Menuju konten utama

Menguasai Papua dengan Rupiah Irian Barat

Mata uang Rupiah Irian Barat (IBRp) diberlakukan untuk menggantikan uang Belanda Nederlandsche Nieuw Guinea Gulden.

Menguasai Papua dengan Rupiah Irian Barat
Mata uang khusus Irian Barat pada 1950 yang diterbitkan Belanda. Foto/franzsanggenafa

tirto.id - Salah satu langkah pemerintah Indonesia terkait penyatuan wilayah adalah upaya menyelesaikan permasalahan Irian Barat. Pada 1955, Kabinet Burhanuddin Harahap membuka perundingan dengan Belanda. Delegasi ini dipimpin Anak Agung Gde Agung dan Sumitro Djojohadikusumo.

Perundingan dimulai pada 12 Desember 1955 di ‘s Gravenhage, Belanda, dan dilanjutkan di Jenewa, Swiss, pada awal Januari 1956. Hanya saja, tidak tercapai kesepakatan di antara dua pihak. Delegasi kembali ke Indonesia pada 11 Februari 1956 dengan tangan hampa. Belanda tidak mau menyerahkan Irian Barat ke tangan Indonesia.

Presiden Sukarno pun bereaksi dan mengeluarkan UU No. 13 tahun 1956 tentang pembatalan hubungan Indonesia dengan Nederland terkait Konferensi Meja Bundar (KMB). UU itu mulai berlaku 15 Februari 1956. Efek samping dari pembatalan KMB tersebut adalah bubarnya Uni Indonesia-Belanda, seperti ditulis Oey Beng To, Sejarah Kebijakan Moneter Indonesia, Jilid I 1945-1958 (1991: 384-389).

Baca juga:

Meski Uni-Indonesia Belanda bubar, Belanda tetap bertahan untuk urusan Irian Barat. Salah satu cara Belanda untuk mempertahankan kekuasaan di Irian Barat adalah dengan mengedarkan uang Nederlandsche Nieuw Guinea Gulden. Uang tersebut dicetak di percetakan Johan Enschede en Zonen, Haarlem, dan diedarkan oleh bank komersial Belanda, Nederlandsche Handel Maatschapij (NHM).

Dengan adanya uang yang beredar, perekonomian di Irian Barat bisa berjalan. Hal ini ditandai dengan adanya kapal-kapal asing yang berniaga di pelabuhan-pelabuhan Irian Barat.

Belanda yang bersikukuh mempertahankan kekuasaan di Irian Barat membuat pemerintah Indonesia berang. Pada 19 Desember 1961, Sukarno mencetuskan Tri Komando Rakyat (Trikora) sebagai upaya merebut Irian Barat. Jalan militer dan diplomasi pun digelar. Operasi militer yang dilakukan pemerintah RI juga melibatkan Bank Indonesia (BI).

Baca juga: Resolusi Tahun Baru ala Sukarno: Rebut Papua dari Belanda

Bank Indonesia Ikut Operasi Trikora

BI membentuk peleton bank yang tujuannya antara lain untuk membuka bank-bank di 5 kota utama Irian Barat: Kotabaru (kemudian diubah namanya menjadi Sukarnoputra dan diubah lagi pada masa Orde Baru menjadi Jayapura), Biak, Manokwari, Sorong, dan Marauke.

Peleton bank terdiri dari beberapa kesatuan: Bank Indonesia; Bank Negara Indonesia; Bank Koperasi, Tani, dan Nelayan urusan Exim; Bank Bumi Daya; dan Bank Dagang Negara. Berkaitan dengan itu, E. Soekasah Somawidjaja, kepala cabang Bank Indonesia Semarang, diperbantukan kepada pimpinan Komando Mandala di Makassar.

Baca juga: Pengorbanan Yos Sudarso di Laut Aru

Peleton bank rencananya memang akan diterjunkan bersama Komando Mandala. Namun, peleton ini dibubarkan setelah mendengar berita pada 15 Agustus 1962: Indonesia dan Belanda sepakat untuk menyelesaikan masalah Irian Barat melalui Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

Kesepakatan tersebut melahirkan United Nations Temporary Executive Authority (UNTEA), yaitu pemerintahan sementara di bawah PBB yang mengatur peralihan kekuasaan di Irian Barat termasuk di bidang perekonomian dan perbankan. Rachmat Saleh dan I Nyoman Muna dari BI turut berperan aktif dalam tim ekonomi UNTEA. Kelak, UNTEA menyerahkan Irian Barat kepada Indonesia pada 1 Mei 1963.

Meski peleton bank dibubarkan, kebutuhan pengaturan perbankan tetap membuat kontingen BI diberangkatkan ke Irian Barat pada Oktober 1962. Mereka berkantor di sebuah rumah tinggal di Kotabaru. Kantor BI kemudian pindah menempati kantor NHM, seiring dengan pembelian dan serah terima NHM kepada BI pada 23 Maret 1963.

Kegiatan komersial NHM dilanjutkan oleh BI, meski sebenarnya BI dilarang menjalankan fungsi komersial berdasarkan UU No. 13 Tahun 1963. Dengan izin khusus, BI bisa melakukan kegiatan komersial di Irian Barat dan diperpanjang hingga akhir 1969, seperti ditulis Noek Hartono, Bank Indonesia, Sejarah Lahir dan Pertumbuhannya (1976:135-136).

Berlakunya Rupiah Irian Barat

Kehadiran Bank Indonesia di Irian Barat mempercepat langkah pemerintah dalam mengedarkan Rupiah Irian Barat atau IBRp sebagai alat pembayaran yang sah. Selain itu, pengedaran IBRp juga dilakukan sebagai tindakan awal penyatuan perekonomian Irian Barat ke dalam sistem moneter Republik Indonesia.

Mata uang IBRp yang menjadi lambang kedaulatan Republik Indonesia di bidang ekonomi diedarkan berdasarkan Penetapan Presiden (Penpres) No. 2 tahun 1963 tentang satuan rupiah yang khusus berlaku untuk daerah Provinsi Irian Barat. Ia menggantikan Nederlandsche Nieuw Guinea Gulden yang dinyatakan tidak berlaku lagi sejak 30 November 1963. Uang yang beredar di Irian Barat saat itu ada tiga jenis, yaitu uang logam dan kertas pemerintah khusus untuk Irian Barat, serta uang kertas Bank Indonesia khusus untuk Irian Barat.

Baca juga: Duel Mata Uang Republik vs Mata Uang NICA

Uang logam pemerintah khusus untuk Irian Barat terdiri dari pecahan 1 sen, 5 sen, 10 sen, 25 sen, dan 50 sen. Uang ini merupakan Seri Presiden Sukarno dengan tanda tahun 1962 dan terbuat dari aluminium.

Uang logam tersebut merupakan alat pembayaran yang sah sampai sejumlah IBRp1 untuk pecahan 1 sen, IBRp5 untuk pecahan 5 sen, IBRp10 untuk pecahan 10 sen, dan IBRp25 untuk pecahan 25 sen, yang berarti maksimal 100 keping untuk masing-masing pecahan. Pencetakan uang logam tersebut dilakukan oleh PN Arta Yasa.

Uang kertas pemerintah khusus untuk Irian Barat terdiri dari pecahan IBRp1 dan IBRp2½ yang merupakan Seri Presiden Sukarno dengan tanda tahun 1961. Sebagai alat pembayaran yang sah, jumlahnya juga dibatasi hingga maksimal 100 lembar atau IBRp100 untuk pecahan IBRp1 dan IBRp250 untuk pecahan IBRp2½.

Uang kertas ini ditandatangani Menteri Keuangan Mr. Notohamiprodjo dan pada bagian depan dibubuhi tulisan “IRIAN BARAT”. Sedangkan nomor seri di bagian belakang dimulai dengan huruf “IB”. Adapun pencetakannya dilakukan oleh PN Pertjetakan Kebajoran.

Uang kertas Bank Indonesia khusus untuk Irian Barat terdiri dari pecahan IBRp5, IBRp10, dan IBRp100 yang merupakan Seri Presiden Sukarno dengan tanda tahun 1960. Pada bagian depan terdapat tulisan “IRIAN BARAT” dan nomor seri di bagian belakang uang diawali dengan huruf “IB”. Adapun penandatangan uang adalah Mr. Soetikno Slamet bersama Mr. Indra Kasoema. Pencetakannya dilakukan oleh PN Pertjetakan Kebajoran.

Baca juga:

Infografik Mata Uang Irian Barat

Selain itu, ditetapkan pula nilai perbandingan antara Rupiah Irian Barat dengan Gulden Nederlandsche Nieuw Guinea, yaitu IBRp1 = NNGƒ1. Tindakan ini dinilai cukup berhasil membendung inflasi, walaupun mengakibatkan dampak negatif berupa penyelundupan barang dari Irian Barat ke daerah sekitarnya.

Dalam masa transisi ini, IBRp1 memiliki nilai tukar yang lebih tinggi dibanding Rp1 yang beredar di wilayah lain. Pembedaan ini dilakukan agar nilai rupiah Irian Barat tidak lebih rendah dari nilai Gulden yang digunakan selama ini. Hingga kemudian ditetapkan nilai Rupiah Irian Barat sama dengan nilai Gulden Nederlandsche Nieuw Guinea.

Baca juga laporan in-depth Tirto tentang kekerasan militer di Papua:

Nilai uang yang lebih tinggi menimbulkan rasa iri para pegawai di wilayah Indonesia lain karena gaji pegawai di Irian Barat menjadi sangat tinggi. Hal itu memunculkan pemeo bahwa “Irian Barat, dari neraka berubah menjadi surga” bagi pegawai negeri.

Menghadapi inflasi berkepanjangan pada pertengahan 1960-an, pemerintah mengeluarkan Penpres No. 27 Tahun 1965 yang berisi penerbitan uang kertas dan logam baru sebagai alat pembayaran yang sah di seluruh wilayah Indonesia menggantikan uang yang tengah beredar, termasuk Rupiah Irian Barat. Aturan tersebut juga menyatakan, penarikan uang IBRp akan diatur lebih lanjut, dalam tulisan J. Soedradjad Djiwandono, dkk., Bank Indonesia, Sejarah Bank Indonesia Periode II 1959-1966 (195-199).

Baca juga: Kebenaran Telah Mati di Papua, Bagaimana Jurnalis Bersikap?

Beberapa bulan kemudian, pada 15 September 1966, Ketua Presidium Kabinet Ampera Soeharto mengeluarkan keputusan No. 31/EK/KFP/9/66 yang isinya menunda pemberlakuan uang Rupiah baru di Irian Barat sehingga uang IBRp masih berlaku. Selama 8 tahun, Rupiah Irian Barat tetap berlaku sampai diterbitkannya Keppres No. 8 Tahun 1971 tentang berlakunya mata uang Rupiah di seluruh wilayah Republik Indonesia termasuk daerah Provinsi Irian Barat.

Pada 31 Mei 1971, uang kertas dan logam Irian Barat ditarik melalui mekanisme penukaran dengan perbandingan IBRp1 setara Rp18,90. Sejak itu, di Irian Barat berlaku mata uang Rupiah yang sama dengan yang berlaku di seluruh Indonesia. Sesuatu yang tak hanya menandai kesatuan moneter, tapi juga penguasaan total Indonesia atas Irian Barat.

Baca juga artikel terkait SEJARAH INDONESIA atau tulisan lainnya dari Syefri Luwis

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Syefri Luwis
Penulis: Syefri Luwis
Editor: Ivan Aulia Ahsan