Menuju konten utama

Trah Moekardanoe di Pusaran Pertempuran Pembebasan Irian Barat

Sengketa Indonesia-Belanda dalam perebutan Papua juga menjadi Perang Saudara bagi keluarga Moekardanoe. 

Trah Moekardanoe di Pusaran Pertempuran Pembebasan Irian Barat
Ilustrasi Hartojo Moekardanoe. tirto.id/Sabit

tirto.id - Sejak 15 Januari 1962, pesawat patrol laut Neptune P2V-78 milik Koninklijk Marine (KM) alias Angkatan Laut Kerajaan Belanda melihat tiga kapal perang tengah melintasi Laut Aru. Dari radar pesawat, pilot Neptune ini sudah melihat kapal-kapal milik Angkatan Laut Republik Indonesia (ALRI) itu mengarah ke pantai Papua.

Kapal-kapal yang dilihat pesawat Neptune itu adalah motor torpedo boat (MTB) tanpa peluru torpedo, yang terdiri dari KRI Matjan Tutul, KRI Matjan Kumbang, dan KRI Harimau. Mereka mengangkut perwira-perwira penting dari Angkatan Laut dan Angkatan Darat Indonesia.

Awak Neptune sadar, tak mungkin mereka menghadapi armada-armada RI itu sendiri. Tak tunggu lama, pilot itu mengirim sinyal tanda bahaya kepada kapal-kapal perang Belanda yang sedang patroli: HRMS Eversten, HRMS Kortenaer, dan HRMS Utrecht.

“Pada pukul 21.45, setelah saya pastikan konvoi tersebut telah masuk wilayah perairan Papua, Neptune saya mulai persiapan untuk mengawali serangan,” aku si pilot Neptune di kemudian hari, seperti dicatat Julius Pour dalam Konspirasi di Balik Tenggelamnya Matjan Tutul (2011:123).

Kondisi gelap itu membuat awak Neptune butuh penerang. Lampu suar pun ditembakan agar kapal lawan terlihat di kegelapan Laut Aru. Tembakan suar pertama gagal. Setelah tembakan kedua sukses, barulah serangan terhadap KRI-KRI itu mulai dilakukan Neptune. Sasaran ini tergolong empuk bagi Belanda.

Armada-armada Belanda lain pun turut menembaki armada Indonesia. Saking empuknya, pihak armada laut Indonesia tak berdaya. Penyerangan itu membuat KRI Matjan Tutul tenggelam, menewaskan para awaknya, termasuk Komodor Yos Sudarso. Peristiwa ini memilukan Angkatan Laut dan juga semua orang Indonesia. Belakangan, Yos Sudarso jadi Pahlawan Nasional karena pengorbanannya dalam pertempuran itu.

Pilot Neptune Berdarah Jawa

Pilot yang mengawaki Neptune itu bukanlah orang Belanda tulen, melainkan seorang berdarah Jawa bernama Hartojo Moekardanoe dan biasa disapa Harry. Dia bukan pilot kemarin sore. Menurut keterangan Zitting 1953—1954 — 358 7 Naturalisatie van Hendrik Petrus van den Abeele en 20 anderen Memorie van Toelichting Nomor 3, Hartojo yang kelahiran Balige (Sumatra Utara) 19 Maret 1923 itu melamar dan diterima dalam Angkatan Laut Kerajaan Belanda sejak 1941.

Di masa Perang Dunia II, Hartojo ikut mengungsi ke Australia. Dia kemudian belajar penerbangan di Amerika. Harry lantas ditempatkan di Marine Luchtvaart Dienst (MLD) alias Dinas Penerbangan Angkatan Laut Kerajaan Belanda.

Harry punya pengalaman mirip dengan Abdul Halim Perdanakusumah yang berasal dari Madura. Dua orang ini adalah anggota MLD Belanda yang dilatih penerbangan militer oleh sekutu di masa Perang Dunia II. Halim kemudian ikut operasi militer udara di pihak sekutu.

Setelah Indonesia merdeka, Halim kembali ke Indonesia, di mana dia menjadi salah satu pendiri Angkatan Udara Republik Indonesia (AURI). Halim bukan satu-satunya MLD yang masuk AURI. Buku Dan Toch Maar (2009:25) menyebut beberapa mantan MLD masuk ke bagian udara dari tentara Republik. Setelah dinas penerbangan ALRI terbentuk, barulah bekas bintara ALRI yang mantan MLD masuk ke Dinas Penerbangan AL. Halim akhirnya menjadi salah satu pahlawan nasional Indonesia dari AURI.

Infografik Hartojo Moekardanoe

Infografik Hartojo Moekardanoe. tirto.id/Sabit

Sebenarnya tak hanya ada satu Moekardono dalam armada MLD Belanda di masa-masa Perang Dunia II. OG Ward, dalam De Militaire Luchtvaart van het KNIL in de jaren 1942-1945 (1985:393) menyebut ada Kopral calon penerbang bernama Bimanto Moekardono dan kopral bagian persenjataan bernama Arie Moekardono. Namun di antara penyandang nama Moekardono itu, Harry yang punya pangkat paling tinggi: Sersan Penerbang.

Menurut data Oorlogs Graven Stichting yang mencatat korban perang dari Belanda, Bimanto Moekardanoe lahir pada 19 September 1921 dan meninggal di Amerika pada 19 Mei 1943, dimakamkan di Cedar Lawn Cemetery, Jackson, negara bagian Mississipi. Sementara itu, menurut Staatsblad van het Koningrijk der Nederlanden, 1967, no. 348-400 (01/01/1967), Arie lahir di Balige pada 7 April 1920.

Tiga orang Moekardanoe ini lahir di Balige. Di daerah itu pernah ada pegawai pekerjaan umum kolonial yang juga bernama Moekardanoe. Jadi para Moekardanoe yang jadi anggota MLD itu lahir di Tanah Batak, tentu karena orang tua mereka yang teknokrat dari Jawa bertugas di sana pada zaman kolonial dan akhirnya beranak pinak.

Setelah Belanda harus angkat kaki dari seluruh Indonesia, kecuali Papua, Harry Moekardanoe tetap berkarier di Angkatan Laut Belanda. Pangkatnya tentu bukan lagi Sersan. Pada 1954 dia sudah berpangkat letnan laut kelas dua dan sebagai penerbang kelas dua di KM. Hingga kemudian dia ikut dalam sengketa perebutan Papua di pihak Belanda. Menurut data Kementerian Pertahanan Belanda, Harry tutup usia pada 2 Januari 1981 di Anna Pouwlona, Belanda.

Ada lagi cerita unik lain terkait keluarga Moekadanoe. Menurut catatan Henk Hoogink dalam Gedroomd land Papua - Voormalig Nederlands Nieuw-Guinea(2015:48), Harry masih punya saudara yang menjadi anggota TNI dan bertugas dalam konflik Indonesia-Belanda dalam berebut Irian Barat. Saat itu, saudara Harry bertugas di bawah komando Mayor Jenderal Soeharto selaku Panglima Mandala operasi pembebasan Irian Barat, yang dikenang sebagai Operasi Trikora.

Maka tak ayal: Konflik Indonesia-Belanda berebut Papua ini pun berasa jadi perang saudara bagi keluarga besar Moekardanoe.

Baca juga artikel terkait TRIKORA atau tulisan lainnya dari Petrik Matanasi

tirto.id - Humaniora
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Nuran Wibisono