tirto.id - Pada Februari 1947, orang-orang Maluku--yang kerap dipanggil orang Ambon--di Malang ikut melakukan perlawanan kepada tentara Belanda. Menurut Frans Hitipeuw dalam Dr. Johannes Leimena, Karya dan Pengabdiannya (1986:216), mereka sebelumnya mengadakan rapat pembentukan sebuah laskar yang diberi nama Divisi Pattimura.
Pimpinan laskar itu adalah dr Pattiradjawane dan dr Siwabessy. Salah satu anggota laskar merupakan bekas pelajar Sekolah Tehnik Electro di Surabaya (1942) bernama Herman Pieters--kelahiran Ambon 17 Desember 1924.
“Banyak Pemuda-pemuda Maluku yang masuk TNI sejak tahun 1947 setelah peleburan Laskar Divisi Pattimura,” tulis David Matulessy dalam Pattimura-Pattimura Muda: Bangkit, Memenuhi Tuntutan Sejarah (1979:109).
Setelah Belanda mengakui kedaulatan, sejumlah daerah di Indonesia timur bergolak, termasuk di Maluku selatan. Perlawanan Angkatan Perang Republik Maluku Selatan yang berkobar sejak 1950, membuat Kolonel Alexander Evert Kawilarang selaku Panglima Ekspedisi Indonesia Timur membentuk Komando Pasukan (Kompas) Maluku Selatan. Satuan ini dipimpin oleh Letnan Kolonel Slamet Riyadi. Selanjutnya, Kompas Maluku Selatan berganti nama menjadi Kompas D. Dan setelah Slamet Riyadi terbunuh oleh penembak jitu RMS pada November 1950, posisinya diganti oleh Letnan Kolonel Johannes Frederik Warouw.
Kompas D kemudian dijadikan Resimen Infanteri 25 yang dipimpin Letnan Kolonel Suprapto Sokowati. Meski pasukan TNI di Maluku kerap berganti nama, hal tersebut tidak memengaruhi RMS yang tetap eksis. Pemimpin RMS, Doktor Christian Robert Steven Soumokil, masih bertahan di hutan hingga 1962. Namun pada akhirnya gempuran TNI membuat Panglima RMS, Thomas Nussy, tertangkap dan jadi tawanan. Nussy bukan sembarang tentara. Ia pernah mendapat latihan Raider dan waktu PD II berada di Australia sebagai KNIL sebelum akhirnya memimpin baret merah RMS. Setelah ditawan, Nussy masuk TNI.
Dari Permesta sampai Irian Barat
Pada 1950-an, nama Pattimura menjadi bahan riset Kapten Mattijs Sapija—bekas Angkatan Laut Belanda yang ikut revolusi 1945 dan belakangan dicap dekat dengan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra). Hasilnya, ia menulis buku Sedjarah Perdjuangan Pattimura: Pahlawan Indonesia yang terbit mula-mula pada 1960. Tahun 1973, Pattimura diberi gelar pahlawan nasional.
Sebelum Permesta bergolak di Sulawesi Utara dan sebagian Maluku Utara, Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Mayor Jenderal Abdul Haris Nasution memecah komando Tentara dan Teritorium VII menjadi empat Kodam dengan dikoordinasikan Komando Antar Daerah Indonesia Timur (KADIT).
Pada 27 Mei 1957, Nasution menetapkan berdirinya Komando Daerah Militer Maluku dan Irian Barat (KDM-MIB). Tahun 1959, singkatan KDM diganti menjadi Kodam. Nama Pattimura pun kembali muncul.
Tanggal 24 Oktober 1959, seperti terdapat dalam buku Sejarah TNI-AD, 1945-1973: Peranan TNI-AD Menegakkan Negara Kesatuan RI (1979:158), KDM MIB berubah menjadi KODAM MIB Pattimura. Pangdam pertamanya adalah Letnan Kolonel Herman Pieters yang cukup dikenal pihak istana. Menurut MS kamah dalam Catatan Seorang Wartawan (1996:74), Pieters pernah ikut rombongan Bung Karno ke Luar Negeri, antara lain ke Mesir yang di sana mendapat Bintang Sungai Nil dari Pemerintah Mesir.
Kodam Pattimura terlibat dalam penumpasan Permesta. Gerakan ini pernah memasuki Maluku dan sempat sebentar menguasai Pulau Morotai--yang terdapat banyak landasan terbang besar peninggalan PD II. Kapten Pilot Allen Pope yang membela Permesta pimpinan Vintje Sumual tertangkap di wilayah kekuasaan Herman Pieters ini.
Kodam Patimura juga ikut berperan dalam perebutan Irian Barat. Dari Kodam ini pula Herlina Kasim yang dijuluki Si Pending Emas ikut terjun dalam Operasi Trikora. Dalam buku Irian Barat dari Masa ke Masa-Volume 1 (1971:57) disebutkan bahwa Kodam Pattimura mengirimkan 90 orang dari kompi raider. Pasukan ini dipimpin Letnan Nussy yang dulu ikut RMS. Nussy bukan satu-satunya bekas RMS yang masuk TNI. Di antara kawan-kawannya ada juga yang berdinas di Batalion Infanteri 152--satuan tempat Feisal Tanjung menjadi salah satu komandan peleton di era perebutan Irian Barat.
“Kebanyakan anak buah Feisal berasal dari Ambon dan sebagian lagi bekas tentara RMS dan KNIL,” tulis Aziz Ahmadi Solemanto dalam Feisal Tanjung: Terbaik untuk Rakyat, Terbaik bagi ABRI (1999).
Suatu kali pasukan ini nyaris bentrok dengan satuan Artileri Serangan Udara (ARSU) Kodam X/ Mulawarman (Kalimantan Timur), yang di antara personelnya bekas Permesta. Penyebabnya adalah di kedua satuan ini terdapat bekas Permesta dan RMS. Pasukan TNI yang bekas RMS pernah terlibat dalam penumpasan Permesta, dan sebaliknya pasukan TNI bekas Permesta pernah terlibat dalam penumpasan RMS.
Sepanjang era Orde Lama dan Orde Baru, Herman Pieters adalah satu-satunya orang Maluku yang menjadi Pangdam Pattimura. Mayoritas justru dijabat oleh orang Jawa. Sejak 1961, Herman Pieters diganti oleh Busjiri. Ia tak melanjutkan kariernya di militer, melainkan aktif di parlemen. Langkanya orang Maluku yang menjadi Pangdam Pattimura bukan berarti tidak ada sama sekali yang berpangkat bintang. Josef Muskita berpangkat Brigadir Jenderal ketika Ahmad Yani jadi orang nomor satu di Angkatan Darat. Setelah Soeharto berjaya, Leo Lopulisa bisa jadi Pangkostrad pada era 1970-an dan mencapai pangkat Letnan Jenderal.
Kodam Pattimura dinonakltifkan pada 1985. Sampai 1999, wilayah kepulauan Maluku dibawahi Korem 174 Pattimura. Di masa-masa kerusuhan Ambon, Kodam Pattimura diaktifkan kembali dengan Pangdam dijabat oleh Brigadir Jenderal Max Tamaela selama setahun.
Sejumlah jenderal yang cukup terkenal yang pernah memimpin Kodam Pattimura antara lain Djoko Santoso dan Agustadi Sasongko. Keduanya pernah menjadi orang nomor satu di Angkatan Darat. Mantan Pangdam Pattimura lainnya yang cukup populer adalah Doni Monardo.
Editor: Irfan Teguh Pribadi