tirto.id - Thomas Nussy pernah memimpin pasukan perang Republik Maluku Selatan (RMS). Ia prajurit yang handal dan ditakuti.
"Dia seorang yang luar biasa. Tubuhnya besar dan tinggi, atletis. Warna kulitnya hitam, rambutnya juga hitam kribo. Dia bergerak dengan membawa senapan Lee Enfield, Jungle Rifle, dan [pisau] Bowie. Dia selalu dikawal anjing herder yang sangat besar, tak mau membawa ajudan. Dia juga seorang penembak mahir. Kami menduga dialah yang menembak Letnan Dua TNI Andi Lolo," tulis Mayor Jenderal Andi Mattalatta dalam autobiografinya Meniti Siri dan Harga Diri (2014:569).
Andi Mattalata adalah salah satu perwira menengah yang pada tahun 1950 ikut dalam operasi penumpasan RMS.
Menurut MS Kamah dalam Catatan Seorang Wartawan (1996:59), ketika Perang Dunia II berkecamuk, Nussy berada di Australia dan bergabung dengan pasukan baret merah (pasukan penerjun) KNIL. Sementara sumber lain menyebut warna baret Nussy adalah hijau (pasukan komando).
Dalam catatan Jusuf Puar pada buku Peristiwa Republik Maluku Selatan (1956:144-145) disebutkan, Thomas Nussy lahir di Ngawi pada 1917. Selain dia, salah satu marga Nussy yang terkenal adalah Sersan Th. Nussy yang menerima penghargaan bintang ksatria Militaire Willems-Orde kelas tiga.
Selama Masa Bersiap, banyak orang Ambon yang menjadi sasaran kebencian orang-orang pro Republik. Mereka diidentikkan sebagai kesayangan Belanda karena menonjol dalam pelbagai tugas di ketentaraan kolonial.
Menurut Thomas Nussy, seperti dikutip dari koran Nieuwsblad van het Noorden (27/02/1988), di Makassar pada Masa Bersiap banyak orang Ambon yang dibunuh. Sebagai contoh, seperti ditulis Lahadjdji Patang dalam Sulawesi dan Pahlawan-Pahlawannya (1977:174), suatu malam para pemuda militan pro Republik menyatroni perkampungan yang berisi orang-orang Ambon dan membunuhnya.
Hal ini diamini oleh Andi Mattalatta yang menyebutkan bahwa orang-orang Ambon menjadi sasaran kemarahan membabi buta dan tanpa pandang bulu dari kaum pro Republik. Pada malam 2 Oktober 1945, puluhan orang Ambon di Makassar terbunuh. Sebagian orang di Makassar menyebutnya sebagai peristiwa "pembalasan terhadap kekejaman KNIL Ambon". Sebaliknya, setelah peristiwa itu, orang-orang Ambon juga menuntut balas.
"Jadi kami membalas dendam," kata Thomas Nussy kepada Nieuwsblad van het Noorden.
Tahun 1947, Nussy adalah sersan pasukan khusus Belanda dan menjadi tangan kanan Kapten Raymond Westerling dalam operasi pembersihan di Sulawesi Selatan. Ketika ditanya apakah wanita dan anak-anak juga dibunuh dalam operasi itu, Nussy menjawab: "Betul! Semuanya!"
Pada Desember 1948, Nussy pergi ke Jawa Tengah. Setahun kemudian dia beserta pasukannya ditempatkan di Batujajar, Bandung. Menurut pengakuannya, selama di Bandung dia sempat diajak oleh Mayor Faber dan Letnan Fickeds untuk ikut ke Belanda, namun dia menolak. Nusst juga sempat diajak Westerling untuk mendukung Angkatan Perang Ratu Adil (APRA). Namun, kali ini juga Nussy menolak meski ditawari 450 dolar Singapura.
Pada 26 Desember 1949, Nussy bersama 108 anggota pasukan lainnya mendapat perintah untuk memindahkan anggota kempeitai yang ditahan di Pulau Onrust ke Tokyo. Namun, ketika baru sampai di Pinang, dia diperintahkan untuk kembali ke Jakarta. Kala itu, dia seperti anak ayam kehilangan induk, karena Belanda akan angkat kaki dan KNIL akan dibubarkan. Di tengah kebingungan itu, banyak serdadu KNIL asal Ambon yang kembali ke kampung halamannya lewat Surabaya dan Makassar, termasuk Nussy.
Ketika tiba di Makassar, dia sempat bertemu dengan bekas Jaksa Agung Negara Indonesia Timur (NIT) Mr Christian Robert Steven Soumokil, dan memintanya untuk tinggal di kota tersebut. Namun, Nussy dan kawan-kawannya berkeras menuju Ambon.
Pada Januari 1950, Nussy dan anggota KNIL lainnya tiba di Pelabuhan Ambon. Lalu suasana kota itu jadi memanas. Dia dan pasukannya tidak lagi taat kepada perwira Belanda. Kemudian Soumokil datang ke Ambon dan mendekati Nussy beserta para personel KNIL lainnya. Mereka diajak untuk bergabung dengan Republik Maluku Selatan yang diproklamasikan pada 25 April 1950.
Setelah bergabung dengan RMS, Nussy tetap sebagai sosok yang ditakuti, baik oleh lawan maupun oleh kawan. Menurut Weirizal, pejabat RMS, Nussy pernah menembak tiga orang perwakilan TNI. Soal ini Nussy mengaku, "kalau saya tidak melakukannya, orang-orang saya (anak buahnya) pasti akan melakukannya.” Selain itu, dia juga pernah membakar sebuah kampung di Pulau Seram untuk mengusir TNI.
Setelah menyerah kepada TNI, Nussy tak dijatuhi hukuman berat, malah dipekerjakan sebagai komandan pasukan yang ikut serta dalam dalam operasi perebutan Irian Barat. Dia dipakai TNI setelah Kolonel Herman Pieters memintanya kepada presiden dan pimpinan Angkatan Darat. Selama masa operasi itu, Nussy mulai mengenal Laksamana Sudomo dan Jenderal Benny Moerdani. Menurut laporan Tempo (15/02/1975) pangkat terakhirnya di TNI adalah mayor dan di massa tuanya aktif di gereja.
Editor: Irfan Teguh Pribadi