tirto.id - Di tengah situasi politik dan ekonomi yang serba tak menentu, pemerintah Republik Indonesia yang sedang mengungsi ke Yogyakarta mengambil langkah bersejarah. Pada malam 29 Oktober 1946 di Yogyakarta, Wakil Presiden Mohammad Hatta berpidato melalui RRI Yogyakarta tentang dikeluarkannya mata uang resmi.
Pidato yang berlangsung sekitar pukul 20.00 itu menjadi momentum awal menegaskan kedaulatan ekonomi Indonesia. Pada malam itulah Hatta mengumumkan tentang Oeang Rupublik Indonesia (ORI).
Hatta menegaskan bahwa ORI mulai berlaku pukul 00.00 tengah malam atau beberapa jam setelah pidatonya. Uang Jepang dan uang De Javasche Bank yang selama ini beredar sebagai uang yang sah dinyatakan tidak berlaku lagi.
Lahirnya ORI terjadi saat pemerintah republik dalam kondisi darurat. Ibu kota dipindah ke Yogyakarta sejak Januari 1946 karena Jakarta sudah tidak kondusif lagi. Kota yang dulunya bernama Batavia pelan tapi pasti mulai dikendalikan tentara asing, mulanya Sekutu lalu pemerintahan Belanda di Hindia, Nederlandsch Indie Civil Administratie (NICA).
“Besok tanggal 30 Oktober 1946 adalah suatu hari yang mengandung sejarah bagi tanah air kita, rakyat kita menghadap penghidupan baru. Besok mulai beredar Oeang Republik Indonesia sebagai satu-satunya alat pembayaran yang sah," kata Hatta.
Baca juga: Gempa ke Protes Alasan-alasan Pindah Ibu Kota
Hatta menyebut momentum tersebut sebagai babakan bersejarah dalam perjalanan Republik Indonesia.
"Sejak mulai besok kita akan berbelanja dengan uang kita sendiri, uang yang dikeluarkan oleh republik kita," seru Hatta.
Pidato Hatta malam itu tak muncul begitu saja. Sejak awal kemerdekaan, pemerintah RI memang menginginkan memiliki mata uang sendiri. Sejak 1945 sudah ada upaya mempersiapkan kelahiran mata uang sendiri di tengah berbagai keterbatasan yang membelit pemerintah.
Salah satu upaya politik untuk mengurangi pengaruh NICA adalah pernyataan yang dikeluarkan pada 2 Oktober 1945. Pada tanggal itu, pemerintah mengumumkan tidak berlakunya uang NICA di wilayah republik.
Untuk memastikan agar pernyataan politik itu bisa berdampak di lapangan, pemerintah berusaha selekas mungkin memproduksi mata uang sendiri. Persiapan penerbitan ORI dimulai pada masa A.A. Maramis menjadi Menteri Keuangan RI yang kedua. Pada 24 Oktober 1945, Maramis menginstruksikan Serikat Buruh Percetakan G. Kolff & Co. Jakarta untuk mencari tempat percetakan uang ORI.
Baca juga:
Tim itu merekomendasikan Percetakan G. Kolff Jakarta yang waktu itu dikuasai oleh serikat buruh pro-republik dan Percetakan Nederlands Indische Mataaalwaren en Emballage Fabrieken (NIMEF) di Kendalpayak, Malang. Namun pemerintah beranggapan Percetakan G. Kolff Jakarta kurang memadai, sehingga perlu meninjau percetakan-percetakan lainnya di beberapa kota, seperti Surabaya, Yogyakarta dan JakartaSelanjutnya, Maramis membentuk Panitia Penyelenggara Pencetakan Oeang RI (PPPO-RI) yang diketuai T.B.R. Sabarudin. Kala itu Sabarudin menjabat sebagai Direktur Bank Rakyat Indonesia. Selain membentuk PPPO-RI, Maramis juga membentuk panitia untuk mempertimbangkan cara-cara menerima, menyimpan dan mengedarkan uang baru. Panitia tersebut dipimpin Enang Koesnadi dari Kas Negeri Jakarta.
Macam-macam kendala menghadang, mulai dari stok kertas, tinta, bahan kimia untuk fotografi dan sinkografi, pelat seng untuk klise, hingga mesin aduk untuk membuat tinta. Berkat bantuan secara sukarela dari para karyawan beberapa perusahaan asing di Jakarta yang belum sempat dikuasai Sekutu, bahan-bahan dan alat-alat yang dibutuhkan berhasil dikumpulkan.
Abdulsalam dan Soerono ditunjuk melukis atau membuat ilustrasi. Pembuatan desain dan bahan-bahan dasar berupa negatif kaca dilakukan di Percetakan Balai Pustaka Jakarta, dan Percetakan De Unie yang dikerjakan Bunjamin Surjohardjo. Di Percetakan De Unie itulah litografi dibuat. Proses offset-nya dilakukan pertama kali di percetakan yang berada di bawah Kementerian Penerangan, yakni Percetakan RI Salemba, Jakarta.
ORI baru bisa mulai diproduksi di masa Surachman Tjokroadisurjo menjadi Menteri Keuangan keempat. Produksi ORI dimulai pada Januari 1946 dan ditangani R.A.S Winarno dan Joenoet Ramli. Mereka melakukan pencetakan setiap hari, mulai dari pukul 07.00 hingga 22.00 waktu setempat.
Baca juga: Artikel-Artikel Membaca Sejarah Lewat Gambar Mata Uang
ORI pertama yang dicetak R.A.S Winarno dan Joenoet Ramli adalah lembaran pecahan 100 rupiah. Kemudian, pada masa Menteri Keuangan kelima, Sjafruddin Prawiranegara, ORI resmi beredar pada 30 Oktober 1946, sehari setelah pidato Hatta. Mata uang yang dicetak itu ditandatangani Maramis.
Pada saat itu, ORI emisi 1 terbit dalam delapan seri uang kertas yaitu satu sen, lima sen, sepuluh sen, setengah rupiah, satu rupiah, lima rupiah, sepuluh rupiah, dan seratus rupiah.
ORI Lahir Tapi Tak Mudah Diedarkan
Ayatrohaedi, dalam Kumpulan Buklet Hari Bersejarah II,menuliskan cerita tentang bagaimana mata uang Indonesia dikeluarkan pada masa serba darurat. Teknis distribusi ORI kala itu tetap memakai mekanisme perbankan yaitu pemerintah mewajibkan rakyat untuk menyimpan di bank. Respons masyarakat terhadap ORI cukup baik. Di beberapa daerah pemberian ORI dilakukan dengan khidmat dengan dibungkus merah putih. Tidak jarang acara itu dirayakan pula dengan acara selamatan.
Pada masa itu proses percetakan tak hanya dilakukan di Jakarta, beberapa daerah juga diizinkan mencetak ORI melalui Dewan Pertahanan Daerah. Karena terbatasnya saluran komunikasi, produksi uang yang mulai lancar itu tidak diikuti dengan distribusi yang maksimal.
Mengedarkan ORI ke seluruh pelosok daerah terbukti jauh lebih sulit daripada sekadar membuat seremoni. Sarana dan prasarana yang kurang memadai, ditambah minimnya tenaga terampil di bidang moneter dan perbankan, membuat ORI sulit diedarkan. Bahkan hasil cetakan ORI ada yang hanya dibungkus secara darurat dalam keranjang bekas.
Jangankan mencapai ke seluruh wilayah RI di luar Pulau Jawa, di wilayah Pulau Jawa saja sulit diwujudkan. Apalagi, pada saat bersamaan, pihak Belanda melalui NICA juga terus menghalangi peredaran ORI.
NICA menerbitkan mata uang sendiri pada 6 Maret 1946 di daerah Indonesia yang dikuasai Sekutu. Tujuannya jelas ingin mengendalikan perekonomian Indonesia. Caranya bukan hanya dengan mengkondisikan agar uang NICA terus beredar di wilayah Indonesia, mereka juga memalsukan ORI. Pemalsuan itu dilakukan agar kredibilitas ORI menjadi buruk sehingga orang berpikir dua kali untuk menggunakannya.
Baca juga:
Beruntung antusiasme rakyat Indonesia terhitung tinggi. Kendati awal peredarannya sangat terbatas di kota-kota besar, rakyat yang bisa mendapatkan ORI sangat senang dan bangga menggunakannya untuk bertransaksi. Dukungan tidak hanya datang dari rakyat yang berada di wilayah yang dikuasai republik, tapi juga di daerah pendudukan.
Pedagang ayam di Pasar Tanah Abang, Jakarta, hingga tukang becak, lebih memilih dibayar dengan ORI daripada uang NICA. Bahkan, transaksi perdagangan di beberapa pasar tradisional di Jakarta yang notabene dikuasai NICA pun seringkali dilakukan menggunakan ORI.
Meski begitu, ada juga penduduk yang bimbang untuk menerima, menyimpan dan menggunakan ORI, terutama di perbatasan. Alasannya bukan karena mereka tidak nasionalis atau tidak percaya ORI, melainkan alasan keamanan. Mereka takut diketahui menggunakan ORI oleh tentara NICA. Begitu pun sebaliknya, penduduk juga takut menyimpan uang NICA karena pejuang republik bisa marah jika melihatnya.
Agresi militer Belanda I pada 1947, membuat pemerintah memberikan kewenangan kepada daerah untuk menerbitkan mata uang sendiri secara darurat. Dari situlah muncul Uang Republik Indonesia Daerah atau Urida.
Peranan Urida semakin vital terutama setelah Agresi militer Belanda II pada Desember 1948. Serangan yang membuat Yogyakarta jatuh ke tangan Belanda sehingga memicu berdirinya Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI). Saat itu Sjafruddin Prawiranegara selaku pemimpin PDRI harus mengatasi kelangkaan ORI (baca: Apa Jadinya Jika Tak Ada PDRI?).
R.Z. Leirissa dalam Sejarah Perekonomian Indonesia (2012) mengungkapkan setelah pendudukan Belanda terhadap Yogyakarta, nilai tukar ORI jatuh terhadap uang NICA. Khusus di kota-kota besar nilai tukar ORI turun tajam. Kondisi yang lain terjadi di kota-kota kecil dan pedesaan, nilai ORI tetap tinggi karena petani dan pedagang menolak uang NICA.
Baca juga: Gerak Dolar Melawan Rupiah
Awalnya penukaran uang antara ORI dengan uang NICA adalah 1:5. Kemudian, melemah menjadi 1:7. Setelah itu, ORI menguat kembali menjadi 1:3 dan 1:2 per 31 Maret 1949, setelah terjadi serangan umum 1 Maret 1949.
Penerbitan ORI merupakan salah satu upaya republik dalam membiayai revolusinya ketika sumber pembiayaan lainnya sudah tidak memadai. Namun, kehadiran ORI rupanya lebih dari itu.
Penerbitan ORI justru menjadi penegas bahwa perjuangan kemerdekaan Indonesia bukan semata-mata dilakukan dengan kekuatan senjata dan diplomasi politik, tetapi juga dari soal mata uang. Dan dalam ORI ini, dukungan rakyat termanifestasikan dengan cara yang sederhana namun terang benderang: menggunakan ORI.
Penulis: Ringkang Gumiwang
Editor: Zen RS