. Tanggal itu merupakan hari di mana Indonesia berupaya membebaskan Irian Barat--sekarang Papua--dari Belanda. Bagaimana sejarahnya?

Dipilihnya 1 Mei sebagai hari peringatan pembebasan Irian Barat adalah perundingan Perjanjian New York yang meminta Belanda harus menyerahkan Papua bagian barat kepada Indonesia selambat-lambatnya tanggal 1 Mei 1963 (Richard Chauvel, Constructing Papuan Nationalism, 2005:30).

Selama proses pengalihan itu, wilayah Papua bagian barat akan dipegang sementara oleh United Nations Temporary Executive Authority (UNTEA). Lembaga tersebut dibentuk oleh Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB). Di sisi lain, Belanda pun harus menarik pasukannya dari Irian Barat. Sementara pasukan Indonesia diperbolehkan bertahan namun di bawah koordinasi UNTEA.

Tepat pada tanggal 1 Mei 1963, wilayah Papua bagian barat akhirnya resmi diserahkan kepada Indonesia dari Belanda melalui mediasi UNTEA, meskipun ada suara-suara yang mengecam penyerahan tersebut karena orang-orang Papua tidak dilibatkan dalam Perjanjian New York tersebut.

Operasi Trikora

Tarik lebih jauh ke belakang, upaya Indonesia dalam membebaskan Irian Barat dari Belanda itu dinamakan Operasi Trikora (Tri Komando Rakyat). Kala itu, dalam sebuah pidato pada tanggal 19 Desember 1961, Presiden Sukarno mengumumkan Operasi Trikora.

Hal tersebut berawal dari Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag, Belanda, pada 2 November 1949 terkait rencana pengakuan kedaulatan terhadap Indonesia oleh Kerajaan Belanda.

Di sisi lain, ada satu persoalan lagi yang belum disepakati, yakni terkait status Papua Barat. Sebab, baik Indonesia maupun Belanda merasa memiliki hak lebih atas wilayah Papua bagian barat.

Amarulla Octavian dalam Militer dan Globalisasi (2012), menuliskan, karena tidak ditemukannya kesepakatan, KMB memutuskan masalah Papua Barat akan diselesaikan dalam waktu setahun ke depan. Namun, hingga 12 tahun berselang, persoalan itu belum juga dibahas lagi.

Latar Belakang Operasi Trikora

Petrik Matanasi dalam “Sejarah Pidato Trikora dan Ambisi Sukarno Kuasai Papua” menyatakan, Belanda ingin menjadikan Papua Barat sebagai negara boneka. Sebab, Belanda mulai membentuk parlemen pada Februari 1961.

Kemudian, Komite Nasional Papua dibentuk pada 19 Oktober 1961. Selain itu, juga membangun kekuatan militer Papua. Dalam buku Irian Barat Daerah Kita (1962) yang dirilis Departemen Penerangan RI, terdapat bukti kalau Belanda pernah melakukan “Pameran Bendera” (Vlagertoon) yang ternyata disertai kapal-kapal perang pada 4 April 1960.

Atas pergerakan yang dilakukan pihak Belanda tersebut, Sukarno dan para pejabat tinggi Indonesia mulai menyusun strategi. Tepat pada 6 Maret 1961, Korps Tentara Kora-1 pun dibentuk dan yang menjadi panglima komandonya adalah Mayor Jenderal Soeharto.

Korps Tentara Kora-1 pun berubah-ubah nama seiring berjalannya waktu, mulai dari Tjadangan Umum Angkatan Darat (Tjaduad) sampai Komando Tjadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad). Selain itu, pemerintah Indonesia juga membentuk Dewan Pertahanan Nasional (Depertan) pada 11 Desember 1961

Buku Sejarah TNI-AD, 1945-1973: Peranan TNI-AD dalam Mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia (1979), mencatat, tiga hari setelah itu, Presiden Sukarno memimpin sidang yang melahirkan Komando Operasi Tertinggi (KOTI). Baru pada tanggal 19 Desember 1961, Presiden Sukarno menyatakan maksud Trikora lewat pidatonya di Yogyakarta.

Salah satu aksi Trikora yang paling dikenal adalah penggunaan kapal penjelajah KRI Irian 201 yang didapat Indonesia dari Rusia. Kapal KRI Irian 201, menurut Achmad Taufiqoerahman dalam Kepemimpinan Maritim (2019:258), dilengkapi fasilitas tempur, seperti rudal, torpedo, hingga bom jarak jauh.

Namun, Amerika Serikat memberikan saran kepada Indonesia agar mengedepankan jalan diplomasi guna mengambil-alih Papua Barat dari Belanda. Amerika Serikat bersedia menjadi "penengah" dan menyediakan tempat “netral” untuk membicarakan masalah tersebut. Atas desakan AS, Indonesia dan Belanda bertemu kembali di satu meja pada 15 Agustus 1962.

Yang menjadi delegasi Indonesia adalah Adam Malik, sedangkan Belanda mengutus Dr. Jan Herman van Roijen. Diplomat AS, Ellsworth Bunke, bertindak sebagai penengah.

Perjanjian New York

Inti perundingan Perjanjian New York ini, menurut Constructing Papuan Nationalism (2005:30) karya Richard Chauvel, adalah bahwa Belanda harus menyerahkan Papua Barat kepada Indonesia selambat-lambatnya tanggal 1 Mei 1963.

Selama proses pengalihan, wilayah Papua Barat akan dipegang sementara oleh United Nations Temporary Executive Authority (UNTEA) yang dibentuk Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB).

Selain itu, Belanda juga harus menarik pasukannya dari Irian Barat. Sementara pasukan Indonesia diperbolehkan bertahan namun di bawah koordinasi UNTEA. Hingga akhirnya, tanggal 1 Oktober 1962, Belanda menyerahkan otoritas administrasi Papua kepada UNTEA.

Berikutnya, tanggal 31 Desember 1962, bendera Belanda resmi diturunkan dan digantikan dengan bendera Merah Putih sebagai tanda dimulainya kekuasaan de jure Indonesia atas tanah Papua di bawah pengawasan PBB.

Baca juga artikel terkait OPERASI TRIKORA atau tulisan lainnya dari Alexander Haryanto

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Alexander Haryanto
Editor: Iswara N Raditya