Menuju konten utama

Nyanyian "Papua Bukan Merah Putih" di Jakarta

Demonstran memaknai penindasan dan ketidakadilan di Papua sebagai bentuk penjajahan Pemerintah Indonesia.

Nyanyian
Aktivis dari Front Rakyat Indonesia untuk West Papua melakukan orasi pada aksi peringatan hari kemerdekaan Papua di Jalan Diponegoro, Jakarta Pusat, Jumat (1/12/2017). tirto.id/Arimacs Wilander

tirto.id - “Papua bukan merah putih. Papua bukan merah putih. Papua bintang kejora. Baru-baru kau bilang merah putih,” ratusan demonstran menyanyikan penggalan lirik lagu berjudul Papua Bukan Merah Putih itu berulang-berulang.

Jumat (1/12) pagi di di depan kantor YLBHI, Jalan Diponegoro, Jakarta Pusat, orang-orang yang bersimpati terhadap nasib minor masyarakat Papua berkumpul. Barisan sudah mereka rapatkan satu jam sebelum jadwal aksi yang tertuang dalam surat pemberitahuan ke pihak keamanan dimulai.

Pelan-pelan aparat kemanan menambah jumlah. Para demonstran kemudian berbareng berarak menuju kantor PT Freeport Indonesia (PTFI) di Kuningan, Jakarta Selatan. Tapi baru sekitar 80 meter melangkah-- tepatnya di depan kantor Kedutaan Besar Republik Sosialis Demokratik Srilangka-- Kapolsek Metro Menteng AKBP Ronald A Purba dan pasukannya mengadang laju demonstran.

Ronald melarang demonstran yang terdiri dari Aliansi Mahasiswa Papua dan Front Rakyat Indonesia untuk West Papua (FRI-WP) gabungan wilayah Jawa dan Bali ke PTFI. Juru Bicara FRI-WP, Surya Anta menuturkan pendamping hukum dari LBH Jakarta sempat bernegosiasi dengan Ronald.

Pendamping hukum massa aksi meminta aparat kepolisian mengizinkan demonstran jalan ke PTFI dengan janji tidak menyuarakan satu pun orasi. Tapi tawaran itu ditolak Ronald dengan alasan ini hari libur nasional.

“Padahal bagi kami ini hari kemerdekaan Papua,” ungkap Surya.

Ronald juga menolak saat perwakilan demonstran menawarkan diri menggunakan metromini, tidak berjalan kaki ke PTFI seperti rencana semula.

Para demonstran protes namun tak melawan dengan kekerasan. Mereka saling bergandengan tangan, berdiri, dan duduk membentuk lingkaran. Di dalam lingkaran itu sejumlah demonstran melakukan tarian tradisional Papua: Waita. Mereka berlarian menirukan suara burung sebagai ungkapan protes. Sejumlah demonstran juga meruapkan kekesalan dengan memasang ikat kepala berlogo bendera bintang kejora. Di sela tarian Waita terdengar teriakkan salam persatuan berbagai suku di Papua: “Waa.. Waa.. Waa.”

Para demonstran juga menyanyikan lagu "Internasionale" yang telah digubah dalam bahasa Indonesia. Ini salah satu lagu khas kaum sayap kiri dalam gerakan sosialis di Eropa sejak akhir abad ke-19, juga populer di kalangan aktivis di berbagai periode sejarah Indonesia.

Ada 200 bunga yang diacungkan lalu diberikan ke aparat polisi dan ditempelkan di muka truk water cannon DWC6500. Semua aksi itu adalah simbol perlawanan damai turun-menurun bangsa West Papua terhadap penindasan Pemerintah Indonesia.

“Nenek moyang bangsa Papua meninggal dibantai, kemudian hidup di dalam orang-orang muda ini dan tumbuh dalam bunga ini,” ujar Surya.

Surya memaknai penindasan dan ketidakadilan di Papua sebagai bentuk penjajahan Pemerintah Indonesia. Ia mendesak Presiden Jokowi memberikan hak orang Papua untuk merdeka dan menentukan nasib sendiri. Selain itu eksploitasi kekayaan alam Papua berupa emas dan penyerobotan tanah ulayat oleh PTFI harus dihentikan. Ia juga meminta TNI dan Polri hengkang dari Tanah Papua. Semua demi menghentikan pelanggaran HAM di Papua yang terus berulang.

“Bagi mama-mama Papua, mereka melahirkan anak yang kemudian,” lanjut Surya. “Mati di tangan tentara dan polisi. Memang secara kultural tentara dan polisi Indonesia begitu melihat orang Papua bukan sebagai manusia.”

Usai tarian dan pekik perlawanan dilakukan para demonstran memberi kesempatan kepada orang Indonesia dan bangsa West Papua melantangkan orasi secara bergantian. “Negara digunakan sebagai alat kelompok pemodal yang sedang berkuasa untuk melegalkan penindasan di tanah Papua,” teriak Sekjend AMP, Adhen dalam orasinya.

Adhen menjelaskan, Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) tahun 1969 bersifat manipulatif dan tak demokratis yang menggugurkan kemerdekaan Papua 1961. Dari tahun itu hingga hari ini, masyarakat Papua yang melakukan perlawanan justru dihabisi oleh pemerintah Indonesia. Genosida yang terjadi di Papua selalu ditutupi oleh pemerintah Indonesia dengan menghambat akses jurnalis asing, nasional, maupun pemantau HAM.

"Hal tersebut merupakan sebuah kolaborasi kapitalisme, kolonialisme, dan militerisme yang diaplikasikan melalui praktik politik, penggabungan paksa Papua ke dalam bingkai Republik Indonesia."

Di luar lingkaran para demonstran yang terus bergemuruh itu, aparat kepolisian gabungan Polsek Menteng, Polres Jakarta Pusat, dan Polda Metro Jaya membentuk lingkarang lebih besar. Sekitar 285 demonstran dikungkung dalam lingkaran 87 pasukan Sabhara Polda Metro Jaya yang selalu berganti setiap 30 menit.

Di balik lingkaran Sabhara, terdapat delapan personil polisi membawa senjata pelontar gas air mata. Peluru gas air mata yang disiapkan berselongsong merah. Ada pula satu truk water cannon DWC6500, enam mobil reserse Polda Metro Jaya, dan tiga mobil rumah tahanan (Rutan) Polda Metro Jaya yang selalu ada di aksi orang asli Papua.

Saat ditanya, mengapa disiapkan tiga mobil Rutan, Ronald hanya menjawab singkat, “Ya itu memang protap (prosedur tetap) keamanan,” ungkapnya diulang sebanyak tiga kali. Dia juga menjelaskan, jumlah seluruh aparat polisi terdiri dari 400 personil.

Ronald mengaku meminta para demonstran mengakhiri aksi jam 10.30 siang. Namun demonstran bubar sebelum waktu yang ditentukan dan melanjutkan aksi di dalam pelataran Gedung YLBHI. Sekali lagi: dengan damai tanpa kekerasan.

Baca juga artikel terkait PAPUA atau tulisan lainnya dari Dieqy Hasbi Widhana

tirto.id - Politik
Reporter: Dieqy Hasbi Widhana
Penulis: Dieqy Hasbi Widhana
Editor: Jay Akbar