tirto.id - Dalam sebuah pidato di Istana Negara pada 19 Mei 1962, Presiden Sukarno berkata kepada hadirin upacara pelantikan penerbang Angkatan Udara Republik Indonesia (AURI). Isinya tidak jauh soal kebanggan terhadap militer yang dimiliki Indonesia dan kampanye “pembebasan Irian Barat”.
Menurut Sukarno, meski terdapat beberapa kekurangan, angkatan perang yang dibangun pemerintah Indonesia sejak merdeka, 17 Agustus 1945, semakin sempurna dan kuat. Capaian tersebut, bagi Sukarno, amat penting guna menjadikan Angkatan Perang Republik Indonesia (APRI), termasuk AURI di dalamnya, sebagai alat untuk merebut Irian Barat – yang dikenal juga dengan sebutan Papua – dari kuasa Belanda.
Pidato berjudul “Kita: Angkatan Perang yang Kuat” itu termuat dalam buku Bung Karno: Masalah Pertahanan-Keamanan (2010) yang disunting Iman Toto K. Rahardjo dan Suko Sudarso.
Dalam pidato itu tersurat Sukarno punya tekad merebut Papua sebelum tahun 1962 berakhir. Laiknya menyatakan resolusi tahun baru, presiden Indonesia pertama itu berkata, “Irian Barat harus merdeka, bebas masuk ke dalam wilayah kekuasaan Republik sebelum ayam jantan berkokok pada tanggal 1 Januari 1963.”
Kata-kata “ayam jantan berkokok pada tanggal 1 Januari 1963” itu pun tidak hanya disebut sekali. Ia muncul juga dalam pidato "Menghadapi Saat-saat yang Menentukan" yang disampaikan Sukarno pada Pelantikan Perwira-perwira Remaja Akademi Angkatan Laut (AAL) di Surabaya, 17 Juni 1962.
“Kehendak rakyat ialah bahwa pemerintah Republik Indonesia telah tertanam, tertanam di Irian Barat sebelum ayam jantan berkokok pada tanggal 1 Januari 1963,” sebut Sukarno.
Konfrontasi Sebelum Ayam Jantan Berkokok
Ambisi itu ingin digapai Bung Karno sejak lama. Segala upaya pun dikerahkan. Salah satunya tergambar dalam tindakannya terhadap Papua semasa menjabat presiden dari 1945 hingga 1966.
Ulf Sundhaussen, dalam Politik Militer Indonesia 1945-1967 (1986, hlm. 274-277) menyatakan ada tiga hal yang menjadi program jangka pendek Kabinet Kerja tahun 1959, yakni penyediaan sandang dan pangan bagi rakyat, pemulihan keamanan dalam negeri, "pengembalian" Irian Barat.
Sundhaussen juga mencatat, pada 1960 Indonesia memutuskan hubungan diplomatik dengan Belanda. Kemudian, pada awal 1961, Sukarno mengimbau para kepala staf angkatan perang mempersiapkan diri untuk melancarkan aksi militer perebutan wilayah Papua.
“Bagi Presiden, masalah Irian Barat mempunyai prioritas paling tinggi,” sebut Sundhaussen. Ini berpuncak kala Sukarno menyatakan konfrontasi terhadap Belanda dalam pidatonya di peringatan Hari Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, 17 Agustus 1961.
“Kita tidak akan membuang-buang kata lagi dengan Belanda sekarang! Irian Barat harus secepatnya dikembalikan ke dalam wilayah kekuasaan Republik. Pada waktu ini kebijaksanaan kita terhadap Belanda adalah kebijaksanaan konfrontasi di segala bidang – bidang politik ekonomi ya bahkan dalam bidang militer!” sebut Sukarno.
Di sisi lain, Belanda juga semakin memperuncing. Ester Yambeyapdi, dalam artikel berjudul “Papua Barat dalam Perundingan”, yang dimuat di Jurnal Sejarah (Vol. 6, No. 1, Agustus 2004) membeberkan, pada Sidang Umum PBB September 1961 delegasi Belanda mengajukan "Usulan Luns". Kata Luns diambil dari nama Menteri Luar Negeri Belanda saat itu, Joseph Marie Antoine Hubert Luns.
Isi usulannya agar Papua berada di bawah perwakilan PBB dan kemudian diberikan "penentuan nasib sendiri" menuju kemerdekaan.
Sikap Belanda tersebut dibalas Menteri Luar Negeri Indonesia saat itu, Subandrio. Menurutnya, jika PBB menerima usulan Belanda, itu membenarkan hak Indonesia untuk mengusir Belanda dengan kekerasan. Pada akhirnya, usulan Belanda tersebut ditolak Majelis Umum PBB.
Berselang tiga bulan kemudian, pada 19 Desember 1961, Presiden Sukarno mengumumkan kampanye Tri Komando Rakyat. Dia menyerukan, pertama, untuk menggagalkan pembentukan negara boneka Papua. Kedua, untuk mengibarkan bendera merah putih di Irian Barat. Dan ketiga, untuk bersiap-siap bagi mobilisasi umum.
Nugroho Notosusanto, dalam Sedjarah Operasi2 Pembebasan Irian Barat (1971), menyebutkan pada 2 Januari 1962, melalui, Keputusan Presiden Nomor 1/1962, Sukarno membentuk Komando Mandala yang bertugas melancarkan operasi militer untuk merebut Papua. Komandan operasi tersebut adalah Seoharto yang saat itu berpangkat mayor jenderal.
“Ini dilakukan sementara Indonesia masih dalam proses merundingkan pengembalian Papua. Dengan Demikian Indonesia menggunakan tekanan militer untuk memperoleh persyaratan yang menguntungkan baginya,” sebut Sundhaussen.
Karena Perjanjian New York
Dua bulan selepas pidato Sukarno di AAL, Indonesia tampak berhasil mendepak Belanda dari Papua.
Pada 15 Agustus 1962, Indonesia dan Belanda menandatangani Perjanjian New York. Isinya menyatakan bahwa Belanda akan menyerahkan kekuasaannya atas Papua kepada United Nations Temporary Executive Authority (UNTEA). Lembaga tersebut yang bakal menyerahkan kekuasaan atas Papua kepada Indonesia.
Perjanjian itu mengatur bahwa Indonesia harus melaksanakan suatu Act of Free Choice atau penentuan pendapat orang Papua mengenai kesediannya menjadi bagian dari Indonesia atau tidak sebelum akhir tahun 1969. Kegiatan tersebut berada dalam pengawasan PBB.
Mimpi Sukarno untuk menjadikan Papua masuk dalam wilayah Indonesia semakin dekat realisasinya sebelum ayam jantan berkokok 1 Januari 1963. Namun, dia tidak lagi menjabat presiden saat Act of Free Choice yang digelar pada 1969 karena kadung lengser pada 1966 digantikan Soeharto.
Penulis: Husein Abdulsalam
Editor: Ivan Aulia Ahsan